Kembali Kepada Fitrah
KhazanahFitrah dalam tradisi Islam Indonesia dikaitkan dengan salah satu ajaran Islam yang waktunya berada di akhir bulan puasa atau bulan ramadlan. Fitrah dikaitkan dengan zakat atau yang biasa disebut zakat fitrah. Islam mengenal ada beberapa jenis zakat, yaitu: zakat mal, zakat perdagangan, zakat profesi dan juga zakat fitrah. Tradisi zakat fitrah tentu setua pengamalan Islam di Nusantara, meskipun tidak diketahui kapan sebenarnya sudah didapatkan pelaksanaannya.
Sesungguhnya Islam mengajarkan banyak amalan yang secara generic disebut sebagai aktivitas philantropi. Yaitu sejenis kegiatan yang berupa pemberian donasi kepada orang lain, lembaga atau masyarakat baik yang berupa uang atau barang. Bisa berupa sedekah, infaq dan zakat atau bisa juga wakaf. Ajaran ini memberikan semacam bukti bahwa Islam tidak hanya ajaran yang terfokus ke atas atau vertical berupa ibadah kepada Allah SWT dan bermanfaat secara individual –pahalanya bagi yang bersangkutan akan tetapi juga ibadah yang memiliki dampak horizontal berbasis pada prinsip vertikalitas. Semua ritual sebenarnya hanyalah untuk Allah semata. Tetapi ada yang berdampak secara individul dan ada yang berdampak secara sosial atau kedua-duanya.
Ibadah shalat misalnya adalah sejenis ritual individual meski bisa dilakukan secara berjamaah tetapi dimensi pahalanya bercorak capaian individu. Pahala shalat akan dibalas secara individual oleh Allah SWT. Makanya, timbangan pengamalan shalat juga akan bersifat personal. Siapa yang melakukan shalat akan diganjar sesuai dengan amal ibadahnya tersebut. Tidak lazim ibadah shalat dihadiahkan kepada orang lain. Misalnya pahala shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’ akan dihadiahkan kepada orang lain, orang tua sekalipun.
Berbeda misalnya dengan ibadah haji yang bisa dilakukan atas orang lain yang memerlukannya. Misalnya memiliki orang tua yang sudah meninggal lalu anaknya melakukan ibadah haji atas nama orang tuanya. Di dalam konsep Islam disebut sebagai badal haji atau haji yang dilakukan untuk menggantikan seseorang yang diminta untuk menggantinya. Tentu juga masih ada ibadah lainnya yang berpotensi untuk dijadikan sebagai pengganti tersebut, misalnya puasa dan ibadah kurban.
Jika kita membaca shalawat kepada Nabi Muhammas SAW, maka lipatan pahala seperti membaca sekali akan diganjar 10 kali, 10 kali diberi balasan 100 kali dan membaca 100 kali dibalas dengan pahala 1000 kali, maka pahala tersebut akan menjadi berlipat-lipat. Tentu ada perbedaan antara shalat yang memang pahalanya sangat bersifat personal, maka bacaan shalawat bisa bermakna individual jika tidak dihibahkannya kepada orang lain, secara khusus kepada orang tua, atau kakek nenek dan seterusnya dan juga bisa dihadiahkan kepada orang lain. Si pembaca akan mendapatkan pahala dan orang yang diberi hadiah insyaallah juga akan mendapatkan pahalanya.
Puasa atau shoum adalah ibadah yang special. Tidak hanya dari waktunya yang didirikan pada bulan khusus, tetapi dimensi pahalanya juga sangat khusus. Misalnya dinyatakan dalam Riwayat hadits: “ash shiayamu li, wa ana ajzi bihi”. Yang artinya kurang lebih: “puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya di sisi-Ku”. Tidak ada amal ibadah yang dinyatakan oleh Allah SWT seperti ini. Hal ini menunjukkan bahwa puasa merupakan ibadah yang khas harus dilakukan oleh Umat Islam. Makanya, khitab perintah ini adalah: Ya Ayyuhal ladzina amanu”, yang artinya kurang lebih: “wahai orang-orang yang beriman”.
Puasa memang bukan ibadah yang mudah. Tidak gampang untuk mengubah tradisi makan, minum dan relasi seksual dari siang hari menjadi malam hari. Pada siang hari harus menahan lapar dan dahaga, membentengi diri dari hubungan seksual, dan di malam hari harus bangun untuk makan atau sahur. Malam hari yang biasanya orang sedang menikmati tidur dan harus bangun memasak, dan menyiapkan makanan. Sungguh pekerjaan yang berat. Tetapi inilah Islam memberikan yang terbaik bagi manusia. Sebab ternyata bahwa dengan mendekonstruksi pola makan dari siang menjadi malam sama artinya dengan memberikan peluang pencernaan untuk istirahat. Di dalam Bahasa Jawa bisa dinyatakan: “angademno mesin” atau “mendinginkan mesin”. Ibarat mesin, maka pencernaan pun memerlukan istirahat, maka Allah memberikan instrument agar pencernaan istirahat itu dengan berpuasa. Matan hadits Nabi Muhammad SAW: “ shumu tashihhu” atau “berpuasalah agar kamu sehat” ternyata benar adanya.
Puasa merupakan instrumen “penebusan dosa”. Tentu saja berbeda dengan tradisi “penebusan dosa” di dalam agama Kristen atau Katolik”, sebab penebusan dosa ini dilakukan dengan ibadah ritual puasa dan memohon ampunan kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh malalui introspeksi atas dosa-dosa yang pernah dilakukan. Dan jika kita berhasil, maka jawabannya jelas, akan diampuni dosa kita sebelumnya. Allah SWT itu maha pemurah, maka peluang untuk diampuni dosa manusia juga sangat besar.
Lalu orang Islam harus mengeluarkan zakat fitrah sebesar 2,5 kg atau uang setara Rp.45.000 rupiah. Yang secara khusus diberikan kepada fakir dan miskin atau kepada delapan ashnaf golongan atau para penerima zakat. Mengeluarkan zakat fitrah adalah kewajiban. Zakat fitrah berfungsi untuk tazkiyatun nafs atau membersihkan jiwa, sedangkan zakat mal untuk tazkiyatul mal atau membersihkan harta. Islam mengajarkan bahwa di dalam harta kita terdapat hak orang miskin, dan hak tersebut harus diberikan.
Inti dari kembali ke fitrah adalah di kala ibadah puasa sebagai instrument penghapusan dosa sudah dilakukan dan dibarengi dengan pengeluaran zakat fitrah yang ditindaklanjuti dengan permohonan kemaafan dari orang lain yang kita pernah melakukan kesalahan, maka di saat itulah sebenarnya manusia telah kembali kepada kemanusiaannya. Melakukan kesalahan dan kekhilafan adalah ciri kemanusiaan dan itulah sebabnya permohonan ampunan menjadi penting. Jika secara vertikal kita sudah memohon ampunan dan secara horizontal kita sudah berupaya meminta maaf, maka pada saatnya kita akan menjadi orang yang fitrah. Orang yang tidak lagi memiliki tanggungan dosa baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia.
Wallahu a’lam bi al shawab.