(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Praktek Pernikahan Syiah Sebagai Identitas Agama dan Sosial

Riset Sosial

Tulisan berjudul “Shia Marriage Practice: Karbala as Lieux de Mémoire in London” adalah karya Yafa Shanneik. Karya ini terbit di Social Science Journal yang dipublikasikan oleh Multidisciplinary Digital Publishing Institute (MDPI) tahun 2017. Artikel tersebut membahas praktik pernikahan di antara para imigran Syiah dari Irak yang terlantar di Inggris. Praktik pernikahan yang dilakukan berfungsi sebagai salah satu cara untuk melestarikan “memori” agama dan budaya Syiah. Shanneik menggunakan konsep Lieux de Mémoire yang mengacu pada ruang, benda, atau peristiwa yang memiliki signifikansi berarti dari memori kolektif tertentu. Artikel tersebut fokus pada praktik sofrat al-‘aqd, yang membekali wanita dengan kemampuan “mengartikulasikan” identitas agama dan sosial melalui benda material yang dianggap sebagai adat praktik pernikahan Syiah. Shanneik menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Ia memperoleh data dengan melakukan wawancara dengan para imigran di Ingggris sebanyak 138 orang dari dua generasi. Di dalam review ini akan menjelaskan tulisan Shanneik dalam tiga sub bab. Pertama, Konsep Lieux de Mémoire. Kedua, komunitas Syiah di London. Ketiga, Sofrat Al-‘Aqd dalam tinjauan Lieux de Mémoire.

  

Konsep Lieux de Mémoire

  

Yafa Shanneik tidak menjelaskan secara gamblang mengapa ia memilih konsep ini sebagai pisau analisanya. Ia hanya menjelaskan secara singkat tentang bagaimana konsep Lieux de Mémoire. Konsep Lieux de Mémoire adalah hasil pemikiran sejarawan Prancis bernama Pierre Nora. Ia menggunakan istilah Lieux de Mémoire yang diartikan sebagai situs, tempat, atau memori yang menunjukkan tempat tertentu guna “melabuhkan” ingatan. Selain itu, Nora menambahkan bahwa “memori” dapat diabadikan dengan membangun bangunan yang bersifat material dan simbolis. Lieux de Mémoire memungkinkan terciptanya koneksi pada masa lalu guna menghindari “pelupaan”. Shanneik berpendapat bahwa, tinjauan Lieux de Mémoire dapat digunakan untuk mengidentifikasi situs tertentu untuk “mengembangkan” ingatan. Ia juga menambahkan bawa konsep ini berasumsi bahwa bangsa sebagai entitas dapat didefinisikan dengan jelas berdasarkan pada jenis kelamin, kelas, bahkan etnis. 

  

Komunitas Syiah di London

  

Di dalam menjelaskan komunitas Syiah di London, Shanneik tidak mendapatkan data yang pasti mengenai jumlah populasi imigran Irak di Inggris. Sehingga, ia mengambil data pada tahun 2011 dari Kedutaan Besar Irak yang memperkirakan berjumlah 400.000 orang dari berbagai latar belakang. Sebagian besar imigran dari Irak datang ke Inggris pada tahun 1980 hingga awal 1990. Selanjutnya, Shanneik membagi kedatangan para imigran dalam dua generasi. Ia menganggap bahwa imigran generasi pertama ialah mereka yang melakukan pernikahan secara Syiah sebelum melakukan migrasi ke Inggris. Sedangkan, generasi kedua adalah kelompok Syiah yang melakukan pernikahan di Inggris, namun masih menggunakan budaya Syiah. 

  

Berdasarkan data yang Shanneik kumpulkan, pernikahan generasi pertama dianggap sebagai “bekal” guna mengingat agama dan budaya Syiah. Di Inggris, sifat kelompok Syiah yang beragam dengan praktik agama dan budaya yang juga berbeda, kemudian saling berinteraksi maka akan menghasilkan “praktik baru” yang khusus untuk kelompok Syiah. Shanneik berpendapat bahwa, secara garis besar, kelompok Syiah berpegang teguh pada prinsip “memori” dalam mendidik generasi kelompok Syiah. Sebab, mereka merasa terikat dengan budaya Syiah yang tentu saja dianggap sebagai warisan. Berdasarkan analisa Shanneik, jika dikaitkan dengan konsep Lieux de Mémoire, apa yang dilakukan oleh kelompok Syiah di Inggris dianggap sebagai praktik yang mereka ingat (memorizing) dari pengalaman mereka menikah sebelum melakukan migrasi. Sehingga, narasi memori perihal agama dan budaya sudah terbentuk sebelumnya. 

  

Sofrat Al-‘Aqd dalam Tinjauan Lieux de Mémoire

  

Shanneik tidak menjelaskan pengertian dari sofra, ia langsung menjelaskan pada makna dan simbol dari sofra. Namun, jika dipahami secara perlahan dapat diartikan bahwa, sofra adalah salah satu seperangkat hidangan di atas meja makan yang berisi makanan tertentu sebagai wujud ritual pernikahan. Di atas meja makan berisi cermin, lilin, Al-Qur’an, dan bahan makanan seperti kacang, telur, jagung dan madu. Shanneik menjelaskan bahwa fungsi dan simbol sofra “bervariasi” sesuai dengan level religiusitas dan kepercayaan pada ritual pernikahan. Secara garis besar, simbol dan makna yang muncul sama halnya dengan upacara “pengorbanan” berupa persembahan makanan, niat, dedikasi kepada Imam Syiah dan anggota keluarga nabi. Bagi orang Syiah, Sofra seakan mengingatkan tentang peristiwa Karbala. Artinya, sofra berfungsi sebagai alat penjaga memori tentang Karbala agar tetap abadi. Memori yang dihasilkan seakan abadi melalui konsumsi makanan yang disediakan. 

  

Hal menarik lainnya yang Shanneik dapatkan adalah kelompok Syiah menganggap bahwa dengan sofra dan siapapun yang mengkonsumsinya akan dianggap memiliki kesempatan menjalin hubungan dengan mereka yang dianggap suci. Pada praktik pernikahan kelompok Syiah, setelah sofra ada pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan puisi. Kombinasi antar ketiganya dianggap memiliki kaitan dengan narasi Karbala. Bahkan, segala bentuk ritual akan selalu dikaitkan dengan memori tentang Karbala. Misalnya, upacara pernikahan yang diadakan pada hari suci bagi kelompok Syiah dianggap sebagai kewajiban. Sebab, pada hari suci itu dipercaya bahwa Sayyida Fatimah melakukan pernikahan dengan Ali bin Abi Thalib R.A pada hari itu. 

  

Di dalam kaitannya dengan Lieux de Mémoire, analisa Shanneik menyatakan bahwa sofra seakan menjadi ruang bagi memori untuk “diaktifkan kembali sebab mengandung makna, simbol dan fungsi keagamaan bagi setiap individu. Model Lieux de Mémoire dapat dimodifikasi guna disesuaikan dengan budaya. Shanneik mengambil konseptualisasi memori individual dan kolektif di luar kerangka kerja Nora mengenai komunitas tertentu di sebuah negara guna menyesuaikan dimensi agama-budaya dan politik transnasional yang lebih kompleks. 

  

Kesimpulan

  

Secara garis besar, Shanneik melakukan analisa yang cukup mendalam dengan konsep Lieux de Mémoire yang ia gunakan sebagai pisau analisa. Ia tidak hanya menyajikan data sebagai bentuk data baru, namun juga menganalisanya dengan mendalam. Namun, sedikit kekurangan artikel ini adalah Shanneik tidak menjelaskan beberapa pengertian tau istilah secara gamblang. Sehingga, pembaca dibiarkan “menerka-nerka” dan mencari sendiri maksudnya dalam paparan data. Tentu, hal ini menyulitkan. Selain itu, secara tersirat Shanneik ingin menyampaikan pesan bahwa, bagi kaum Syiah menikah bukan hanya perihal cinta atau sekadar urusan dua mempelai, namun “bisnis” bagi kelompok Syiah di Inggris. Sebab, mereka beranggapan bahwa tidak hidup masing-masing melainkan satu komunitas