Perlukah Pencantuman Kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk?
HorizonOleh: Febri Ana Nurfanisa
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar urutan ke empat di dunia. Dengan bentuk negara kepulauan yang terdiri dari 34 provinsi ini, pluralitas masyarakat beserta ragam agama serta kebudayaannya terkumpul menjadi satu dalam naungan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai tanda pengenal untuk seluruh penduduknya, Indonesia memiliki kartu identitas yang terdata pada arsip Negara. Tanda pengenal tersebut biasa dikenal dengan sebutan Kartu Tanda Penduduk (KTP). KTP ini diterbitkan oleh Kemetrian Dalam Negeri dan secara resmi menjadi identitas diri setiap individu, seluruh masyarakat dengan kewarganegaraan Indonesia wajib mempunyai dan diakui oleh keberadaan KTP tersebut.
Penerbitan KTP ini secara resmi memuat daftar informasi yang terdiri dari, Nomor Identitas Kependudukan (NIK), nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat lengkap, agama, status perkawinan, pekerjaan, kewarganegaraan, golongan darah, foto, dan tanda tangan. Melalui NIK yang diterbitkan langsung oleh pemerintah, layanan kependudukan dengan mudah dapat diakses. Dengan mengetik nomor NIK seseorang, maka data-data yang berkaitan dengan identitas mereka akan dapat diketahui.
Menurut (Wael, 2014) dalam berita online kompasiana.com, kolom agama ini memiliki fungsi sederhana yaitu untuk mengidentifikasi identitas seseorang apabila terjadi musibah di jalan seperti kecelakaan, kebakaran rumah, kebakaran kantor, kecelakaan di pegunungan yang menyebabkan korban meninggal. Apabila tidak ada keluarga yang dapat dihubungi, disitulah tanda pengenal memudahkan orang yang menolong untuk mengetahui identitas korban. Selain itu, kolom agama memudahkan tim penolong memberikan perawatan sesuai dengan agama korban. Jika diketahui korban tidak memiliki sanak keluarga, tim penolong dapat memakamkan korban sesuai dengan agama yang ia anut.
Mengetahui beragam manusia yang ada di Indonesia hidup dengan keanekaragaman SARA, tentunya terasa menyenangkan dan penuh warna. Namun, tidak dapat dipungkiri, banyak isu SARA yang merebak dan masih terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Bahkan, persoalan agama menjadi hal krusial untuk diperbincangkan dalam suatu forum. Lalu, kolom agama tercantum pada KTP dirasa tak perlu dicantumkan karena setiap manusia tentu memiliki kepercayaan dan komunikasi secara pribadi dengan Tuhan. Tidak perlunya agama yang dianut untuk dipublikasi secara tertulis pada kolom KTP dikarenakan adanya beberapa kasus diskrimansi terhadap agama minoritas ketika akan mengakses fasilitas publik. Dilansir dari BBC News Indonesia (2014), berisikan komentar-komentar para netizen yakni penduduk Indonesia melalui akun sosial medianya bahwa memang sejak beberapa tahun lalu sudah ada perdebatan terkait pencantuman kolom agama di KTP. Asal muasalnya karena pada kolom KTP yang dapat dicantumkan Negara hanya enam agama di antaranya Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Selain, enam tersebut kolom agama akan dikosongkan.
Pada artikel online Magdalene (Haryadi, 2020) menuliskan berdasarkan pengalaman yang ia alami semasa di sekolah. Lingkungan sekolahnya yang terdiri dari beberapa agama, namun sekolahnya hanya memfasilitasi pembelajaran agama Islam saja. Sedangkan, agama yang selain Islam harus mencari keluar sekolah atas pembelajaran agama yang ia anut dan dengan biaya ditanggungkan secara pribadi. Lalu, ketika nilai agamanya keluar dan oleh sekolah agama non Islam ini ditransfer ke sekolah asalnya kabar ceritanya dikurangi oleh pihak guru di sekolah asal dengan alasan tak percaya temannya tersebut ini dapat mencapai nilai agama yang bagus. Entah apa yang membuat guru ini hingga sampai terfikir sampai ke situ, yang seharusnya dilakukan pihak sekolah harus menyediakan secara sama terkait guru agama untuk agama non Islam karena sekolahnya yang berbasis umum tersebut. Dari situlah, guru tidak akan mempertanyakan muridnya lagi dalam mempelajari agama yang ia anut.
Melihat semua keperluan zaman sekarang yang membutuhkan KTP seperti, pendidikan, pekerjaan, pembuatan paspor, dan sejenisnya. Misalkan ada kasus seorang petugas yang meminta KTP seseorang saat hendak mengakses layanan publik, beberapa orang akan merasa tidak nyaman setelah agama yang mereka anut diketahui seseorang, walaupun ada juga yang biasa akan toleransi. Sering juga, mendengar ketika telah membantu cek KTP dan berkata “Oh Nonis (Non Islam), Oh Muslim”. Jika hal tersebut terdengar oleh si pemilik agama tentu akan merasa dibedakan atau didiskriminasi secara tidak langsung. Merujuk juga dengan kebiasaan masyarakat yang sering saya temui meraba wajah orang sekitarnya dalam soal agama. Seperti halnya, jika ia tidak menggunakan hijab atau atribut ke-Islaman maka, ia bukan muslim. Sekali pun itu bisa jadi benar, akan tetapi tidak semua muslim memakai hijab dan menggunakan pakaian tertutup karena semua orang memiliki hak atas kepercayaan dan atas dirinya. Seperti halnya, salah satu teman di tempat kerja saya yang dalam KTP-nya tertulis agama Islam namun, ia tidak melakukan kewajiban sebagai muslim seharusnya. Hal ini dijadikan perbincangan oleh beberapa teman di kantor. Kita pun sering menemukan masyarakat yang menjustifikasi dengan kalimat “Islam KTP” saja. Melalui pengalaman ini teman kerja saya sempat bercerita bahwa ia tidak melakukan kewajiban karena masih mencari adanya Tuhan dalam diri atau kehidupan untuk ia yakini dan hal ini hanya bisa dirasakan oleh ia sendiri dan Tuhan yang dapat mengetahuinya. (Lubis, 2016) dalam tulisannya di Sinode GKSBS, adanya pengakuan seorang perempuan di tahun 1958 bernama Ibu Soemiati asal Surabaya mendapati tidak adanya kolom KTP dalam KTP dan ibu tersebut tidak mempermasalahkannya karena dirinya berfikir bahwa agama ini juga tak perlu negara tahu, cukup ia dengan Tuhan-Nya.
Urgensi penulisan kolom agama ini menjadi kontroversial karena respon masyarakat terhadap agama seseorang dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat yang plural itu sendiri. Alasan-alasan tetap mempertahankan adanya identitas agama di KTP ini pun mulai dipertanyakan. Jika dikatakan hal ini penting untuk pendataan penduduk dan kejadian tidak terduga, masih banyak cara yang dapat digunakan salah satunya menggunakan sistem terpadu NIK tanpa perlu menulisnya di tanda pengenal. Padahal, di Negara lain telah banyak yang tidak mencantumkan kolom agama pada kartu tanda pengenalnya.
Pencantuman agama dalam KTP tidak perlu dicantumkan karena dengan adanya nomor NIK sudah dapat mendapatkan informasi arsip data untuk mengenali seorang individu sebagaimana NIK KTP seseorang ini dapat mengakses Kartu Keluarga yang baru mau pun sebelum diperbaharui. Jika merujuk kepada pendapat adanya kolom agama ini sebagai sumber informasi seseorang ketika menjadi korban kecelakaan dan untuk seseorang yang akan menerima bantuan berupa kitab suci atau sarana yang dipakai sebagai ibadah, bisa digunakan dengan diaksesnya menggunakan NIK. Alasan lainnya, menurut saya sebagai wujud toleransi, menghargai setiap individu yang kepercayaan agamanya belum diakui oleh Negara, dan sebagai bentuk pencegahan adanya deskriminasi yang dapat melukai hati individu. Karena, semua kepercayaan akan ada dalam hati seorang saat ia mengetahui Tuhan dan meyakini ia mempunyai Tuhan.