Gampang-gampang Ngeri Belajar Agama di Media Sosial
HorizonEva Putriya Hasanah
Sebuah channel youtube menampilkan video konten ceramah seseorang yang tampak dipenuhi dengan jamaah setianya. Intonasi yang keluar dari sang penceramah terdengar sama dengan penceramah pada umumnya, penuh penekanan yang tampak mampu membuat pendengarnya mangguk-mangguk seraya memahami atau tidak paham namun setuju begitu saja.
Channel youtube itu pun memiliki ribuan subscribers dan setiap videonya telah ditonton oleh ribuan pula. Itu adalah satu dari sekian contoh konten-konten ceramah yang banyak bertebaran di media sosial.
Secara awam dan apabila tidak diperhatikan mendetail, konten-konten ceramah semacam ini tampak normal pada umumnya bahkan dianggap positif, karena berkatnya semua orang bisa belajar agama dengan mudah melalui media sosial. Namun, ternyata semua tak seindah itu. Konten ceramah yang telah penulis bahas di awal, justru bisa memunculkan ancaman bagi orang-orang awam yang ingin belajar tentang agama. Bagaimana tidak, setelah diamati dan didengarkan secara seksama, apa yang disampaikan banyak tidak searah dengan ajaran agama bahkan dalil yang disampaikan sangat ngawur, dan sebenarnya tidaklah ada.
Adanya pendengar yang hadir dan tampak ada di dalam video serta ribuan view menandakan ketertarikan orang-orang untuk mendengarkan ceramah tesebut. Ketertarikan ini bisa bermakna keinginan untuk mendengarkan sekali karena penasaran atau bahkan telah menjadikan ceramah dari sang da\'i sebagai tempat belajar. Keduanya sama-sama hal yang mungkin terjadi. Bagian kedua itulah yang sepatutnya menimbulkan rasa khawatir. Bilamana orang-orang salah dalam memilih rujukan untuk belajar.
Orang Indonesia memang di kenal sangat religius. Di tahun 2021, Indonesia menempati peringkat ke-17 sebagai negara paling religius. Tepat di bawah Thailand, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Data ini merupakan hasil survei dari Statista Global Consumer Survey pada 2021 yang melibatkan 40 ribu responden di seluruh dunia. Tak heran apabila masyarakat Indonesia dekat dengan pemuka agama, Gus, ustadz, kyai dan semacamnya. Terutama masyarakat akar rumput yang konon mereka lebih percaya dan mengikuti saran tokoh agama dibandingkan lainnya.
Itu memang bukan hal buruk, masyarakat memang harus religius dan terus belajar agama, kan? Tapi Sialnya, kepercayaan masyarakat ini tidak diimbangi dengan kemampuan pengetahuan mereka untuk memilih mana yang harus diikuti dan mana yang tidak. Maka ada banyak masyarakat yang begitu saja mengikuti tanpa memperhatikan asal-usulnya. Mereka hanyut dengan predikat Gus, Kyai, bahkan ustadz yang digunakan oleh beberapa orang begitu saja.
Tak ayal jika kemudian muncul gus-gus, Ning, ustadz, Kyai baru yang tidak jelas darimana usal-usulnya mereka belajar. Apakah mampu dan tidak memberikan pesan-pesan agama. Namun, tetap memiliki banyak pengikut. Nyatanya memang masyarakat menjadi pasar empuk yang kaya untuk disasar yang berujung pada komodifikasi agama. Tentu tidak ada yang salah dengan komodifikasi agama pada umumnya, tapi sangat membahayakan jika dakwah hanya dilihat dari aspek tersebut tanpa peduli esensi dakwah yang sesungguhnya.
Kejayaan teknologi memberi rasa khawatir lebih. Fenomena semacam ini menjadi tersebar masif. Ceramah-ceramah ini tidak hanya didengarkan dan diikuti oleh orang-orang di lingkup tertentu namun juga dinikmati oleh banyak orang melalui konten di media sosial. Seperti halnya contoh yang telah penulis jabarkan di awal.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian, melihat akibat-akibat yang mungkin saja terjadi. Masyarakat perlu di dorong untuk membaca lebih banyak, membandingkan, dan tidak mengacu pada satu pendapat. Mencegah bahaya masyarakat menjadikan seseorang sebagai satu-satunya poros belajar agama tanpa menelaah lebih dalam yang bisa jadi justru berbanding terbalik dengan ajaran agama yang sesungguhnya dan merugikan penganutnya.