Arsitektur Sinkretik Masjid dan Ekspresi Tauhid Sufistik
Riset BudayaArtikel berjudul “The Syncretic Architecture of the Menara Kudus Mosque as an Expression of Sufistic Tawhid” merupakan karya Abdul Muhaya, Muhammad Faiq, Ahmad Tajuddin Arafat dan Thiyas Tono Taufiq. Tulisan tersebut terbit di Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam tahun 2025. Penelitian tersebut mengeksplorasi makna simbolis dari arsitektur sinkretis Masjid Menara Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus. Penelitian kualitatif ini menggunakan teori interaksi simbolik Joel M. Charon dan George Ritzer, dilengkapi dengan metode komparatif untuk mengungkap persamaan dan perbedaan fungsi dan struktur antara Masjid Menara Kudus dan candi Hindu-Buddha dan simbolisme inherennya dapat dipahami. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, Kudus: sejarah dan struktur sosial keagamaannya. Ketiga, pandangan Sufi tentang tauhid. Keempat, arsitektur sinkretis Masjid Menara Kudus. Kelima, makna simbolis arsitektur sinkretis masjid.
Pendahuluan
Simbol-simbol Hindu dan Buddha dalam arsitektur masjid sering menimbulkan banyak kontroversi. Umat Islam Puritan menentang dimasukkannya ornamen Hindu-Buddha ke dalam arsitektur Islam (sinkretisme) karena tidak secara kasat mata memisahkan agama Islam yang sejati dari agama-agama politeistik. Pada masyarakat Muslim, masjid merupakan pusat kegiatan keagamaan dan cerminan identitas keagamaan masyarakat. Selain itu, dimasukkannya unsur-unsur ornamen candi Hindu-Buddha dianggap sebagai pengaburan identitas Islam, yang dilarang oleh Islam.
Nabi Muhammad menyatakan bahwa siapa pun yang meniru dan menyerupai suatu kaum dianggap sebagai bagian dari mereka. Namun, sejarah menunjukkan bahwa Walisongo, Sunan Kudus membangun Masjid Menara Kudus atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Al Aqsa sengaja mengadopsi gaya arsitektur Hindu-Budha. Akulturasi tersebut kemudian menjadi ciri dominan pada masa itu, terbukti dari berdirinya masjid-masjid lain seperti Masjid Langgar Dalem (dibangun tahun 1480), Masjid Baitul Aziz (dibangun tahun 1458), Masjid Al Makmur (dibangun tahun 1552), dan Masjid At-Taqwa (dibangun tahun 1597). Arsitektur sinkretik Masjid Menara Kudus merupakan strategi dakwah yang digagas oleh Sunan Kudus pada abad ke-16.
Kudus: Sejarah dan Struktur Sosial Keagamaannya
Secara geografis, Kudus merupakan kota yang terletak di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa. Pada zaman dahulu, Kudus merupakan sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Jawa oleh sebuah selat yang membentang dari Demak hingga Lasem. Pada abad ke-6, berdirilah kerajaan Hindu Kalingga, sehingga wilayah-wilayahnya didominasi oleh umat Hindu. Pada abad ke-13, berdirilah kerajaan Hindu-Buddha Majapahit di Jawa, dan Kudus jatuh di bawah kekuasaan Raden Poncowati, keturunan raja Majapahit. Pada akhir abad ke-15, Jawa mengalami masa ketidakstabilan politik ketika para penguasa lokal yang berbeda bersaing untuk merebut tahta Majapahit. Akibatnya, beberapa wilayah memisahkan diri dari kekuasaan pusat dan menjadi merdeka, salah satunya adalah Demak di bawah kekuasaan Sultan Abdul Fatah (1455–1518), yang biasa dikenal sebagai Raden Fatah, putra kandung raja Majapahit, Prabu Brawijaya V.
Sebelum Sunan Kudus menetap di daerah Kudus, wilayah tersebut merupakan tempat tinggal Raden Poncowati, seorang pangeran Majapahit dan saudara Raden Fatah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya situs Langgar Bubrah yang merupakan sisa-sisa tempat ibadah. Bangunan cagar budaya di Desa Demangan, Kecamatan Kota ini dianggap sebagai peninggalan tempat ibadah Islam yang dibangun jauh sebelum Masjid Menara Kudus. Sejumlah tim peneliti arkeologi dari Jerman, Cina, Korea, dan Indonesia telah meneliti situs tersebut. Profesor Popi dari Universitas Gadjah Mada dan Profesor Sinung dari Jakarta mengemukakan bahwa Langgar Bubrah lebih tua dari Masjid Menara Kudus. Awalnya, Langgar Bubrah merupakan tempat ibadah umat Hindu yang dihiasi dengan relief berupa alat kelamin laki-laki dan perempuan. Setelah Raden Poncowati memeluk agama Islam, bangunan tersebut dialihfungsikan untuk menampung jamaah Muslim. Bangunan tersebut disebut langgar dan diadopsi dari agama monoteistik asli, Kapitayan.
Sebelum kedatangan Sunan Kudus, penduduk setempat telah memeluk agama Hindu dan Buddha. Pada abad keenam, Kudus merupakan bagian dari Kerajaan Kalingga yang beragama Hindu dan kemudian diperintah oleh Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-Buddha. Setelah Sunan Kudus menetap di Kudus, Raden Poncowati memeluk agama Islam, dan banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut. Selain itu, arsitektur Masjid Menara Kudus memiliki gaya arsitektur yang sama dengan candi Hindu-Buddha dari masa Majapahit. Sejalan dengan ajaran semua Walisongo, Sunan Kudus menghormati perasaan umat Hindu setempat yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Oleh karena itu, ia melarang umat Islam setempat untuk menyembelih sapi demi menjaga kerukunan sosial dan menunjukkan kepekaan agama. Praktik ini masih menjadi ciri dominan budaya Muslim di Kudus saat ini.
Baca Juga : Mengerikan: Akibat Perang Bagi Kemanusiaan
Pandangan Sufi Tentang Tauhid
Tauhid secara bahasa berarti penyatuan, berdasarkan kata kerja “wahhada,” artinya \'menjadikan satu.\' Secara teknis, ini menunjukkan kepercayaan bahwa Allah benar-benar Esa. Keyakinan seseorang terhadap keesaan Allah harus ditingkatkan hingga kesadaran bahwa semua keragaman yang ada adalah Satu (Allah) dan bahwa Yang Esa adalah segalanya. Oleh karena itu, segala sesuatu berasal dari Tuhan, dan esensi-Nya terwujud dalam keragaman. Tauhid sufistik mengacu pada konsep keyakinan yang dihasilkan dari perolehan pikiran kognitif.
Pada pemikiran Islam, ada dua perspektif utama tentang tauhid. Para teolog menganggap kalimat syahadat berpendapat bahwa mengetahui sifat dan atribut Allah adalah cara yang sah untuk menegaskan keberadaan Allah dan sifat kesempurnaan-Nya. Di sisi lain, kelompok Sufi lebih menekankan pada keyakinan terhadap makna substantif-fungsional tauhid. Selain itu, Tauhid diartikan sebagai konsep penyatuan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Arsitektur Sinkretis Masjid Menara Kudus
Arsitektur diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik dan spiritualnya. Keindahan bangunan arsitektur adalah untuk menjawab hasrat emosional, spiritual, dan intelektual yang mengarah pada refleksi dan kontemplasi. Oleh karena itu, ia merupakan bentuk konkret budaya sebagai representasi budaya fisik dan konkret. Arsitektur masjid merupakan puncak ekspresi peradaban Muslim. Ia mengekspresikan keyakinan spiritual dalam bentuk material dan mencerminkan kemajuan masyarakat dalam sains dan teknologi. Masjid Menara Kudus mempertahankan bentuk arsitektur pra-Islam seperti pintu Jawa kuno yang terbelah, bata merah gaya Majapahit yang dipengaruhi Hindu-Buddha kuno, dan atap piramida tiga tingkat.
Ciri paling mencolok dari masjid ini adalah menara masjidnya, yang dibangun dengan batu bata merah. Menara masjid ini menyerupai gaya arsitektur candi Hindu. Puncak menara masjid berbentuk meruncing (ratna) dan memiliki pintu masuk menghadap ke Barat. Tata letak pintu masuk menara masjid ini sama dengan gaya pintu masuk candi Hindu-Buddha Singosari dan Majapahit. Menara masjid ini terdiri dari tiga bagian: kaki, badan, dan kepala. Kosmologi Hindu mengacu pada tiga bagian alam semesta (triloka): dunia bawah atau neraka (naraka), bumi (bhurloka), dan surga (svarga). Ketiga tingkat ini juga melambangkan tiga kualitas jiwa manusia, yang dapat berupa manusia-hewan, manusia, atau manusia malaikat. Di kaki menara menara, terdapat ukiran dengan motif Hindu. Badan menara memiliki rongga kecil berukuran 140 x 85 sentimeter, menyerupai relung candi Hindu yang dimaksudkan untuk menampung patung dewa; Namun, ceruk tersebut dibiarkan kosong di Masjid Menara Kudus. Detail menarik ini merupakan salah satu contoh cara Sunan Kudus yang penuh rasa hormat. Menariknya, Masjid Menara Kudus juga menampilkan ornamen-ornamen Tionghoa yang terdapat di bagian tengah menara masjid berupa tiga puluh dua piring keramik bercat yang diproduksi di Vietnam pada abad ke-14 dan ke-15. Sepuluh piring berwarna merah dan putih bergambar bunga, dan dua puluh piring lainnya bergambar masjid dan unta yang melambangkan unsur-unsur Arab. Terkait dengan komunikasi budaya, hiasan keramik ini merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap masyarakat Tionghoa di Kudus.
Arsitektur Masjid Menara Kudus merupakan kitab terbuka bagi mereka yang mampu membaca pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan yang disampaikannya kepada para pengunjung adalah bahwa Sunan Kudus merupakan seorang tokoh agama yang secara sadar memutuskan untuk mengamalkan pluralisme agama dan membangun budaya toleransi beragama. Sunan Kudus bisa saja memerintahkan para pengikutnya untuk menghancurkan semua candi Hindu-Budha di daerah tersebut dan mendirikan masjid baru. Akan tetapi, ia memilih pendekatan yang lebih bijak, lebih dewasa, dan lebih sadar diri dengan menekankan keberlangsungan ajaran agama. Masyarakat Kudus memiliki kepercayaan yang mengakar kuat dan nilai-nilai positifnya tercermin dalam arsitektur sakral mereka. Melalui arsitektur sinkretis, Sunan Kudus mengakui bahwa pluralitas agama merupakan realitas objektif, sehingga keberadaannya harus dihargai.
Makna Simbolis Arsitektur Sinkretis Masjid
Berdasarkan teori interaksionisme simbolik, lima elemen utama yang harus diperhatikan: simbolisasi, interpretasi, negosiasi, pembingkaian, dan manajemen kesan. Pertama, arsitektur sinkretis Masjid Menara Kudus banyak mengandung makna simbolis. Secara simbolis, gaya arsitektur sinkretis memberikan ajaran imajiner tentang dialog dan toleransi antarumat beragama kepada mereka yang menyaksikannya dengan penuh saksama. Kedua, arsitektur sinkretis yang menyatu dalam satu lokasi dapat dimaknai sebagai tempat suci bagi berbagai agama yang ada dalam tatanan sosial yang harus dihormati. Ketiga, bangunan tersebut menghadirkan proses negosiasi makna imajiner bahwa ajaran agama Buddha, Hindu, dan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan; ajaran tentang jalan kebenaran (agama Buddha), penghormatan terhadap roh (agama Hindu), dan pelaksanaan salat (agama Islam) harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan agama secara utuh. Keempat, melalui arsitektur sinkretis, Sunan Kudus memberikan bingkai makna tentang pluralitas agama dan budaya. Pluralitas agama dan budaya merupakan realitas yang harus diterima, diakui, dan diapresiasi untuk memperindah hubungan antarmanusia. Sebagai manifestasi Tuhan, Sunan Kudus mengajarkan umatnya untuk menghormati hewan suci umat Hindu dan tempat ibadah yang dikenal sebagai langgar Bubrah, bukan candi Bubrah. Kelima, arsitektur sinkretik membentuk kesadaran untuk memaknai dan merundingkan keberadaan dialog dinamis antaragama tentang ajaran luhur para pendahulu guna memperindah hubungan sosial.
Berdasarkan sudut pandang artistik, arsitektur sinkretis masjid tersebut merupakan representasi puncak peradaban Islam, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya. Arsitektur sinkretis masjid tersebut juga merupakan ekspresi keyakinan dan spiritualitas masyarakat Kudus. Oleh karena itu, pemilihan arsitektur sinkretis masjid tersebut dapat dilihat sebagai perwujudan hasrat intelektual, teologis, kearifan, dan spiritual Sunan Kudus melalui artefak fisik religius.
Kesimpulan
Arsitektur sinkretis menunjukkan kesadaran diri dan spiritualitas Sunan Kudus yang mendalam, yang membenarkan masuknya ia ke dalam jajaran Walisongo yang termasyhur. Pilihan arsitekturnya juga menunjukkan bahwa Sunan Kudus memiliki pandangan esoteris dan fungsional tentang tempat ibadah yang fungsi utamanya adalah untuk terlibat dalam kegiatan yang memurnikan jiwa manusia. Arsitektur bangunan yang tepat seharusnya menjadi tempat yang dapat memenuhi kebutuhan fisik, sosial, dan spiritual manusia. Karena itulah Sunan Kudus mengadopsi arsitektur sinkretis untuk Masjid Menara Kudus. Inisiatif fungsionalis seperti itu juga sejalan dengan pesan Al-Qur\'an, yang melarang umat Islam untuk tidak menghormati praktik agama lain dan menodai tempat tempat suci mereka. Atas kebijaksanaannya, Sunan Kudus melestarikan arsitektur candi Hindu-Buddha, yang beresonansi dengan sebagian besar masyarakat. Melalui cara ini, Islam dapat dengan mudah diterima sebagai agama baru mereka. Pendekatan budaya ini merupakan ciri dakwah para Walisongo di Jawa.