Peran Ismail Mundu Sebagai Panrita, Ulama, dan Mufli Kerajaan Kubu Kalimantan Barat
KhazanahOleh: Sri Wahyuni
Syekh H. Ismail Mundu berasal dari keturunan raja Sawitto di Sulawesi Selatan. Kerajaan pertama yang berdiri di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-14 adalah kerajaan Luwu, yang sebelumnya bernama kerajaan Ussu dan dipimpin oleh Dinasti Tamanurung Simpuru Siang. Abad ke-16 dikatakan sebagai abad penyebaran Agama Islam, karena ada salah satu raja yang aktif menyebarkannya, yaitu Sultan Babullah dari Ternate. Pada tahun 1580, beliau berkunjung ke Makassar dan membuat perjanjian persahabatan dengan Raja Gowa ke-XII, I Manggorai Daeng Mameto alias Karaeng Tunijalla. Dalam perjanjian tersebut, Sultan Babullah menyerahkan Pulau Selayar kepada Kerajaan Gowa sebagai imbalan atas jaminan kebebasan dalam menyebarkan agama Islam.
Di Kerajaan Gowa, Islam menjadi agama resmi sejak pemerintahan I Mangarangi Daeng Manrabia, yang kemudian bergelar Sultan Alauddin. Sebelumnya, Mangku Bumi Malingkang Daeng Manyanri juga memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Abdullah Awalul Islam, dan dia diangkat sebagai mangku bumi Kerajaan Gowa. Sultan Alauddin masih berusia 7 tahun saat dinobatkan sebagai raja Gowa. Menurut Ust.H. Rival bin H. Abbas, dari kerajaan Islam tersebut, lahirlah raja Sawitto yang merupakan nenek moyang dari Guru H. Ismail Mundu.
Ismail Mundu lahir di Desa Teluk Pakedai, Pontianak, sekitar tahun 1850. Beliau merupakan putra dari H. Muhammad Mundu dan Nyai Hasnah. Beliau mempelajari ilmu agama dari ayahnya sejak kecil dan kemudian melanjutkan ke tingkat lanjutan di Pondok Pesantren Al-Khairiyah di Rembang, Jawa Tengah. Setelah tamat pendidikan, beliau kembali ke Pontianak dan menjadi guru agama di sana. Beliau menikah dengan Nyai Aisyah dan memiliki tujuh anak. Beliau juga aktif dalam mengajar agama dan membangun masjid di Pontianak dan sekitarnya. Beliau meninggal dunia pada tahun 1933 dan dikubur di Teluk Pakedai.
Guru H. Ismail Mundu terkenal sebagai ulama yang berkepribadian mulia dan memiliki keilmuan yang tinggi di bidang agama Islam. Beliau telah memberikan kontribusi besar dalam mengajar agama dan membangun masjid di Pontianak dan sekitarnya. Beliau juga memiliki banyak murid yang setia dan mengagumkan. Hal ini terbukti dari penghormatan yang diberikan kepada beliau oleh masyarakat dan pemerintah, seperti gelar \"Guru\" dan \"Habib\" yang diberikan kepada beliau. Selain itu, beliau juga memiliki banyak cerita dan peristiwa yang menarik dalam hidupnya yang dapat menjadi pelajaran dan inspirasi bagi generasi muda.
Guru H. Ismail Mundu adalah seorang ulama yang memegang jabatan mufti di Pontianak, Kalimantan Barat. Beliau menjadi tumpuan tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah agama dari berbagai kalangan, khususnya yang berkaitan dengan problem yang dihadapi oleh kaum Muslimin. Ismail Mundu sebagai mufti memberikan fatwa dan penjelasan kepada masyarakat terkait permasalahan agama, hal ini terlihat dalam berbagai karyanya antara lain tafsir kitab suci Al-Quran terjemahan Bugis, kumpulan cerita Isra\' mi\'raj, kumpulan khotbah, kumpulan wirid, Zikir Tauhidiyah, Mukhtasar al-Mannan \'ala al-\'Aqidat al-Rahman, Kitab Mukhtasar Aqaid, Faidah Istighfar Rajab, Jadwal Al-Nikah, Majmu\' al-Mirats fi hukmi al-Faraid. Klasifikasi karya Ismail Mundu meliputi tafsir, tauhid, tasawuf, fiqh, dan sejarah.
Beliau dapat memutuskan permasalahan dengan bijaksana dan nasehat yang baik. Kemampuan, kharisma, dan pengaruhnya yang besar membuat beliau mendapat penghargaan dari pemerintahan Belanda berupa bintang jasa dan Honorrarium dari Ratu Wilhel Mina pada tanggal 31 Agustus 1930 M. Beliau menjabat sebagai mufti hingga kematiannya.
Pada tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H, Guru H. Ismail Mundu bersama seorang murid dan teman karibnya, Datuk Penghulu H. Haruna bin H. Ismail, membangun Masjid Batu. Datuk Penghulu memiliki partisipasi dan pengorbanan besar dalam pembangunan masjid ini. Aslinya, masjid ini dikenal dengan nama Masjid Nasrullah, tetapi disebut Masjid Batu karena dibangun dari bahan batu bata. Pada tahun 1930 M, Guru H. Ismail Mundu dikunjungi oleh dua orang ulama dari Madinah, Sayyid Nasir dan Sayyid Abdul Satar, yang menjadi imam shalat Taraweh selama Ramadhan. Setelah tiga bulan, mereka kembali ke Madinah. Beberapa waktu kemudian, Guru H. Ismail Mundu dikunjungi lagi oleh tiga orang ulama besar, Sayyed Hasan Japri, Sayyed Alwi, dan Sayyed Ahmad Jablawi.
Sayyed Ahmad Jablawi ingin mengajar para murid dalam hal menghafal Al-Qur\'an di Teluk Pakedai, tetapi karena syarat yang ditargetkannya tidak terpenuhi, beliau mengurungkan niat tersebut. Pada tahun 1973 M, Guru H. Ismail Mundu berangkat ke Makkah bersama keluarganya untuk menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya. Beliau juga mengajar di Masjidil Haram bagian sebelah Shapah dengan nama perkumpulan JAMI\'UT THANASUH. Di sana, beliau mendapat bantuan dari Ratu Wilhel Mina dan dibagikan kepada muridnya.
Saat Presiden Republik Indonesia pertama kali menunaikan ibadah Haji, Guru H. Ismail Mundu bersama Saiyed Ali Azzawawi bin Saiyed Abdullah Azzawawi dan Raja Makkah menyambutnya. Dalam kesempatan tersebut, Sultan Hamid II menceritakan kepada Guru H. Ismail Mundu bahwa keluarganya dan murid-muridnya di Pontianak sangat rindu dan bahkan ada yang mengira beliau sudah meninggal dunia. Mendengar berita tersebut, Guru H. Ismail Mundu pulang ke Indonesia pada tahun 1948 M dengan menggunakan kapal air. Para penumpang kapal air yang mengaku muridnya dibebaskan dari biaya kapal karena nama besar Guru H. Ismail Mundu.
Setelah tiba di Jakarta, beliau disambut oleh muridnya, Kyai H. Wahid Hasyim, yang merupakan Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama. Kemudian, beliau menemui dua orang teman semuridnya, Habib AM Habsi di Kuwitang dan Kyai Pala di Kota Bogor. Beliau pulang ke Pontianak dan disambut oleh murid-muridnya dengan gembira. Beliau menetap di desa Teluk Pakedai hingga kematiannya, dan dua tahun kemudian beliau menikah lagi dengan seorang wanita dari suku Bugis bernama Saleha binti H. Muhammad Said.
Tepat pada tanggal 30 Jumadil Awal 1377 H, kesehatan Guru H. Ismail Mundu mulai menurun. Beliau memanggil beberapa orang muridnya dan menceritakan tentang mimpi yang didapat. Beliau meminta agar rumahnya disiapkan karena akan memindahinya pada hari Rabu mendatang. Ketika memindahi rumahnya, penyakitnya semakin berat. Beliau bertemu dengan H. Do-eng, yang datang bersama dokter, tetapi beliau menyatakan bahwa bukanlah penyakit yang menyerangnya, melainkan ajal. Sebelum meninggalkan dunia, Guru Haji berwasiat agar Masjid Nasrullah (Batu) Teluk Pakedai dirawat dan dipeliharakan, serta memberikan amanah kepada murid-muridnya. Beliau meninggalkan dunia dengan melafatkan kalimah \"Laa ilaha\' illallah\" dan dikuburkan dengan husnul khatimah.
Sumber:
https://dpk.kalbarprov.go.id/books/guru-haji-ismail-mundu-ulama-legendaris-dari-kerajaan-kubu/#:~:text=Ismail%20Mundu%20berasal%20dari%20keturunan,oleh%20Dinasti%20Tamanurung%20Simpuru%20Siang
https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/tabligh/article/view/31861