(Sumber : Tribun Lampung)

Regenerasi Terorisme: Pemilihan Sekolah Bagi Anak Teroris

Riset Sosial

Artikel berjudul “The Challenge of Terrorism Regeneration: What Schools Do Terrorist Offenders Select for Their Children?” merupakan karya Zora A Sukabdi, Aji Sofanudin, Munajat, Mulyanam dan Sigit Budianto. Tulisan tersebut terbit di Ulumuna: Journal of Islamic Studies. Tujuan dari penelitian tersebut adalah menyelidiki pendidikan anak pelaku teroris di Indonesia melalui desain penelitian kualitatif dan kuantitatif. Studi tersebut meneliti sekolah-sekolah yang dipilih oleh pelaku teroris (sebagai pengambil keputusan) untuk anak-anak mereka.  Penelitian tersebut melibatkan 64 narapidana teroris (59 pria dan 5 wanita), 10 mantan narapidana, serta partisipan berusia antara 20-51 tahun. Narapidana berapa pada beberapa lembaga pemasyarakatan di berbagai kota dan pulau di Indonesia, termasuk Pulau Nusakambangan, Bogor, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Tingkat risiko narapidana berkisar dari risiko rendah hingga risiko tinggi, dengan hukuman mulai dari 3 tahun hingga hukuman mati. Afiliasi mereka adalah Jamaah Ansyarud Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah (JI), dan Negara Islam Indonesia (NII). Terdapat empat sub bab dalam penelitian ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, pendidikan anak pelaku teroris. Ketiga, dukungan untuk anak pelaku teroris. Keempat, trauma anak pelaku teroris. 

  

Pendahuluan 

  

Terorisme menimbulkan ancaman signifikan terhadap perdamaian dan keamanan global. Para pendukungnya menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyebarkan keyakinan mereka yang keliru, menargetkan warga sipil yang tidak bersalah, dan menyebarkan ketakutan. Ideologi ekstrem teroris mengacu pada penerimaan dan penerapan keyakinan radikal yang merasionalisasi penggunaan kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan ideologis. Ideologi ini sering kali muncul dari konteks sosial-politik yang kompleks dan dapat didorong oleh berbagai faktor seperti fundamentalisme agama, keluhan politik, atau aspirasi etno-nasionalis. 

  

Pada hal manifestasi dan taktik , ideologi teroris ekstrem sering ditampilkan melalui tindakan terorisme, termasuk pengeboman, pembunuhan, dan penyanderaan. Tindakan-tindakan ini direncanakan untuk menimbulkan rasa takut, menciptakan kekacauan, dan memajukan tujuan ideologis para pelaku. Lebih jauh lagi, penggunaan propaganda dan strategi radikalisasi menguntungkan untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh ideologi ekstremis. Penargetan penduduk sipil yang disengaja menekankan pengabaian terhadap kehidupan manusia dan kebrutalan total yang terkait dengan ideologi-ideologi ini. Pada dampak global, konsekuensi dari ideologi ekstrem teroris sangat luas dan menghancurkan. Efek langsungnya termasuk hilangnya nyawa, cedera fisik, dan trauma psikologis yang menimpa korban.

  

Indonesia menghadapi masalah pelaku teroris, menghadapi tantangan signifikan dalam melawan tindakan mereka dan mencegah serangan di masa mendatang. Meskipun telah ada kemajuan yang signifikan, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menangani pelaku tindak pidana terorisme. Tantangan-tantangan ini terdiri dari sifat ideologi ekstremis yang terus berkembang, pengembangan metode perekrutan baru, dan risiko pejuang asing yang kembali dari daerah konflik. Selain itu, aspek sosial ekonomi seperti kemiskinan, kesenjangan, dan kurangnya pendidikan dapat berkontribusi pada kerentanan individu terhadap ideologi ekstremis di Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak pelaku berasal dari latar belakang terpinggirkan, tidak memiliki kesempatan pendidikan, dan telah mengalami pengucilan sosial. Selain itu, keterlibatan perempuan dan anak-anak serta penggunaan jaringan keluarga dalam kegiatan teroris menyoroti sifat yang terus berkembang dari profil pelaku teroris di Indonesia. 

  

Literatur menunjukkan bahwa organisasi teroris menggunakan ideologi ekstrem dan taktik otoriter, mirip dengan pola asuh diktator, untuk mengindoktrinasi dan meradikalisasi anak-anak mereka. Pola asuh mereka dalam lingkungan ini ditandai dengan kontrol, manipulasi, dan indoktrinasi yang ketat, yang bertujuan untuk menumbuhkan kepatuhan terhadap ideologi ekstremis mereka. Pola asuh otoriter dalam konteks ini melibatkan penerapan aturan yang kaku, disiplin yang keras, perilaku yang mengendalikan, menanamkan kepatuhan mutlak kepada figur otoritas, dan penekanan pemikiran independen.  Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan seperti itu menjadi sasaran indoktrinasi intens sejak usia dini, di mana pemikiran kritis dan sudut pandang alternatif secara aktif dihalangi atau bahkan dihukum. Anak-anak ini terisolasi dari berbagai pengaruh dan pendidikan sistem yang mungkin menantang ideologi ekstremis, memastikan mereka hanya terpapar pada doktrin kelompok tersebut.

  

Kelompok teroris mengeksploitasi kerentanan dan sifat mudah terpengaruh anak-anak dengan mendistorsi persepsi mereka terhadap dunia dan membentuk trauma, sering kali melalui propaganda, ajaran agama yang menyimpang, dan paparan materi kekerasan. Mereka juga memanipulasi figur orang tua atau figur otoritas dalam organisasi untuk melakukan kontrol, yang mendorong terciptanya lingkungan yang penuh ketakutan dan kepatuhan tanpa syarat. Orang tua dari kelompok teroris sering kali memaksa anak-anak sejak usia dini untuk mengikuti pelatihan militer, mengajarkan propaganda ekstremis, dan mendorong mereka untuk mengidolakan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan kelompok.    

  

Pendidikan Anak Pelaku Teroris

  

Berdasarkan segi pendidikan, hanya 80 anak (38%) yang dikirim ke sekolah yang sama sekali tidak berafiliasi dengan organisasi teroris. Sebagai perbandingan, 62 anak (29%) dilindungi/disembunyikan oleh narapidana, 29 (14%) dikirim ke sekolah yang kurang berafiliasi dengan organisasi teroris, dan 28 (13%) berada di sekolah yang sangat berafiliasi dengan organisasi teroris. Hasil-hasil ini menunjukkan bukti yang mengkhawatirkan bahwa indoktrinasi anak-anak terus berlanjut di dalam organisasi teroris. Lebih jauh lagi, hanya 77 dari total anak-anak (36%) yang diarahkan untuk menghentikan siklus ekstremisme sepanjang pendidikan mereka saat mereka dikirim ke sekolah-sekolah yang pro pemerintah/moderat. Selain itu, kurang dari 50% anak-anak narapidana memiliki kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang tidak berafiliasi dengan jaringan ekstremis. Enam puluh delapan anak bersekolah di sekolah dasar, 48 di prasekolah, dan 41 di sekolah menengah pertama; 47 anak-anak dikirim ke sekolah negeri/pemerintah, dan 45 anak dikirim ke Pesantren/ pondok pesantren. 

   

Dukungan untuk Anak Pelaku Teroris 

  

Berdasarkan wali dan dukungan finansial, 171 anak (81%) tinggal bersama ibu atau ayah mereka saat orang tua mereka dipenjara, dan 182 anak (86%) terus menerima dukungan finansial dari orang tua mereka. Lebih jauh, 68 anak diarahkan oleh narapidana untuk memiliki profesi tertentu (misalnya, pebisnis, dokter, insinyur), sedangkan 25 anak diarahkan untuk mengikuti jejak orang tua mereka, yaitu menjadi pejuang agama. Memang, penangkapan mantan pelaku tindak pidana dapat menimbulkan kesulitan keuangan. 

   

Trauma Anak Pelaku Teroris

  

Terkait trauma anak, sebanyak empat puluh dua anak narapidana teroris mengalami trauma akibat penangkapan dan perundungan dari teman dan tetangga, sedangkan sembilan puluh delapan anak tidak mengalami trauma. Mantan narapidana memiliki pengalaman yang menantang selama penangkapan, yang memengaruhi trauma anak. Menjadi anak dari seorang terpidana terorisme tidak selalu membuat anak-anak terpapar pada keyakinan radikal atau ekstremisme. Oleh karena itu, banyak anak pelaku tindak pidana yang beruntung karena memiliki kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang tidak berafiliasi dengan jaringan terorisme. Lebih sedikit dari anak-anak ini yang beruntung mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang tidak berafiliasi dengan jaringan teroris.

   

Kesimpulan

  

Penemuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada potensi regenerasi terorisme melalui pemilihan sekolah oleh teroris untuk anak-anak mereka. Temuan tersebut mengonfirmasi penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa ekstremis mungkin mencari sekolah yang sejalan dengan keyakinan mereka, tetapi ini tidak selalu menunjukkan keterlibatan dalam terorisme. Perpecahan internal dalam organisasi teroris dan tekanan eksternal dapat menyebabkan penargetan anak-anak, yang berpotensi memengaruhi pilihan pendidikan mereka. Di Asia Tenggara, regenerasi terorisme juga dilakukan oleh kelompok teroris; misalnya, mereka menggunakan pendidikan anak-anak sebagai strategi untuk meregenerasi terorisme.