(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Teori Sosial Konflik (2)

Kelas Sosiologi

Di dalam jajaran teori-teori sosial, teori konflik sosial termasuk banyak yang meminatinya. Tentu diminati bukan karena pengembangnya adalah Karl Marx, tetapi tentu saja karena sasaran kajiannya atau subject matter yang dikaji memungkinkan menggunakan perspektif teori sosial konflik sebagai pisau analisisnya. 

  

Setelah menjelaskan  teori konflik sosial yang digagas oleh George Simmel dan Karl Marx, maka berikut ini akan saya jelaskan secara ringkas tentang beberapa tokoh teoretisi konflik sosial yang juga menjadi rujukan bagi para peminat studi ilmu sosial dengan pendekatan atau perspektif teori konflik. 

  

Di dunia ini memang selalu terdapat disharmoni dan disintegrasi,  baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar, baik yang mikro maupun yang makro. Yang mikro seperti relasi antar individu, sebagaimana kajian Simmel dan yang makro atau relasi antar komunitas dan juga antar masyarakat dan negara sebagaimana gagasan Marx. Semua itu mengandaikan bahwa disharmoni atau konflik sosial merupakan fenomena yang sangat lazim di dalam kehidupan sosial. Disharmoni, pergolakan dan konflik memang melazimi kehidupan masyarakat kapan dan di manapun juga.

  

Ralf Dahrendorf

  

Ralf Dahrendorf lahir di  Hamburg Jerman pada 1 Mei 1929. Dahrendorf menyelesaikan Pendidikan doktoralnya di Universitas Hamburg. Selain sebagai dosen di beberapa Perguruan Tinggi juga pernah menjadi aktivis partai politik. Dahrendorf hadir sebagai teoretisi sosiologi di saat sedang kuat-kuatnya pengaruh teori Marxian di dunia akademis, terutama di Eropa dan Amerika. Makanya, sebagian besar teorinya merupakan kritik terhadap dominasi teori Marxian. Dia menghasilkan teori yang merupakan teori alternatif dalam teori konflik, yang bisa disebut sebagai teori strukturalisme konflik. 

  

Di antara kritiknya terhadap Teori Marx adalah tentang masyarakat tanpa kelas (classlessness). Baginya, analisis Marx tentang hal ini sangat spekulatif dan tidak didapatkan bukti empiriknya atau dengan kata lain analisis terhadap masyarakat tidak bisa hanya dengan dua penggolongan sosial, yaitu klas proletar dan klas borjuis. Menurutnya, masyarakat modern dengan industry sebagai basisnya ternyata bukan lagi kendalinya berada di tangan pemiliki modal tetapi di tangan para manajer dan komposisi pekerja juga terdiferensiasi sesuai dengan keahlian dan profesionalitasnya. Selain itu juga terjadi pertumbuhan kelas menengah baru sebagai akibat relasi dengan dunia industri, lalu juga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial sebagai akibat profesionalitas dan penguasaan teknologi.

  

Di antara proposisi dalam teori konflik otoritas adalah: setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain, setiap elemen di dalam masyarakat menyumbang distintegrasi dan perubahan, setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik sehingga terjadi proses perubahan, setiap masyarakat akan tunduk pada perubahan dan akan terjadi perubahan di mana-mana. Mengenai kelompok konflik, Dahrendorf membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu: kelompok semu, kelompok kepentingan dan kelompok konflik. 

  

Sebagai kritik terhadap teori Marx, maka teori Dahrendorf juga tidak kebal terhadap kritik yang dilakukan oleh para ahli. Di antaranya yang paling mendasar adalah bahwa masyarakat tidak hanya bisa diihat dari dimensi konflik tetapi juga harus dilihat dari aspek keteraturan sosial. Dari sini kemudian memunculkan teori alternatif baru dalam jajaran teori konflik, misalnya yang dikembangkan oleh Lewis Coser.


Baca Juga : Kecerdasan Spiritual Dalam Menghadapi Era Disrupsi

  

Lewis Coser

  

Lewis Alfred Coser lahir di Berlin Jerman, 27 November 1913. Coser adalah ahli sosiologi yang terkait dengan teori  konflik sosial. Yang dilihatnya bahwa konflik tidak semata-mata menyebabkan destruksi akan tetapi juga menyebabkan terjadinya integrasi. Itulah sebabnya Coser dikenal sebagai ahli teori sosiologi konflik fungsional. Coser berhasil menggabungkan antara teori structural fungsional dengan tokoh Talcott  Parsons dan Robert King Merton dengan teoritisi konflik sosial Karl Marx dan Ralf Dahrendorf. Coser menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Columbia di bawah bimbingan Ralf Dahrendorf. Coser mengabdikan ilmunya di Universitas Chicago dan Universitas California dan selanjutnya mendirikan depatemen Sosiologi pada Universitas Brandeis, dan mengajar selama 15 tahun.

  

Sebagai teoretisi konflik sosial, Coser menawarkan konsep yang baru berbeda dengan para pendahulunya termasuk promotor doktoralnya. Yang ditemukan atas kajiannya adalah teori konflik fungsional, yang berpengaruh dalam teori-teori sosiologi pada tahun-tahun berikutnya. Begitu besarnya pengaruh teorinya sehingga menghasilkan kepercayaan masyarakat sosiologi Amerika untuk menjadi Ketua Asosiasi Sosiolog Amerika. 

   

Terdapat sebanyak 10 proposisi yang dihasilkan dari kajiannya yang sangat relevan dengan studi sosial termasuk studi agama. Di antara proposisinya tersebut adalah: 1) konflik berfungsi menegakkan dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial dan masyarakat. 2) konflik tidak selalu bersifat disfungsional dalam konteks hubungan di mana konflik tersebut terjadi seringkali konflik diperlukan untuk mempertahankan hubungan tersebut. 3) dilihat konflik sebagai sarana dan konflik sebagai tujuan, maka terdapat dua macam konflik, yaitu konflik realistic dan konflik nonrealistik. 4) konflik yang lebih radikal dapat terjadi dalam keadaan hubungan dekat. Terbentuknya perkumpulan dan organisasi oposisi dalam hubungan tersebut dapat mempertajam konflik secara khas. Semakin besar keikutsertaan dalam kelompok dan keterlibatan pribadi anggotanya maka semakin besar kemungkinan terjadinya konflik. 5) Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah dan menegakkan kembali persamaan. 6) konflik suatu kelompok dengan kelompok lain menghasilkan mobilisasi energi pada kelompok  yang bersangkutan sehingga kohesi setiap kelompok dapat ditingkatkan. 7) ada tiga aspek struktur kelompok yang harus diperhatikan: ukuran relative kelompok, tingkat keterlibatan anggota-anggotanya dan situasi sosial. 8) suatu konflik di mana para pelakunya merasa bahwa mereka semata-mata wakil kelompok atau kolektif cenderung lebih radikal, karena kesadaran bahwa perjuangan mereka dilandaskan pada ideologi tertentu yang tidak semata-mata bersifat pribadi. 9) konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi  baru di antara pihak-pihak yang bertentangan yang sebelumnya tidak ada. 10) konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok yang tadinya tidak saling berhubungan.

  

Jika dibaca secara hati-hati maka proposisi yang dikembangkan oleh Coser ini sangat empiris, dan banyak kajian yang memang membenarkan proposisi yang dibuatnya. Melalui proposisi ini akan bisa dipahami bagaimana relasi antar kelompok agama  kehidupan sosial keagamaan. Proposisi ini sangat cocok untuk menjadi pisau analisis konflik antar agama ataupun intern umat beragama dan bahkan konflik antara kelompok agama dan pemerintah.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.

  

Bahan-bahan Bacaan:

  

Nur Syam, Konflik Nu dan Muhammadiyah, Perbedaan Paham Agama Dalam Teori Konflik Fungsional,  dalam Thoha Hamim, Resolusi Konflik Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007)

  

Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda, Sosiologi Komunitas Islam. (Surabaya: Eureka, 2005).

  

Nur Syam, Model Analisis Teori Sosial. (Surabaya: IAIN Press, 2009).