(Sumber : Ma'had Aly Jakarta )

Ngaji Ilmu Fiqh Dulu, Baru Ilmu Tasawuf

Daras Akhlak

Ach Badri Amien 

Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya Program Magister Studi Islam

  

Sejak zaman dulu hingga sekarang kajian ulama klasik hingga kontemporer yang tiada habisnya adalah ilmu fiqh. Ilmu fiqh akan semakin berkembang serta menjadi penopang bagi umat Islam dalam masalah praktek ubudiyah-nya. Namun tidak hanya itu saja, maka sebagian Ulama justeru mewajibkan bagaimana menyandingkan antara ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf, tidak boleh meninggalkan salah satu keduanya. Hal yang paling dominan dan dibutuhkan dalam kehidupan umat Islam khususnya masyarakat awam notabenenya adalah ilmu fiqh.

  

Maka sangat Jarang sekali di dunia kontemporer ini ngaji ilmu fiqh sekaligus bertasawuf. Dengan demikian, maka ada sebagian umat Islam yang bertasawuf namun Ia tidak dengan ngaji ilmu fiqihnya. Akhirnya tingkah lakunya fasid hingga rusaklah sebuah pemahaman yang Ia dari perolehan hasil bertasawuf. Ia hanya mampu memprioritaskan pada bidang tasawufnya saja dibandingkan dengan ngaji ilmu fiqih, lebih tepatnya Ia hanya bertasawuf namun tidak dengan ngaji ilmu fiqihnya. Padahal, seyogianya tidak boleh meninggalkan keduanya sebagaimana Imam Malik mengatakan dalam kitab Marqāt al-Mafātiḥ Syaraḥ Misykāt al-Maṣābĭḥ bahwa “Barang siapa yang belajar ilmu fiqh namun dia tidak bertasawuf, maka sungguh dia telah fasik, maka sebaliknya barang siapa yang bertahwuf namun dia tidak belajar ilmu fiqh maka sungguh dia telah zindiq (kafir), maka barang siapa berkumpul diantara keduanya, maka sungguh dia telah merealisasikan suatu kebenaran”. 

  

Tulisan ini, berangkat dari sebuah keresahan yang pernah penulis temui selama ngaji ke sebagian Ulama. Oleh karena itu, penulis teringat pada sebuah ungkapan yang pernah disampaikan Sulthanul Auliya' Syaikh Abd Qadir al-Jailani (W.1166). Pernyataan ini disebutkan dalam kitab Naşāih al-'Ibād Syarah 'Alā al-Munabbihāt 'Alā al-Isti'dād Liyaum al-Ma'ad karya al-Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani yang disyarahi oleh al-Imam Nawawi al-Bantani. Kitab ini berisi tentang nasihat-nasihat dan hikmah dari Nabi, sahabat dan beberapa Ulama lainnya. Kitab ini lebih dekat pada kajian ilmu tasawuf yang terus memberikan nilai-nilai hikmah dalam kehidupan dunia hingga akhirat. Hal paling primitif dalam kitab ini adalah menunjukkan bahwa terus memberikan peringatan untuk selalu mencintai akhirat agar tidak tertipu dalam kehidupan duniawi. Imam Nawawi al-Bantani (1813–1897) adalah seorang ulama besar asal Banten, Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu cendekiawan Islam terkemuka di Nusantara. Nama lengkapnya adalah Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Mekah, tempat ia menjadi pengajar dan menghasilkan banyak karya tulis dalam bidang fikih, tasawuf, tafsir, dan hadis. Syaikh Nawawi al-Bantani dikenal karena keilmuannya yang luas dan karya yang banyak dipelajari di pesantren-pesantren, seperti Tafsir Marah Labid dan Nashaihul 'Ibad. Ia juga menjadi guru bagi banyak ulama besar di Nusantara. Karena kontribusinya dalam perkembangan Islam, ia sering disebut sebagai "Imam Nawawi dari Banten" dan mendapat julukan "Sayyid Ulama Hijaz".

  

Syaikh Abd Qadir al-Jailani mengatakan bahwa manusia terbagi menjadi empat golongan. Golongan pertama, rajulun lā lisāna lahū walā qalba yaitu golongan orang yang tidak punya lisan dan tidak punya hati, mereka selalu berkata-kata jorok, kotor dan sering menyakiti hati orang lain sehingga golongan tersebut dianggap sebagai ahli 'azab. Golongan ini paling banyak diantara umat manusia sehingga Al-Qur'an disampaikan dengan ungkapan (walā tanābazū bi al-Alqāb). Kedua, rajulun lahū lisānun bilā qalbin yaitu orang yang punya lisan namun tidak punya hati Nurani, golongan ini memiliki banyak hikmah setiap pengungkapannya untuk mengajak manusia kepada suatu kebaikan, namun ia sendiri tidak mampu mewujudkan apa yang telah disampaikan kepada orang lain. Seperti pada kisah Bal\'am bin Ba'ura' yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Bal'am bin Ba'ura' merupakan ahli hikmah terkenal sebagai hamba Allah yang taat beribadah serta juga doanya pun tidak akan pernah ditolak oleh Allah. Pada suatu ketika, dia datangi oleh Raja Fir'aun dengan menjajikan berbagai apresiasi duniawi untuknya. Fir'aun meminta kepada Bal'am agar mencegah perjalanan Nabi Musa As. pada saat menerima wahyu dari Allah di Gua Šur. Pada awalnya Bal'am menolaknya dan tidak sanggup untuk mendoakan keburukan kepada Nabi Musa As. Namun tidak disangka Bal'am bin Ba'ura' akhirnya menerima permintaan dari Fir'aun, pada akhir hayatnya Bal'am dihimpit dengan panasnya maksiat, dengan kejamnya doa yang pernah dia lakukan untuk Nabi Musa As. Sehingga api kemaksiatan membakar dirinya sendiri dengan manisnya lisan dan baunya hati. Ketiga, rajulun lahū qalbun bilā lisānin yaitu orang yang punya hati namun tidak punya lisan, golongan orang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah yg menutup aibnya sehingga tidak tampak keburukannya, mereka tergolong sebagai para walinya Allah yang dilindungi dari terbukanya suatu aib (auliyā Allāh Hafizun 'Alaihim). Keempat, rajalun ta\'allama wa 'allama wa 'amila bi'ilmihi yaitu golongan orang yang belajar dan mengajar yang mengajarkan ilmunya. Golongan ini memiliki banyak hikmah setiap ucapannya karena jarang sekali golongan tersebut dapat diketahui oleh setiap manusia sehingga jangan sampai ditinggalkan. Seperti KH. As'ad Syamsul Arifin Sukorejo Situbondo.