Homo Deus: Puncak Ingatan Manusia akan Surga
Daras TafsirOleh: Moch Dimas Maulana
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Mungkin kita pernah bertanya-tanya, “Mengapa Nabi Adam ditakdirkan untuk tinggal di surga terlebih dahulu kalau memang tujuan awal penciptaannya adalah menjadi khalifah di bumi? Mengapa ia tidak langsung diutus ke bumi saja tanpa harus mencicipi kenikmatan surga namun pada akhirnya harus diusir?"
Jika merujuk pada teks-teks agama (baca: Qur’an dan Hadis), teka-teki dari pertanyaan ini mungkin tidak akan terjawab. Ayat-ayat Qur’an terkait penciptaan Adam hanya bertutur mengenai bagaimana ia diciptakan (Ali Imran: 59, Al-Hijr: 28-29), ketidaksetujuan malaikat terkait rencana penciptaannya (Al-Baqarah: 30), bagaimana ia dimusuhi oleh iblis, terperdaya, sampai dengan didepak dari surga dan kemudian bertaubat (Al-A’raf 11-25, Thaha:122). Tidak ada ayat Qur’an maupun Hadis Nabi yang menjawab pertanyaan mengapa Nabi Adam harus mampir ke surga dulu sebelum menjalankan misinya sebagai khalifah bumi. Dengan demikian, hal ini menjadi domain manusia untuk berpikir baik melalui perenungan tafsir (learning the Qur’an) maupun tadabbur (learning from the Qur’an).
Dalam sebuah buku berjudul “Khilafah, Peran Manusia di Bumi” (2020), Prof. Muhammad Quraish Shihab mencoba menjawab pertanyaan ini. Beliau menulis, singgahnya Adam di surga sebelum resmi bertugas sebagai pengelola bumi menjadi bekal yang sangat berarti. Hal ini menjadi pengalaman yang berharga bagi Adam karena dengan demikian ia tahu betul bagaimana kondisi dan situasi surga sehingga akan muncul hasrat dalam dirinya untuk mewujudkan bumi seperti surga yang pernah ia singgahi, surga yang terlampau indah dan penuh kenikmatan.
Sebagaimana digambarkan dalam Qur’an, surga merupakan tempat yang sangat indah. Di bawahnya mengalir sungai-sungai dari air susu, madu dan khamr yang tidak memabukkan (Muhammad: 45). Para penghuni surga tidak pernah merasa kelaparan ataupun kehausan karena segala macam makanan dan buah-buahan yang mereka inginkan tidak akan pernah habis (Al-Hijr:48, Thaha:118-119). Di dalamnya juga terdapat berbagai macam perhiasan dan pakaian yang indah terbuat dari kain sutra (Fatir: 33).
Kehidupan surga adalah kehidupan yang penuh dengan kedamaian, kenyamanan dan kebahagiaan. Segala kebutuhan dan keinginan penghuni surga dari yang premier, sekunder, sampai tersier akan selalu terpenuhi. Kehidupan dunia seperti inilah yang seharusnya diciptakan oleh anak cucu Adam sebagai khalifah dan karena itulah skenario Adam ditakdirkan mampir ke surga kemudian diturunkan ke bumi harus terjadi. Adam harus melihat dan merasakan sendiri bagaimana kenikmatan dan keindahan surga yang sebenarnya agar ia memiliki cita-cita membumikan surga di dunia nanti.
Apakah surga yang pernah disaksikan oleh Adam dan tertanam dalam benak anak keturunannya itu sudah terejawantah dalam kehidupan manusia di bumi?
Baca Juga : Membela Islam Dengan Ilmu Pengetahuan
Jika berkaca pada perjalanan sejarah panjang peradaban manusia awal hingga sekarang, kita bisa cukup mantap menjawab “iya” atau paling tidak kita sudah mendekat menuju kesana. Bacalah misalnya “Sapiens: A Brief History of Humankind” (2014) karya Yuval Noah Harari. Dari narasi sejarah Harari yang memukau itu, kita bisa menyaksikan bagaimana manusia (Sapiens) berkembang dari yang hanya spesies pemburu-pengumpul kemudian mengalami revolusi kognitif yang mempengaruhi kemampuan bahasa dan imajinasinya, menjadi masyarakat agraris, berkembang ke masyarakat industri dan menjelma sebagai masyarakat digital di abad ke 21.
Manusia zaman ini seakan-akan sudah hidup di surga. Gambaran surga yang melekat dalam ingatan Adam sepertinya terus mengalir dalam DNA anak cucu keturunannya. Lihatlah manusia saat ini! Mereka hidup dalam rumah-rumah yang megah dan nyaman bak istana-istana surga. Gedung-gedung pencakar langit yang indah menghiasi kota-kota besar dunia. Pakaian tidak hanya sekedar digunakan untuk menutupi tubuh tetapi sudah menjadi fashion. Makanan berlimpah ruah. Manusia yang mati karena makanan karena obesitas lebih banyak dari pada yang mati karena kelaparan. Berbagai penyakit ganas sudah banyak ditemukan obatnya. Bahkan pandemi pun sudah bisa diatasi. Bukankah terpenuhinya segala kebutuhan manusia merupakan potret surga yang terlukis dalam ayat-ayat Qur’an?
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah manusia sudah mencapai batasnya? What’s next? What’s the end game?
Dalam karya lanjutannya “Homo Deus: A Brief History of Tomorrow” (2015), Harari dengan cukup meyakinkan memprediksi bahwa manusia tampaknya tidak bisa dan tidak akan pernah berhenti. Mereka akan terus mengembangkan dirinya dan puncaknya bertransformasi dari Homo Sapiens menjadi Homo Deus (Manusia Dewa).
Manusia abad ke 21 tidak hanya ingin meningkatkan usia harapan hidup, mereka berhasrat untuk mengejar keabadian (immortality project). Manusia akan berupaya sekuat tenaga mengembangkan bioteknologi sehingga mereka bisa bertingkah laiknya tuhan (playing god) yang dapat mengutak-atik DNA. Jika mereka merasa sedikit agak menua, mereka akan datang ke klinik-klinik kesehatan untuk melakukan regenarasi sel agar kembali muda.
Lebih dari itu, manusia juga akan memburu kebahagiaan abadi. Untuk apa berumur panjang kalau masih bisa merasakan kesedihan? Bukankah begitu? Bagi mereka, kebahagiaan bukanlah persoalan psikologis, melainkan biologis. Kebahagiaan hanyalah reaksi kimia dalam tubuh yang bisa dimanipulasi. Untuk itu, manusia masa depan (mungkin saja sekarang sudah dimulai) akan berusaha menemukan obat yang mampu membuatnya merasa selalu bahagia. Setiap kali merasa sedih, mereka hanya perlu mengkonsumsi obat itu dan seketika merasa senang dan bahagia.
Jika semua prediksi Harari ini betul-betul terjadi, maka usaha manusia untuk menciptakan surga di bumi nampaknya melebihi apa yang dibayangkan oleh Quraish Shihab. Rupanya manusia tidak hanya ingin menciptakan kehidupan dunia yang seperti surga di mana segala kebutuhan hidup biologis maupun psikologis tersalurkan. Manusia tidak puas dengan tempat tinggal yang nyaman, makanan yang melimpah, atau sekedar menjalani hidup yang bahagia. Manusia ingin hidup lebih lama, kekal, dan sebagaimana kehidupan para penghuni surga yang digambarkan oleh Qur’an “Khaalidina Fiha Abadaa” (mereka hidup kekal abadi di dalamnya). Apakah impian manusia ini kelak akan terwujud? Hanya Tuhan yang tahu. Tetapi yang jelas, ambisi manusia untuk mencapai keabadian merupakan puncak ingatan mereka akan surga.
Referensi
Harari, Yuval N. Sapiens: A Brief History of Humankind. Toronto, Ontario: Signal: McClelland & Stewart, 2014.
Harari, Yuval Noah. “Homo Deus: A Brief History of Tomorrow,” Signal: McClelland & Stewart, 2015.
Shihab, M. Quraish. KHILAFAH: Peran Manusia Di Bumi. Lentera Hati, 2020.