DPR, Hak Angket dan Pemilu: Koalisi Rentan
OpiniAkhir-akhir ini ada gagasan yang sesungguhnya menarik, yaitu hak angket untuk mengevaluasi hasil pemilu 2024. Isu pentingnya hak angket DPR ini diungkapkan oleh Ganjar Pranowo, Capres 03 yang diusung oleh PDIP dan partai politik lainnya. Hak angket ini dianggap sebagai salah satu solusi atas “kecurangan” pemilu 2024. Ada dugaan kuat bahwa pemilu 2024 penuh dengan rekayasa dan kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif. Dugaan ini diungkapkan oleh paslon yang “merasa” kalah dalam hitung cepat dan real count KPU yang juga tetap menghasilkan perhitungan bahwa yang mendapatkan suara terbanyak adalah Paslon 02.
Usulan Ganjar tentu bergulir di media social dan tentu juga memperoleh respon yang variative. Ada pro-kontra. Mereka yang pro Ganjar adalah mereka yang merasakan kekalahan sehingga terjadilah penyebaran informasi yang terkait dengan urgensi hak angket. Pendukung paslon 01 dan 03 juga mengamini atas usulan DPR untuk menilai hasil pemilu yang dianggap penuh dengan rekayasa dimaksud.
Hak angket merupakan salah satu hak DPR untuk menanyakan kepada pemerintah terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang yang dianggapnya perlu dievaluasi. Pemerintah selaku pelaksana kebijakan yang berbasis pada undang-undang tentu dapat dievaluasi oleh DPR, apakah terdapat kekeliruan atau penyimpangan sehingga diperlukan pelurusan. Hak angket merupakan hak istimewa DPR dalam system tata negara di Indonesia. Hak angket digunakan untuk memberikan evaluasi atas perjalanan pemerintahan yang berdasar atas regulasi yang berlaku.
Memang ada banyak pandangan terkait dengan hak angket DPR tersebut, dan seperti biasa dipastikan akan ada pro dan kontra. Inilah menariknya dunia politik yang hingar bingar dengan tarikan kepentingan. Politik merupakan artikulasi kepentingan kepada kekuasaan. Oleh karena itu pantas jika di dalamnya terdapat upaya-upaya dan strategi untuk memenangkan perjuangan politik agar kekuasaan berada di tangannya. Indonesia merupakan negara multipartai yang untuk kepentingan artikulasi kepentingan diperlukan koalisi satu partai politik dengan lainnya. Koalisi diperlukan terutama di dalam pencalonan pimpinan negara dan daerah. Sebagai persyaratan untuk mencalonkan presiden diperlukan suara sebanyak 20% di parlemen. Sebagai prediksi, dalam pilpres tahun 2029, maka tidak ada satu pun partai politik yang akan bisa meloloskan calon presiden dan wakil presiden sendirian, kecuali berkoalisi dengan partai lainnya. PDI-P sebagai pemenang dengan suara terbesar di DPR, hanya 16%, sehingga memerlukan koalisi dengan partai lain.
Hak angket yang digagas oleh Ganjar paslon 03, sesungguhnya relative memungkinkan terjadi. Hal ini tentu jika koalisi dalam mengusung paslon 03 memenuhi persyaratan sebagai mayoritas di dalam legislative. Hanya sayangnya tidak terdapat koalisi ideologis yang memungkinkan terjadi konsistensi atas kesepahaman kesamaan visi dan misi organisasi politik. Hal yang jelas memang tidak pernah terjadi koalisi permanen di dalam dunia politik, khususnya di Indonesia. Di sini tidak dikenal konsep “jarak ideologis” partai politik. Di era Orde baru pernah dicoba untuk membangun jarak ideologis dengan tiga saja, yaitu ideologi keagamaan, idelogi kekaryaan dan ideologi demokrasi, akan tetapi konsep ini kemudian bubar pasca reformasi yang memberikan peluang bagi munculnya partai-partai baru yang tidak mendasarkan partainya pada platform ideologi tertentu.
Akhirnya sampai hari ini, yang namanya koalisi hanya untuk kepentingan kekuasaan dan pemenuhan kepentingan saja. Koalisi seperti itu dipastikan rentan atas “rayuan” untuk berubah dalam dukungan dalam koalisi. Jika diperhatikan dewasa ini, maka betapa rentannya koalisi antar partai untuk mengusung paslon dalam pilpres. Partai “besar” di dalam koalisi untuk mengusung paslon Anis-Muhaiman adalah Partai Nasdem, PKS dan PKB, kemudian pengusung paslon 03, Ganjar-Mahfud, adalah PDIP dan PPP, lalu yang mengusung paslon 02 adalah Partai Golkar, PAN, dan PD. Memang ada partai-partai lain tetapi tidak signifikan perolehan suaranya.
Makanya, Jokowi dengan kepiawaiannya lalu berencana membangun “koalisi baru” misalnya dengan melakukan meeting dengan Surya Paloh dan berpeluang dengan PKB, sementara itu PKS dan PPP juga rentan untuk masuk dalam koalisi baru dimaksud. Jika seperti ini, maka PDI-P akan berjalan sendiri. Dan akibatnya tentu jelas bahwa PDI-P akan tertatih-tatih untuk memperjuangkan hak angket sebagaimana yang digagas oleh kadernya. Partai Nasdem, PKB dan PPP berkecenderungan untuk masuk dalam cabinet. Target penting pasca kekalahan capresnya adalah masuk dalam cabinet dalam kerangka melindungi kepentingannya. PPP tentu akan merugi dengan terus menjalani koalisi dengan PDI-P sebab tentu tidak akan memperoleh kompensasi apapun.
Selain itu, secara regulative yang berhak untuk menyelesaikan sengketa pilpres atau pileg adalah Bawaslu dan MK. Keduanya yang akan menyelesaikan sengketa pemilu. Jadi, yang berhak untuk menyelesaikan sengketa adalah lembaga yang sesuai dengan undang-undang pemilu. Dengan demikian, jika hak angket lolos dan misalnya menghasilkan keputusan pilpres curang, maka dipastikan akan terjadi variasi respon sehingga akan memungkinkan terjadi kekacauan. Kepastian siapa presiden dan wakil presiden menjadi tidak jelas, dan secara regulative juga masih “diragukan” keabsahan hak angket untuk menyelesaikan sengketa pilpres.
Mengamati terhadap perkembangan ini, maka kiranya ada keraguan tentang keberlangsungan hak angket. Berdasarkan pendekatan pragmatisme politik, maka hak angket tidak menarik untuk diperjuangkan oleh partai politik. Makanya, keinginan untuk membangun koalisi untuk mengusung hak angket dipastikan akan layu sebelum berkembang.
Wallahu a’lam bi al shawab.