Mengenang Guruku: KH. Cholilurrahman, BA
KhazanahSetiap ada kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun di dalam WA maupun WAG, maka saya cari dan saya baca. Adakalanya saya memberi respon dalam WAG atau jika ada nomor pribadi yang mengirim pesan tersebut, maka saya japri. Pagi itu, waktu saya on the way ke Bandara Juanda, saya membuka HP untuk melihat pesan-pesan yang penting. Ternyata ada pesan dari Dr. Muhammad Lathoif Ghazali, MA, putra KH. Cholil, Wadek I FEBI UINSA, yang isi pesannya menggambarkan tentan wafatnya Abah KH. Cholilurrahman. Maka sontak saya mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Lalu saya balas pesan Cak Lathoif, begitu biasanya saya memanggil dengan ucapan: “inna lillahi wa inna ilaihi Rajiun. Guruku ini pasti akan masuk surganya Allah SWT. Ya Allah Beliau guru yang Ikhlas”. Tiba-tiba ada air bening yang meleleh di pelupuk mata saya.
Saya tentu tidak bisa membatalkan keberangkatan saya ke Jakarta, sebab ada acara yang sangat penting, yaitu acara di Komisi Seleksi (Komsel) pilihan Rektor untuk UIN Maliki Malang dan UIN Mataram. Acara ini sangat penting sebab akan menentukan siapa calon terbaik, tiga besar, yang ke depan akan menentukan masa depan PTKIN. Ketepatan juga hari Ahad, saya insyaallah akan datang kembali ke Tuban, sebab ada acara khoul Syech Boka Baki atau Syekh Al Baki atau Mbah Jumantoro di desa kelahiran saya. Saya diundang untuk memberikan pencerahan tentang makna khoul. Insyallah saya akan menyempatkan hadir ke rumah duka di Tuban.
Kiai Cholil adalah guru sejati saya. Saya merasa Beliau adalah guru yang sangat perhatian kepada murid-muridnya. Saya merasakan betapa kasih sayangnya kepada muridnya yang sedemikian Ikhlas. Oleh karena itu, saya termasuk “rajin” sowan kepada Beliau, terutama pada waktu hari Raya Idul Fitri. Sambil saya pulang ke Tuban untuk bertemu orang tua saya yang masih hidup, Emak Hj. Turmiatun, saya sempatkan sowan untuk bertemu kepada Kiai Cholil guru saya dan keluarganya. Dan dipastikan kalau saya mau pamit lalu didoakan. Saya selalu datang dengan istri dan juga pernah dengan anak-anak saya.
Kenangan bertemu Beliau pada hari-hari yang banyak didambakan umat Islam, Hari Raya Idul Fitri, tentu merupakan peristiwa yang penting. Di situ saya tahu, ada banyak keluarga yang datang kepada Beliau, yang menunjukkan Beliau itu orang yang dituakan dan dimintai doa keselamatan oleh umat Islam, khususnya warga NU. Akhir-akhir ini Beliau juga mengasuh pengajian Ahad pagi di rumahnya dan diikuti oleh Masyarakat Islam di seluruh Kabupaten Tuban. Ada yang datang dari kota Tuban, Merakurak, Jenu, Palang , Semanding dan sebagainya.
Sangat pantas Beliau mengasuh pengajian, sebab latar belakang Beliau sebagai alumni dari berbagai pondok pesantren. Beliau belajar di pesantren kakeknya, Pesantren Sarang, Pesantren Lasem dan pesantren Mranggen. Beliau diasuh oleh kiai-kiai besar. Penguasaan atas teks dalam Bahasa Arab juga sangat luar biasa. Terutama fikih, tafsir dan tasawuf. Sungguh seorang kyai yang sangat memadai dalam pengusaan ilmu keislaman, dan bukan kyai kaleng-kaleng. Beliau sekolah di Madrasah, PGA dan juga Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang. Beliau kuliah sampai doctoral dua, tetapi karena harus mengabdikan ilmu di Madrasah Negeri, maka Beliau tidak menyelesaikan program sarjananya. Sarjana minus skripsi. Meskipun demikian gelar BA itu sudah sangat hebat pada zaman saya sekolah di PGA tahun 1977.
Sebagai seorang muridnya tentu saya merasakan akan kedalaman ilmu yang Beliau miliki. Saya tentu masih ingat di kala menjadi muridnya di PGA 4 dan 6 tahun. Beliau mengajar ilmu tafsir. Selain itu juga ada Pak Asnawi yang mengajar ilmu hadits, Pak Mashad yang mengajar ilmu fiqih, dan lain-lain. Ketiga beliau-beliau adalah guru-guru saya yang luar biasa. Syaiun lillah lahum Al Fatihah.
Hal yang tidak saya lupakan adalah panggilan beliau kala saya datang. “Ehhh…Pak Nur Syam”. Lalu saya jawab: “nggih Kiai”. Saya selalu menggunakan Bahasa Jawa halus di kala bertemu dengan Beliau. Bagi saya menggunakan bahasa Jawa Halus atau krama inggil merupakan salah satu bentuk penghargaan kepada orang tua khususnya kepada guru saya, Kiai Cholil. Orang-orang seusia saya dipastikan masih bisa menggunakan Bahasa Jawa seperti itu.
Kiai Cholil adalah tipe aktivis organisasi yang sangat luar biasa. Dimulai dengan aktif di PMII, NU dan juga organisasi social lainnya. Bahkan jabatan sebagai Rais Syuriah PC NU Tuban mulai tahun 1997-2022, empat periode berturut-turut. Sebagai aktivis yang unggul, maka Kiai Cholil pernah mengikuti berbagai pelatihan baik di level nasional maupun lokal. Beliau termasuk sosok aktivis yang pernah berdakwah sebagai penugasan oleh PBNU untuk berdakwah di Indonesia Timur. Semenjak mahasiswa Beliau memang telah menjadi da’i yang memiliki kapasitas yang sangat memadai. Beliau memang terus menjadi muballigh yang tidak ada kata berhenti. Tidak hanya berdakwah di dalam negeri tetapi juga di luar negeri, misalnya Hongkong, Malaysia dan lainnya. Ada gaya khusus yang menjadi ciri khasnya dalam berdakwah. Saya teringat pada saat Beliau memberikan sambutan pada pertemuan ground breaking Masjid di Pondok Pesantren Bahrul Huda Tuban. Pesantren yang didirikan oleh KH. Fathul Huda, Bupati Tuban periode sebelum sekarang.
Beliau menyatakan: “Segenggam kekuasaan lebih penting daripada segepok emas.” Beliau adalah seorang tokoh yang sangat berkomitmen bagi pengembangan NU dan umat Islam. Sebuah gambaran tentang komitmennya tentang Islam dan umat Islam. Bersama dengan istrinya, Bu Nyai Hj. Isti’anah putri Kiai Moertadji, beliau mendapatkan enam orang putra. Dua di antaranya, Dr. Muhammad Lathoif Ghazali dan Ahmad Lubab, MSi tentu sangat saya kenal karena keduanya mengajar di UIN Sunan Ampel. Kiai Cholil wafat pada 09 Juli 2025. Selamat jalan guruku, surga sudah menantimu. Lahu al Fatihah.
Wallahu a’lam bi al shawab.