Hyperreality dan Joki Strava: Realitas Alternatif di Era Media Sosial
HorizonOleh: Dr. Fikry Zahria Emeraldien, S.I.Kom., MA
Praktik joki, yang awalnya merebak di kalangan mahasiswa untuk tugas akademik, kini merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia olahraga. Tren joki Strava—di mana seseorang membayar orang lain untuk melakukan aktivitas olahraga atas namanya, lalu mengunggah data tersebut ke aplikasi Strava—menunjukkan pengaruh mendalam teknologi dan media sosial terhadap perilaku serta persepsi diri di era digital.
Temuan survei Populix mengungkap bahwa 19% dari 1.912 responden di Indonesia pernah menggunakan jasa joki untuk menyelesaikan tugas akademik. Pengeluaran untuk jasa ini bervariasi, dengan 50% responden menghabiskan kurang dari Rp100 ribu, 31% merogoh kocek antara Rp100 ribu hingga Rp250 ribu, sementara sisanya membayar lebih dari Rp250 ribu. Praktik joki yang semula terbatas pada dunia pendidikan, kini beralih menjadi alat untuk memenuhi ekspektasi sosial atau bahkan untuk memamerkan pencapaian pribadi, termasuk dalam aktivitas fisik.
Fenomena joki Strava mencerminkan ambisi untuk menampilkan citra diri yang aktif dan sehat, tanpa usaha yang sepadan. Hal ini mengundang pertanyaan tentang nilai sportivitas dan kejujuran semakin terkikis oleh tekanan untuk tampil sempurna di media sosial. Standar tinggi yang dibentuk oleh media sosial kerap kali membuat banyak individu merasa tertekan, sehingga mereka lebih memilih jalan pintas dengan menggunakan jasa joki Strava untuk mencapai ekspektasi sosial yang dianggap penting.
Konsep "hyperreality" yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard, di mana representasi menjadi lebih penting daripada realitas itu sendiri, terlihat jelas dalam praktik ini. Pengguna Strava yang memanfaatkan jasa joki menciptakan realitas alternatif yang tampak lebih unggul secara fisik, meskipun data tersebut sebenarnya tidak mencerminkan aktivitas mereka yang sebenarnya. Hal ini menyoroti betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk perilaku dan persepsi diri.
Lingkungan kompetisi yang tercipta akibat joki Strava menjadi tidak sehat, dengan banyak orang rela mengorbankan integritas demi mendapatkan pengakuan sosial. Data aktivitas fisik yang diunggah ke Strava kini berfungsi sebagai semacam mata uang sosial di era digital, namun batas antara realitas dan representasi menjadi semakin kabur. Dampak praktik ini meluas, dari masalah kesehatan mental individu hingga merosotnya integritas dalam komunitas olahraga. Mereka yang terlibat dalam praktik ini berisiko mengalami kecemasan dan depresi akibat tekanan untuk terus tampil sempurna.
Tidak hanya individu, komunitas olahraga pun bisa jadi terkena imbasnya. Semangat kompetisi yang sehat mulai terkikis, ketika prestasi olahraga tidak lagi didasarkan pada usaha tulus. Sementara itu, jika terus terjadi, platform Strava akan menghadapi tantangan berupa penurunan reputasi dan hilangnya kepercayaan pengguna. Apabila lebih banyak pengguna terlibat dalam praktik joki, kredibilitas data di platform tersebut akan dipertanyakan, merusak nilai Strava sebagai sarana autentik untuk melacak dan berbagi pencapaian fisik.
Pada akhirnya, fenomena joki Strava menggambarkan bagaimana teknologi dan media sosial dapat menciptakan realitas alternatif yang menyaingi realitas sebenarnya. Ini menjadi peringatan akan pentingnya literasi digital dan kesadaran kritis dalam berinteraksi dengan teknologi, agar kita tidak terjebak dalam dunia "hyperreality" yang merusak integritas dan kesehatan mental. Di era yang semakin dipengaruhi oleh teknologi dan media sosial, menjaga kejujuran serta komitmen pada usaha nyata adalah kunci untuk mempertahankan integritas diri dan masyarakat secara keseluruhan.