(Sumber : Tirto.ID)

Sejarah Sekularisme Turki dan Pengaruhnya Terhadap Pikiran Sekularis dan Muslim Indonesia

Riset Sosial

Tulisan berjudul “Turkish Laicism in Indonesia’s Newspapers (1920-1940) and Its Influence on Indonesian Secularists and Muslims Thoughts\" merupakan karya Yon Machmudi, Frial Ramadhan Supratman dan Mehmet Ozay. Artikel ini terbit di Journal of Indonesian Islam tahun 2021. Sesuai dengan judulnya, tujuan dari artikel ini adalah memberikan analisis kritis akan peran surat kabar Indonesia dalam menginformasikan warga Hindia-Belanda mengenai proses sekularisasi di Turki. Selain itu, bagaimana fungsi surat kabar sebagai media utama dalam menyebarkan informasi terkait dengan Turki. Penelitian tersebut menggunakan metode sejarah dengan surat kabar kontemporer berbahasa Indonesia dari tahu 1816-2014 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, sekularisme. Ketiga, Mustafa Kemal sebagai pahlawan muslim? Keempat, perdebatan sekularisme Turki. 

  

Pendahuluan

  

Pada abad ke 20, surat kabar berbahasa Indonesia mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Hal ini disupport dengan kemajuan mesin komunikasi cetak dan transportasi. Pada saat itu, beberapa surat kabar asing mulai beredar di Hindia-Belanda, sehingga menginspirasi penduduk asli membentuk organisasi modern. Alhasil, muncul Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Partai Hindia (Indische Partij). Perkembangan pers yang ada juga menjadi salah satu faktor banyaknya organisasi yang diangggap sebagai cikal bakal kebangkitan nasional. Misalnya pendapat Taufik Abdullah yang menganggap bahwa Sarekat Islam merupakan pelopor gerakan nasionalisme Indonesia. 

  

Surat kabar Indonesia banyak memberitakan peristiwa internasional bagi para aktivis dan intelektual guna memperluas pengetahuan dan wawasan mereka. Misalnya, kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 yang menginspirasi para penduduk Hindia-Belanda untuk bangkit dan maju. Kemenangan yang menjadi berita tersebut telah menanamkan keyakinan bahwa negara Asia mampu mengalahkan Rusia karena kekuatan militer yang dimiliki. Beberapa contoh surat kabar Indonesia saat itu adalah Warta Hindia, Oetoesan Hindia, Pantjaran Warta dan Sin Po.

  

Sekularisme 

  

Pasca Perang Dunia I (1914-1918), Kekaisaran Ottoman terpaksa menerima konsekuensi atas kekalahan dalam serangkaian perjanjian yakni Serves dan Lausanne. Akibatnya, Inggris dan Prancis menerima petak besar wilayahnya. Kemudian, kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal mendeklarasikan berdirinya Turki tahun 1923 dan menghapus sistem kesultanan. Para pemimpin muda nasionalis Turki berencana menciptakan negara baru berdasarkan nasionalisme. Hal ini bisa dianggap sebagai akibat yang logis atas penolakan terhadap realitas sosial politik Ottoman yang telah terstruktur atas masyarakat multietnis dan multiagama. Selain itu, nasionalis dianggap sebagai ideologi yang tepat karena didukung struktur epistemologis, para founding fathers juga sengaja berkiblat pada perubahan politik di Eropa. Di dalam hal ini, pemimpin Turki yang baru condong menimba ilmu pada Prancis guna mendapatkan pemahaman tentang sekularisme sebagai bentuk negara baru. 

  

Sekularisme merupakan aspek modernisasi yang dipelopori oleh negara barat. Idelogi ini menekankan pemisahan antara agama dan negara. Artinya, agama tidak boleh mencampuri urusan sosial dan politik negara. Kemunculan sekularisme berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan dinamika sosial politik sejak akhir abad kedelapan belas. 

  

Setelah Eropa menemukan Sekularisme, banyak negara termasuk Amerika Serikat, Prancis dan Turki mengadopsi ideologi tersebut. Sekularisme dipraktikkan di setiap negara secara berbeda.  Menurut Ahmet T. Kuru, sekularisme dibagi menjadi dua yakni sekularisme asertif dan sekularisme pasif. Sekularisme asertif mengharuskan intervensi negara di dalam menekankan peran asertifnya untuk memisahkan agama dari ruang publik. Di sisi lain sekularisme pasif mengharuskan negara memainkan peran pasif dalam membiarkan agama muncul di depan publik. Oleh sebab itu, sekularisme pasif menekankan peran pemerintah terkait dengan netralitas dalam urusan agama. 


Baca Juga : Yudisium Online Perdana FDK UIN Sunan Ampel Surabaya

  

Mustafa Kenal Sebagai Pahlawan Muslim?

  

Jika ditinjau dari surat kabar Islamis maupun nasionalis, Mustafa Kenal tidak hanya digambarkan sebagai pahlawan nasionalis, melainkan pahlawan musllim yang mengangkat Turki di atas hegemoni barat. Ia dianggap sebagai pendorong dibalik kebangkitan Turki sebagai negara muslim. Berdasarkan surat kabar milik Sarekat Islam ‘Oetoesan Hindia’, menyatakan bahwa Mustafa Kemal telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi dunia muslim. Bahkan, Bung Hatta menggambarkan pemimpin Turki tersebut sebagai pemimpin yang layak, meskipun awalnya Sultan Ottoman sangat membencinya. Kemal mampu mengusir orang-orang Yunani dan Anatolia dari Turki, sehingga ia dieluh-eluhkan. 

  

Surat Kabar milik Muhammadiyah ‘Adil’ membuat headline dengan judul “Kemal Attaurk: Pahlawan Turki.” Di dalam tulisan surat kabar tersebut, ia secara heroic dan prestasi besarnya dianggap mampu membangun Turki modern. Ia sangat dipuja karena mampu mengangkat martabat Turki setara dengan negara barat. Meskipun begitu, majalah ini menutup tulisannya dengan harapan bahwa Turki akan menjadi negara maju, menghindari pengaruh barat dan mempertahankan kepatuhannya terhadap al-Qur’an. 

  

Selain pujian untuk Mustafa Kemal, aktivis muslim Hindia-Belanda mengkritik sekularisme para pemimpin Turki pada pergantian abad 20. Kaum muslim di Hindia-Belanda meyakini bahwa Turki telah menjadi negara yang anti Islam. Salah satu surat kabar yang secara aktif berusaha memberikan kritik atas pernyataan di atas adalah Pandji Islam. Surat kabar tersebut mengklaim bahwa Turki sebenarnya sudah lama ingin melakukan modernisasi, namun terhambat oleh kelompok ulama konservatif. Pandji Islam mengklaim bahwa tujuan kebijakan modernisasi Mustafa Kemal bukan untuk menghancurkan Islam, melainkan memungkinkan Islam beradaptasi dengan kemajuan barat dan modernitas. 

  

Perdebatan Sekularisme Turki 

  

Sebagian besar umat Islam Hindia-Belanda menyetujui pembentukan Republik Turki sebelum tahun 1940-an. Pembentukan Republik Turki dibahas di Kongres Al Islam Hindia. Pada kongres itu, H. Agus Salim mengucapkan terima kasih kepada Mustafa Kenal yang telah menyelamatkan Republik Turki dari penjajahan barat. Hal yang menjadi kontroversi adalah ketika Soekarno menulis tentang pemisahan agama dan negara di Pandji Islam. Ia menyarankan agar Indonesia belajar dari Turki mengenai peran agama dan negara. Tulisan tersebut dicetak ulang di sejumlah surat kabar lainnya. Namun, pada 20 Juli 1940, Mohammad Natsir menuliskan teguran keras melalui surat kabar Adil bahwa dukungan Soekarno atas sekularisme Turki telah menimbulkan tanggapan tidak langsung dari pada intelektual muslim di Hindia-Belanda. 

  

Keduanya memiliki pandangan yang berbeda terkait sekularisme Turki. Perbedaan ini tentu saja tidak terlepas dari aktivitas politik, sosial dan budaya yang mereka lalui sebelum tahun 1940 an. Pada dasarnya, fokus perdebatan bukan pada gagasan tentang negara Islam, melainkan praktik sekularisasi di Turki dan bagaimana Indonesia mengadopsinya. Terlepas dari kritik keras Natsir atas tulisan Soekarno, mereka memiliki perspektif yang sama. Keduanya menginginkan agar Islam terselamatkan dari tradisi terbelakang, dan agar mampu beradaptasi dengan modernitas. 

  

Tulisan yang ditulis oleh Bung Karno dan dimuat dalam surat kabar Pandji Islam berjudul “Mengapa Turki Memisahkan Agama dari Negara? Ia berusaha menyajikan pandangan negatif umat Islam terhadap umat Islam lain yang telah beralih pada sekularisme. Banyak dari mereka yang salah paham terkait sekularisme Turki. Soekarno berusaha menyampaikan kepada publik bahwa Turki modern tidak bermaksud menghapuskan agama, melainkan membebaskan agama dari batasan negara. Ia meyakini bahwa agama perlu dibebaskan dari pengekangan pemerintah agar dapat berkembang. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa masyarakat demokratis tidak perlu khawatir akan perpisahan agama dan negara, sebab selama mayoritas agama parlemen beragama, maka semua anggota parlemen akan beragama. Selain itu, ia juga menjelaskan hubungan antara ekonomi dan sekularisme. Pada praktiknya, muslim Turki tidak mampu membuat perekonomian Turki sehat dan berkembang, justru melemahkan. Soekarno juga mengkritik tarekat dan takhayul yang mengakar kuat di masyarakat Turki. Ia mengutip pendapat Becker, seorang orientalis Jerman yang menyatakan bahwa “tarekat membuat orang Turki malas dan menggiring mereka pada kehidupan mistis.” Bagi Soekarno, faktor ini juga menjadi salah satu alasan kemunduran ekonomi Turki. Ia beralasan para darwis (praktisi tarekat) yang berada di Turki banyak menciptakan khufarat, sehingga berbagai praktik yang dianggap khufarat membuat perekonomian Turki terpuruk. 

  

Secara intelektual, Muhammad Nasir menanggapi tulisan Bung Karno di Surat Kabar Adil yang terbit pada 20 Juli 1940. Ia mengecam orang-orang yang percaya bahwa agama hanya mengacu kepada ritual keagamaan, seperti salat dan puasa. Ia ingin mengklarifikasi bahwa Islam memiliki ideologi yang luas dalam semua aspek kehidupan. Selanjutnya, Bung Karno mengutip Menteri Essad Bey bahwa “Jika agama digunakan untuk memerintah, maka akan digunakan sebagai penghukuman oleh para lalim, orang-orang kejam, dan raja-raja yang bertangan besi. Natsir mencoba menyangkalnya bahwa klaim Essad Bey tidak didukung oleh bukti nyata yang kebenarannya dapat diverifikasi dan diselidiki oleh mereka yang menerima fatwa tersebut. Oleh sebab itu, Natsir ingin menginforasikan bahwa represi yang terjadi pada masa pemerintahan Utsmaniyah tidak dapat dikaitkan dengan Islam. 

  

Ketika membahas sekularisme, Bung Karno mencoba menjelaskan bahwa pemerintah tidak cukup menggunakan hukum syariah untuk memerintah negara. Oleh sebab itu, sekularisasi adalah proses yang tidak terhindarkan bagi Republik Turki. Natsir ingin menunjukkan bahwa al-Qur’an dapat digunakan untuk mengatur agama. Ia juga menekankan bahwa al-Qur’an lebih mementingkan esensi kemanusiaan.  

  

Natsir menyadari bahwa al-Qur’an tidak mengatur masalah teknis, melainkan sesuatu yang humanistik. Ia menekankan pentingnya berhati-hati ketika mencoba menghubungkan al-Qur’an dengan perkembangan modern. Di dalam hal politik, al-Qur’an tidak diragukan kemanfaatannya karena mengatur etika manusia. Pada kenyataannya, al-Qur’an menekankan bagaimana Islam mengatur kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin. Ia menekankan bahwa aspek terpenting dari kepemimpinan adalah karakteristiknya bukan gelarnya. 

  

Pandangan Bung Karno terkait dengan Islam dan Demokrasi juga mendapatkan kritik dari Natsir. Bung Karno menyatakan bahwa dalam dunia demokrasi, nilai-nilai Islam masih bisa eksis selama politisi Islam mendominasi parlemen, ketika agama di pisahkan dari negara, agama masih bisa eksis dalam undang-undang. Natsir mengkritik pandangan tersebut dengan melihat situasi politik di Turki. Ia beranggapan bahwa anggota parlemen tidak menghargai nilai-nilai agama. 

  

Kesimpulan

 

Secara garis besar, artikel milik Yon Machmudi, Frial Ramadhan Supratman dan Mehmet Ozay berpendapat bahwa surat kabar yang memberitakan tentang sekularisasi di Turki berdampak signifikan terhadap pemikiran intelektual Indonesia dalam membangun fondasi negara. Perdebatan sengit yang dituliskan antara Bung Karno dan Natsir bukan tentang pendirian negara Islam, melainkan tentang sekularisasi Turki. Berdirinya Turki modern berpengaruh terhadap perjalanan bangsa Indonesia dalam menentukan ‘jalannya’ dan status agamanya pada saat dideklarasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.