Syariah dan Negara Islam di Aceh
Riset SosialArtikel berjudul “Sharia and Islamic State in Indonesia Constitutional Democracy: An Aceh Experience” merupakan karya Khamami Zada. Tulisan ini terbit di Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan tahun 2023. Penerapan syariat Islam di Aceh dihadapkan pada suatu pertanyaan krusial yakni apakah syariat Islam kompetibel dengan demokrasi sebagai sistem politik Indonesia? Apakah dengan semakin luasnya penerapan syariat Islam di Aceh akan mengancam eksistensi negara Indonesia? Penelitian ini mendapatkan data primer yang bersumber dari wawancara kepada para akademisi, wartawan, aktivis lembaga swadaya Masyarakat, anak-anak muda Aceh, dan Focus Group Discussion dengan pimpinan Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Sedangkan, data sekunder berasal dari dokumen Sejarah, undang-undang, dan qanun di Aceh. Hasil data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan teori legal history Pound dan teori Islamic democratic state Hayes. Terdapat tiga sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, sarana bertahap dan konstitusional. Ketiga, Aceh menuju negara Islam?
Pendahuluan
Demokratiasi syariah telah menjadi tren di negara-negara Islam, meskipun banyak akademisi yang meragukan kesesuaian antara Syariah dan demokrasi. Namun beberapa negara tersebut telah menunjukkan kemampuan melegalkan syariah sebagai bagian dari sistem hukum dalam demokrasi. Lebih lanjut, syariah tunduk pada proses dan mekanisme politik demokratis yang melibatkan pemerintah, partai politik, media massa dan Masyarakat dalam menetapkan kebijakan hukum dan politik.
Negara-negara seperti Indonesia, Pakistan, Malaysia, Mesir dan Tunisia telah menggunakan sistem demokrasi untuk melegalkan syariah. Umumnya legalisasi syariah dalam sistem demokrasi diarahkan pada penerapan hukum pidana dan pemerintahan Islam. Kedua aspek hukum ini adalah bagian penting dari aspirasi umat Islam. Beberapa negara barat juga telah menempatkan hukum keluarga dan ekonomi Islam dalam sistem huku nasionalnya. Misal, Undang-Undang di Inggris telah membuka beberapa peluang bagi ritual aktivitas Islam seperti pada acara pemakaman, pernikahan dan sebagainya.
Indonesia adalah kasus menarik yang memberikan salah satu wilayah yakni Aceh dengan kewenangan eksklusif untuk menerapkan syariah. Pasca ditetapkannya otonomi khusus Aceh tahun 2001, aspirasi syariah di Aceh sudah menunjukkan totalitas. Pada tahap awal, aspek syariah dilegalkan dalam cakupan akidah, ibadah dan dakwah. Kemudian, meluas pada huum pidana, meskipun telah menuai kontroversi secara nasional. Saat ini, pemerintah daerah telah menetapkan peraturan ekonomi syariah dan sedang merumuskan qanun mengenai hukum keluarga. Penerapan syariah yang lebih komprehensif tidak dapat dipisahkan dari suasana sosial, budaya, Sejarah dan politik di Aceh. Integrasi komponen tersebut menjadikan rezim syariah di Aceh dapat diterima oleh Masyarakat. Meskipun sering kali terjadi pelanggaran, namun Masyarakat masih menganggap hukum Islam sebagai komponen fundamental di provinsi tersebut.
Sarana Bertahap dan Konstitusional
Pada konteks perundang-undangan, penerapan syariah di Aceh tidak terjadi secara instan, melainkan bertahap dengan dikeluarkannya qanun. Sejak tahun 2000, peta jalan penerapan syariah relatif lebih jelas dengan diterbitkannya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Penerapan Syariah di Bidang Kepercayaan, Ibadah dan Dakwah Islam. Kemudian, dilengkapi dengan Qanun Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Keyakinan. Berbagai peraturan perlindungan moral termasuk larangan minuman keras, perjudian, perzinahan, dan pemerkosaan yang tercermin dalam tiga Qanun seperti Nomor 12 tentang Larangan Minuman Keras dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 tahun 2003 tentang Larangan Perjudian, dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat. Ketiganya termasuk dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Pidana Islam yang mengatur tentang minuman keras, perjudian, perzinahan, kedekatan antara laki-laki dan Perempuan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Selanjutnya, hukum acara Islam diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Pidana Islam. Tahap selanjutnya adalah penerbitan peraturan ekonomi syariah seperti Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Zakat.
Selain substansi hukum, penerapan syariah secara bertahap juga terjadi pada sanksinya. Misalnya, belum ada Qanun yang mengatur hukuman bagi pencuri. Namun, pemerintah Aceh belum menerapkan apa yang diatur dalam al-Qur’an yakni untuk pencuri harus dipotong tangan. Begitu juga hukuman terkait perzinahan. Pemerintah tidak mempertimbangkan hukuman rajam, melainkan cambuk yang sesuai dengan konteks Sejarah seputar perdebatan penyusunan Qanun Hukum Pidana Islam di era Irwandy Yusuf sebagai Gubernur.
Baca Juga : Mengurai Benang Kusut Konsumerisme dalam Film Dokumenter “Buy Now! The Shopping Conspiracy”
Pilihan formalisasi syariah secara bertahap di Aceh tetap dipertahankan dalam konteks demokrasi konstitusional procedural. Penerapan syariah di Aceh berada dalam lanskap kebijakan hukum nasional sebagaimana diatur dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 yang mengakomodasi Islam sebagai salah satu sumber hukumnya. Pada konteks ini, syariat di Aceh diatur dalam bentuk Qanun dengan dua prinsip yakni tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional dan dapat mengisi kesenjangan dalam hukum nasional.
Aceh Menuju Negara Islam?
Negara Islam yang sedang diperjuangkan memiliki makna politik yang menolak negara bangsa modern berdasarkan kedaulatan nasional. Landasannya adalah negara Islam selalu ditempatkan pada konsepsi kedaulatan Tuhan yang mencerminkan hukum Tuhan. Artinya, pemerintah berperan dalam melaksanakan hukum Tuhan yakni Hukum Islam.
Sistem demokrasi di Indonesia memungkinkan Aceh menerapkan syariah tanpa bertentangan dengan sistem politik dan hukum nasional. Syariah di Aceh menjadi demokratis setelah diatur dalam sistem politik partisipatif. Hal ini memungkinkan karena unsur diskursif syariah memungkinkannya diformalkan melalui aspirasi politik dan negosiasi antar kelompok Masyarakat.
Meskipun penerapan syariat Islam dilakukan berdasarkan demokrasi konstitusional, namun arah Aceh menuju negara Islam tidak dapat dihindari. Terutama, ketika Aceh telah menyelesaikan peta jalan penerapan syariat secara utuh. Kelengkapan hukum Islam di Aceh pada akhirnya dapat mengarah pada penerapan sistem pemerintahan Islam.
Peta jalan penerapan hukum Islam akan mengarah pada penerapan hukum pidana Islam dan hukum ekonomi syariah secara penuh. Hal ini memungkinkan pasca keberhasilan penerapan syariah pada adpek ibadah, dakwah, dan diperkuat dengan unsur akidah, hukum pidana Islam dan jukum ekonomi syariah. Meskipun demikian, apa yang diterapkan di Aceh masih terbatas pada hukuman yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an dan hukuman yang diberikan atas kebijakan hakim.
Selain itu, penerapan hukum ekonomi syariah juga diterapkan di Aceh dengan diberlakukannya Qanun tentang Lembaga Keuangan Syariah Nomor 11 Tahun 2018. Qanun ini secara tegas menyatakan bahwa setiap lembaga keuangan di Aceh wajib menjalanan kegiatan operasionalnya sesuai dengan aturan syariah. Lembaga keuangan yang dimaksud adalah bank, pegadaian, Perusahaan asuransi dan koperasi.
Fakta-fakta di atas mencerminkan kesungguhan Aceh dalam menerapkan syariat Islam. Artinya, tidak menutup kemungkinan Aceh akan dilengkapi dengan lembaga Islam sebagai alat negara. Terminologi yang digunakan juga mengikuti sistem politik modern. Mau tidak mau, Aceh bisa menjadi wilayah Islam di bawah negara Indonesia dengan otonomi khusus. Indonesia sebagai negara demokrasi menerima Aceh sebagai wilayah negara demokrasi Islam.
Kesimpulan
Penelian tersebut menunjukkan bahwa dinamika penerapan syariah di Aceh tidak lepas dari persoalan kenegaraan yang dikaitkan dengan sistem hukum nasional. Akibat kompromi politik, penerapan syariat Islam di Aceh dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus. Bermula dari perlindungan keimanan, ibadah, dan dakwah Islam, penerapan hukum Islam bergerak menuju penerapan hukum pidana Islam dan hukum ekonomi syariah. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan kesiapan masyarakat dan niat untuk menerapkan syariat Islam dalam kerangka hukum nasional. Berdasarkan konteks sosial dan politik Indonesia, Aceh bukanlah prototipe negara Islam. Aceh akan selalu menjadi daerah demokrasi Islam yang menerapkan prinsip-prinsip Islam berdasarkan demokrasi prosedural agar menjadi bagian dari sistem politik ketatanegaraan Indonesia. Peraturan yang diberlakukan ini mengandung makna bahwa hukum Islam di Aceh telah menjadi hukum yang diterima oleh masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia.