(Sumber : NU Online)

Tradisi Ziarah Makam Keramat dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup

Riset Sosial

Artikel berjudul “The Tradition of Pilgrimage to the Grave of Muslim Missionaries in Misool Island, Papua” merupakan karya Ade Yamin, Mufliha Wijayati, Ana Maria, Fatimah Parera dan Rahmawansyah Sahib. Tulisan ini terbit di International Journal of Islamic Thought tahun 2002. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengungkap makna dibalik makam yang dianggap keramat oleh masyarakat. Selain itu, menjelaskan relasi antara tradisi ziarah di makam keramat dengan pemunuhan kebutuhan hidup, kuatnya pengaruh niai adat dan agama dalam menentukan nilai sekaligus norma yang berlaku di Pulau Misool, Raja Empat. Karya tersebut menggunakan penelitian etnografi. Terdapat enam sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, sejarah Islam di Pulau Misool. Ketiga, makam suci. Keempat, ritual makam keramat Misool dan maknanya. Kelima, hegemoni budaya dan struktural. Keenam, makam keramat sebagai solusi alternatif. 

  

Pendahuluan 

  

Banyak pengalaman masyarakat yang menceritakan bahwa makam tokoh-tokoh Islam di Pulau Misool berfungsi sebagai media untuk ‘menitipkan’ do’a dengan harapan terkabulnya keinginan manusia. Makam para tokoh agama sering dikunjungi dengan niat untuk berdoa, mencari berkah, menghormati tokoh, mengikuti perilaku mereka dan motivasi mistis individu lainnya. Mengunjungi makam adalah praktik budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Alhasil, masyarakat terdorong untuk merawat dan menyucikan makam sesuai dengan adat dan tradisi setempat. Tak terkecuali wilayah muslim sebagai minoritas, keberadaan makam tokoh Islam di Misool-Papua memiliki tradisi penyucian makam. Namun, di wilayah Misool praktik ini agak berbeda karena kesakralan yang dilakukan masyarakat di sekitarnya. Selain di dorong oleh faktor agama, konfisi sosial ekonomi masyarakat yang terbatas dan bentuk dari hegemoni dari otoritas agama menjadikannya berbeda. 

  

Sejarah Islam di Pulau Misool

  

Menurut Saberia dalam tulisannya berjudul “Pengaruh Islam Terhadap Kehidupan Penduduk Misool Kabupaten Raja Ampat (Suatu Kajian Sejarah Tradisi Islam)” menjelaskan bahwa Islam Masyarakat Misool saat ini adalah warisan seorang ulama bernama Syekh Abdurrahman bin Alqi Almisry yang berasal dari Tidore. Namun, sejarah Islam di Misool sebenarnya dapat digambarkan dengan dua cara. Pertama, versi yang menyatakan bahwa Islam dimulai pada abad 13 dengan mangacu pada catatan perjalanan yang ditulis Ibnu Battuta. Penyebaran Islam dilakukan dengan tig acara melalui politik, budaya dan kekerabatan. Kedua adalah versi sejarah lisan masyarakat Misool yang masih menyimpan kenangan perjumpaan mereka dengan tokoh dan penyebar Islam yang cukup beragam. Tentu, perspektifnya juga beragam karena masyarakat memiliki sudut pandang yang berbeda. 

  

Secara singkat, Islam dipeluk oleh penduduk Misool berdasarkan kesadaran batin karena mendapatkan perlakuan baik dari para penyebar Islam. Mereka mendapatkan sosok guru yang memberikan mereka pengajaran dan pengetahuan. Selain itu, terjadi kultus dan simbol yang mewakili tokoh dan tempat dimakamkan. Mereka menganggap berziarah adalah amalan yang sejalan dengan model ajaran sufi yang berpandangan bahwa karamah tertentu dan tempat suci dapat digunakan untuk meminta berkah dari Yang Maha Kuasa. 

  

Makam Suci

  

Terdapat tiga makam yang selalu dikunjungi oleh masyarkat sekitar ketika mereka ada masalah, memiliki harapan tertentu seperti mendaftar kuliah, ingin menjadi polisi, pegawai negeri bahkan ikut dalam kontestasi politik. Ketiga makam tersebut menjadi sarana penting bagi masyarakat skeitar guna mewujudkan keinginannya. Alhasil, ketiga makam tersebut menjadi tempat yang sakral. 


Baca Juga : Belajar dari Pernikahan NU-Muhammadiyah

  

Pertama, makam suci Tomolol diduga sebagai makam penyebar Islam pertama di Pulau Misool. Lokasinya dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit dari titik pemberangkatan desa Tomolol. Mereka harus menyewa perahu fiber dari masyarakat setempat dengan tenaga mesin 15, 30 atau 45 PK. Lokasi makam tersebut sangat terawat dan dijadikan sebagai situs budaya oleh pemerintahan daerah Raja Ampat. Terdapat dua makam didekat lokasi yakni satu makam diperkirakan milik Syekh Abdurrahman Almisry dan istriya Boqi Taibah. Pemerintah telah melakukan pemugaran makam dan menambahkan sentuhan ornament modern berupa pemasangan ubi batu dan beberapa aksesori lainnya seperti pagar besi di sekelilingnya, jembatan dan fasilitas umum berupa urinoir. Selain itu, ada pula papan nama sebagai penanda identitas makam. 

  

Kedua, makam tanpa nama yang dikenal dengan Yefbi Kapatcol. Makam tersebut memiliki penampilan kontras jika dibandingkan dengan makam keramat Tomolol yang mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Penampilan makam ini sangar tidak terawat. Menurut mitos, peziarah yang beruntung akan disambut dengan wangi yang tercium dari atas makam. Berdasarkan legenda, Yefbi Kapatcol merupakan makam yang hanyut dari Pulau Tidore, Maluku Utara dan terdampar di Pulau Misool. Makam tersebut dianggap memiliki karamah tersendiri. 

  

Ketiga, makam Yefpale Lapale yang membutuhkan waktu 60 menit dengan perahu dari Desa Lilinta ke arah Selatan. Kondisi makam masih drelatif baik karena dirawat secara swadaya oleh keluarga Haji Abu Bakar Umkabu dari Desa Lilinta. Sayangnya, terdapat perdebatan siapa yang dimakamkan di sana. Ada yang menyatakan bahwa itu Abdul Salis dari Baghdad. Sementara yang lain menyatakan itu adalah makam ulama dari India. Ada pula yang menyatakan bahwa itu adalah makam pemuka agama yang meninggal dalam perjalanan dan berwasiat agar jenazahnya dimakamkan di pulau tersebut. 

  

Ritual Makam Keramat Misool dan Maknanya 

  

Ritual yang biasanya dilakukan di makam tersebut melibatkan banyak unsur dan pernak-pernik, seperti pemimpin ritual, perlengkapan, dan aturan yang kaku dalam prosesnya. Namun, unsur tersebut bukanlah hal yang paten karena para peziarah melakukan ritual mereka sendiri tanpa pemimpin. Seseorang yang niat datang ziarah tidak membawa persembahan apa pun, mereka hanya berdoa dan menyampaikan keinginannya. Masyarakat setempat dapat berdoa di rumahnya masing-masing dalam keadaan tertentu melalui syafaat karamah dari makam suci yang dimaksud.

  

Hegemoni Budaya dan Struktural

  

Ritual yang dilakukan masyarakat di makam, memberikan tiga konteks penting yang mencerminkan realitas sosial, politik dan ekonomi masyarakat Misool. Pertama, kesakralan makam mempresentasikan kepercayaan akan adanya kekuatan yang lebih besar di luar kehidupan manusia. Kekuatan ini dianggap memiliki kemampuan untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat, namun juga kerugian apabila tidak lagi memegang teguh nilai dan norma yang diwariskan melalui trasidi. Keyakinan ini merupakan nilai spiritual yang diasosiasikan secara universal dengan kemanusiaan. 

  

Kedua, kesucian makam adalah wujud keterbatasan sumber daya manusia dalam memahami realitas kehidupan akibat minimnya akses pengetahuan. Kendala ini memperkuat kepercayaan dan keyakinan masyarakat terkait hal yang tidak dapat dijelaskan dengan penalaran sederhana. Kemudian, pendidikan yang tidak memadai, ditambah dengan hegemoni agama dalam kehidupan mereka, menghadirkan konteks lainnya, yakni konteks ketiga. 

  

Ketiga, pelestarian otoritas agama dan adat sebagai sumber hukum dan keyakinan yang tidak dapat ditawar. Ziarah bahkan dengan ritual sederhana mencerminkan kontrol ketat yang diwujudkan dalam standar tindakan dan ucapan mengenai apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan. Beberapa makam keramat lain menggunakan mekanisme kontrol berupa mitos yang tidak dapat dilanggar.

  

Makam Keramat Sebagai Solusi Alternatif

  

Apresiasi, pemuliaan dan penempatan makam sebagai elemen penting dalam lingkaran kehidupan masyarakat Misool secara praktis dapat dianggap sebagai solusi alternatif untuk memecahkan kebekuan antara komunitas dan kekuasaan struktural. Cara menghadapi berbagai kendala adalah masyarakat mengusulkan solusi budaya sebagai pemecahan masalah, meskipun solusi ini nampaknya hanya sebatas sugesti dan upaya masyarakat. Alhasil, tidak salah jika disimpulkan bahwa makam keramat merupakan pilihan terkahir masyarakat untuk menggantungkan harapan, setelah berbagai upaya dilakukan. Realitas ini menegaskan apa yang dikatakan Peter L. Berger yakni kepercayaan masyarakat berfungsi sebagai “kanopi” sakral yang tidak hanya berfungsi sebagai pedoman dalam melakukan ritual, tetapi telah mengkonstruksi cara hidup, nilai dan norma yang harus diikuti, dan dalam gilirannya melindungi masyarakat dari keadaan tidak nyaman dan tidak berarti.

  

Kesimpulan

  

Keberadaan makam keramat bukan hanya sebagai penanda adanya tokoh penting di dana. Namun lebih dari itu, makan keramat menyontohkan kesenjangan antara harapan masyarakat yang mengggantungkan seluruh aktivitas kehidupannya pada nilai budaya dengan kekuasaan pemerintah yang bergerak secara struktural. Ketidakberdayaan masyrakat dalam mnegakses berbagai sumber daya tidak bisa diakomodir oleh kekuatan struktural negara. Alhasil, makam telah bertransformasi dari benda mati yang bermakna simbolis menjadi tumpuan harapan memenuhi kebutuhan hidup. Hal yang menjadi otokrotik menekankan pada pentingnya menutup kesenjangan antara kebiasaan masyarakat yang dilandasi nilai budaya dan birokrasi pemerintah dengan paradigma struktural dalam konteks tertentu. Seolah-olah terjadi konflik antara nilai budaya dalam masyarakat dan struktural, sekaligus nilai yang ada dalam kekuasaan.