Studi Sosial Islam di Indonesia: Sebuah Retrospeksi 75 Tahun
Riset SosialArtikel berjudul “The Social Scientific Study of Islam in Indonesia: A 75 Year Retrospective” merupakan karya Robert W. Hefner. Tulisan tersebut terbit di Studia Islamika tahun 2025. Penelitian tersebut memberikan tinjauan historis mengenai arus besar dalam kajian ilmiah sosial Islam di Indonesia sejak proyek Modjokuto pada awal 1950-an hingga saat ini. Terdapat enam sub bab dalam penelitian ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, politik dan etika publik di era negara-bangsa. Ketiga, hindu-budha atau islam lokal? Keempat, islam yang diamati dan dikonseptualisasikan kembali. Kelima, perluasan cakrawala dan beragamnya pertentangan sosial. Keenam, etika muslim yang demokratis dan inklusif.
Pendahuluan
Studi akademis Barat tentang Islam di Indonesia dimulai di Belanda pada dekade terakhir abad kesembilan belas. Studi ini dipelopori oleh cendekiawan orientalis Carel Poensen dan Christiaan Snouck Hurgronje. Keduanya memiliki hubungan dengan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada awal tahun 1950-an adalah tanggal yang lebih tepat untuk menandai apa yang sekarang dikenal sebagai awal studi akademis modern tentang Islam di Indonesia. Pada tahun tahun itu Indonesia berada pada tahap awal kemerdekaan nasional dan seluruh negeri sedang bergerak. Pada tahun 1952, antropolog Amerika Hildred dan Clifford Geertz dan Robert Jay tiba dan memulai studi etnografi di sekitar kota kecil Pare di distrik Kediri di Jawa Timur. Hasilnya, Pare disebut dengan nama samaran Modjokuto. Betapapun besarnya utang intelektual ketiga peneliti ini kepada para pendahulu mereka yang berkebangsaan Belanda, penelitian mereka meletakkan dasar bagi era baru dalam studi Islam di Indonesia, baik oleh Barat maupun Indonesia.
Politik dan Etika Publik di Era Negara-Bangsa
Dipimpin oleh antropolog Clifford Geertz, Hildred Geertz, dan Robert Jay, proyek penelitian yang dilakukan di kota Pare, Jawa Timur, dari akhir tahun 1952 hingga 1954 menandai dimulainya era baru dalam studi Islam di Indonesia. Tahap awal dalam studi Islam di Indonesia yang berbasis di AS ini mengantarkan pada pergeseran analitis penting lainnya. Porosnya menjauh dari memprioritaskan studi kitab suci dan sejarah Islam awal menuju studi masyarakat Muslim dalam keadaan pasca-kolonial \"negara-negara baru\" di belahan bumi selatan. Pada The Religion of Java (1960) dan esai-esai selanjutnya, Geertz menunjukkan bahwa agama dan politik Muslim di seluruh belahan bumi selatan sedang diubah secara menentukan oleh apa yang ia gambarkan sebagai \"revolusi integratif\" dalam negara dan masyarakat.
Secara khusus, Geertz menunjukkan bahwa penganut Islam \"skriptural\" atau \"ortodoks\" di Jawa secara tidak proporsional terkonsentrasi di kelas pedagang. Meminjam frasa dari bahasa Jawa, Geertz menyebut komunitas ini sebagai santri, sebuah istilah yang dalam penggunaan harfiahnya merujuk pada siswa di sekolah asrama Islam Indonesia yang dikenal sebagai pesantren. Varian Islam kedua yang disoroti Geertz lebih terlokalisasi dan sinkretis dalam nilai-nilai dan praktiknya. Geertz mengaitkan varian ini dengan kaum tani Jawa dan kaum miskin kota, kemudian menggolongkan pandangan dunia keagamaannya sebagai campuran Islam, animisme, dan Hindu-Buddha. Meminjam frasa yang digunakan di beberapa wilayah Jawa yang kurang normatif adalah abangan, dari istilah Jawa untuk “merah.” Geertz mengaitkan varian ketiga Islam dengan kaum bangsawan Jawa tradisional dan pewaris mereka di masa depan dalam birokrasi negara, kaum priyayi. Nilai-nilai priyayi , menurut Geertz, merupakan campuran dari kepentingan Islam dan kepentingan \"Hindu\" yang berorientasi status.
Penelitian selama empat puluh tahun terakhir telah mengonfirmasi bahwa perpecahan struktural yang dihadapi Geertz adalah nyata dan berdampak politis. Akan tetapi, penelitian seperti yang dilakukan Amanah Nurish (2019) dan Najib Burhani (2017), serta penelitian Mark Woodward (1988), semuanya juga telah menunjukkan bahwa tipologi Geertz terlalu digeneralisasi secara analitis. Lebih khusus lagi, kategorisasi Geertz mengaburkan skala perubahan yang sedang berlangsung serta area tumpang tindih di antara tiga kelompok sosial utama. Selama beberapa tahun terakhir, para sarjana Indonesia telah menyempurnakan pemahaman mengenai kategori-kategori tersebut lebih jauh. Antara lain, para akademisi telah menunjukkan bahwa terminologi dan pervasifitas sosial dari perpecahan tersebut sangat bervariasi di berbagai wilayah di Jawa dan Indonesia.
Hindu-Budha atau Islam Lokal?
Baca Juga : Naturalisasi Peluang atau Ancaman?
Ciri lain analisis Geertz yang menjadi pusat perhatian para peneliti berikutnya adalah penerapan label “Hindu-Buddha” oleh Geertz kepada banyak praktik ketaatan beragama yang dikaitkannya dengan kaum abangan dan sebagian priyayi. Namun, ketika Hefner melakukan penelitian di dataran tinggi Jawa Timur tahun 1978-1980, ia menemukan sebagian besar abangan adalah seorang muslim. Ritual yang mereka lakukan tidak ada hubungannya dengan Hindu-Budha, melainkan berakar pada gagasan Sufi dan Jawa tentang tubuh, jiwa dan kesadaran manusia. Pada tahun 1980-an masyarakat muslim di seluruh nusantara sedang mengalami pergeseran berkelanjutan dalam ketaatan beragama dari sinkretisme Islam menuju berbagai jenis ketaatan Islam yang lebih normatif. Misalnya, ibadah di masjid yang dulunya dihindari oleh kaum abangan kini penuh sesak.
Peningkatan dramatis dalam ketaatan pada ajaran Islam ini penting karena alasan sosial politik dan agama. Di sebagian besar wilayah Jawa dan pedesaan Indonesia secara keseluruhan, mobilisasi partai politik yang sengit pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an telah membangun perpecahan sosial-agama yang sama untuk sebagian besar kekuatan sosial mereka. Namun, daripada meningkatkan peruntungan elektoral partai-partai Islam, pendalaman kesalehan Islam di seluruh Indonesia pada tahun 1980-an mendorong para aktor \"nasionalis-sekuler\" di partai-partai politik seperti Golkar untuk memberikan dukungan mereka terhadap kebijakan-kebijakan yang mempromosikan Islam dalam kehidupan publik. Meningkatnya ketaatan Islam di masyarakat, dengan demikian, tidak berarti bahwa partai-partai politik Muslim memenangkan lebih banyak suara. Sebaliknya, hal itu berarti bahwa praktik-praktik kesalehan yang dulunya dianggap hanya dilakukan oleh kaum santri kini diadopsi oleh kaum Muslim dari semua aliran politik.
Islam yang Diamati dan Dikonseptualisasikan Kembali
Jika korelasi Geertz tentang kelas sosial dan religiusitas hanya diterapkan secara tidak sempurna pada seluruh Jawa, ia menghadapi masalah yang lebih besar ketika digeneralisasikan ke komunitas Muslim di tempat lain di Indonesia. Penelitian di wilayah-wilayah lain di Indonesia ini secara konsisten menunjukkan bahwa terminologi kategoris (abangan, santri, priyayi) yang dibuat Geertz berdasarkan penelitiannya di Jawa Timur bukanlah bagian dari sebagian besar bahasa daerah setempat. Secara lebih umum, di mana terdapat varian budaya dan ketaatan Muslim yang berbeda, mereka diartikulasikan dengan cara-cara yang menunjukkan pengaruh warisan etnis, agama, dan asosiasional yang lebih beragam daripada yang berlaku di Jawa.
Berdasarkan studi di Indonesia, perhatian teoritis yang sama terhadap korelasi ketaatan Islam dengan perpecahan dalam masyarakat tetap menjadi salah satu landasan penelitian. Akan tetapi, penelitian yang sama juga telah bergerak melampaui penekanan sebelumnya pada wilayah dan kelompok etnis untuk meneliti bagaimana ketaatan Islam berbeda sebagai akibat dari variasi dalam kelas sosial, latar belakang pendidikan, dan media sosial. Salah satu contoh terbaru yang paling jelas dari pendekatan Islam dan media ini adalah yang dilakukan oleh antropolog Amerika, James Hoesterey. Studi Hoesterey terhadap penceramah ternama Abdullah Gymnastiar menunjukkan bahwa berbagai bentuk baru pembelajaran dan ketaatan Islam di Indonesia menunjukkan pengaruh tidak hanya dari etnisitas dan daerah, tetapi juga media sosial baru serta epistemologi sosial yang sangat beragam yang menggabungkan “gagasan Sufi tentang hati yang etis dengan slogan-slogan swadaya dari psikologi populer Barat.”
Perluasan Cakrawala dan Beragamnya Pertentangan Sosial
Pada pertengahan 1990-an, penelitian ilmu sosial tentang Islam dan masyarakat di Indonesia telah diperluas ke wilayah-wilayah yang jauh di luar Jawa. Perpecahan sosial antara kelompok etnoreligius yang berbeda sering kali mengambil bentuk yang sangat berbeda dari yang terjadi di Jawa. Seperti di Sumatera Utara, Maluku, dan daerah lain di Indonesia bagian tengah dan timur, perpecahan etnoreligius yang utama sering kali berpusat pada, bukan korelasi kelas sosial dengan berbagai jenis ketaatan Islam yang bersaing, tetapi perpecahan sosial yang memisahkan Muslim dan Kristen. Di provinsi-provinsi Indonesia seperti Aceh dan Sumatera Barat, tempat misi Kristen tidak pernah menonjol, penelitian sosial menunjukkan bahwa perpecahan sosial keagamaan yang lebih meluas tidak berkaitan dengan Kristen vs Muslim atau Islam normatif vs beberapa padanan lokal dari abangan-isme, tetapi dengan pertentangan antara berbagai jenis Islam modernis dan tradisionalis. Kaum Muslim tradisionalis cenderung berbasis di desa. Kaum reformis muda cenderung mengidentifikasi diri dengan organisasi-organisasi Muslim lintas-regional dan cara hidup yang lebih kosmopolitan.
Etika Muslim yang Demokratis dan Inklusif
Di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia, satu ciri tambahan dari tradisi Islam yang baru-baru ini menjadi fokus penelitian sosial adalah yang terkait dengan badan yurisprudensi Muslim yang dikenal sebagai fikih. Mayoritas saat ini masih sangat menekankan yurisprudensi Islam klasik dan sebagian besar belum direformasi. Namun, pelopor progresif di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berkomitmen pada reformasi fikih yang bisa dibilang termasuk yang paling berwawasan ke depan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia Muslim yang lebih luas.
Pada tahun 2010-an, pimpinan Nahdlatul Ulama dan sayap pemudanya, Ansor, kembali menginisiasi kampanye pembaruan hukum Islam yang pertama kali diresmikan oleh Abdurrahman Wahid dan Achmad Shiddiq pada tahun 1980-an. Upaya ini difokuskan pada perumusan fikih . berlandaskan pada prinsip demokrasi modern dan kesetaraan kewarganegaraan, bukan pada oposisi fundamental kaum Muslim. Di bawah kepemimpinan ulama NU terkemuka seperti Syaikh KH. Abdulla Kavabiri Mahrus, KH. Mustofa Bisri, KH. Yahya Cholil Staquf, dan lainnya, para pejabat NU mengumumkan tekad mereka untuk menciptakan apa yang mereka sebut sebagai fiqh al-hadarah, atau “fiqh peradaban.” Salah satu produk fiqih peradaban NU yang paling awal dan paling signifikan secara global dipresentasikan pada tanggal 9 dan 10 Mei 2016, ketika NU menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Internasional Pemimpin Islam Moderat (ISOMIL) di Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh sekelompok kecil 400 cendekiawan Muslim dari lebih dari 30 negara.
Proyek NU untuk fikih peradaban tidak hanya dipromosikan di kantor pusat nasional. Dari Agustus 2023 hingga awal 2024, pimpinan NU menyelenggarakan tidak kurang dari 231 lingkaran studi halaqoh di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia untuk memperkenalkan tujuan dan metode fikih peradaban. Pertemuan halaqoh tersebut disponsori oleh Lembaga Studi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, di bawah arahan Ketuanya saat ini, KH. Ulil Abshar Abdalla. Organisasi Sufi yang berbasis di Amerika Utara dan terkait dengan NU, Bayt ar-Rahmah sangat mendukung, NU juga menyebarluaskan proposalnya untuk Islam Kemanusiaan dan Fikih Peradaban, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia yang lebih luas, termasuk di negara-negara Barat.
Kesimpulan
Terdapat tiga poin besar pada penelitian tersebut. Pertama, penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengaruh abadi dalam refigurasi politik dan etika umat Islam di Indonesia bukanlah prinsip-prinsip kitab suci semata, melainkan naiknya negara bangsa modern secara global serta upaya para intelektual dan politisi umat Islam untuk menyusun etika masyarakat umat Islam yang selaras dengan realitas negara yang modern dan majemuk secara agama. Kedua, tulisan tersebut menunjukkan bahwa ciri lain dari kajian ilmiah sosial Islam di Indonesia adalah naiknya para intelektual Muslim kelahiran Indonesia ke posisi-posisi kepemimpinan intelektual di bidang ini. Ketiga, artikel tersebut menjelaskan bahwa salah satu pencapaian penting dari penelitian ilmiah sosial ini adalah menjelaskan bagaimana Indonesia berhasil mengembangkan demokrasi yang paling efektif dan berkelanjutan di dunia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam.