(Sumber : Tribun)

Hanan Attaki, Masyarakat Madura dan Disharmoni Bangsa

Opini

Dakwah Islam selayaknya dilakukan tidak untuk membuat masyarakat terpecah belah dan disharmonis. Dakwah Islam dilakukan seharusnya untuk membangun harmoni social masyarakat semakin kuat, sehingga kerukunan umat beragama juga akan terjaga dengan baik. Tetapi di era sekarang, dakwah ternyata justru menjadi medium untuk saling menyerang dan mempertahankan pendapatnya atau tafsir agamanya, sehingga berpotensi untuk membuat kegaduhan di dalam masyarakat.

  

Sebagai masyarakat yang semakin dewasa seharusnya masyarakat semakin memahami bahwa agama itu memang berada di dalam dua kawasan, yaitu kawasan doktrin yang tidak berubah dan terdapat di dalam teks yang sangat jelas dan tidak diperlukan penafsiran yang berbeda. Akan  tetapi di sisi lain juga terdapat   kawasan tafsir atau pemahaman para ulama yang diikuti oleh jamaahnya. Ada ajaran universal berbasis teks atau doktrin yang jelas dan ada yang memerlukan pemahaman berbasis pada penafsiran ulama yang memang memiliki otoritas di dalam penafsiran teks-teks agama.

  

Kita tentu bersyukur sebab memiliki satu kitab suci yang tetap terjaga keasliannya semenjak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Kitab suci al-Qur’an yang dikodifikasi semasa kekhalifahan  Ustman bin Affan merupakan kitab suci yang terjaga keaslian dan keabsahannya. Pengkodifikasian teks-teks Alqur’an yang terserak tentu bukan bidh’ah atau mengada-ada atas suatu perbuatan yang tidak dilakukan pada zaman Nabi Muhammad SAW,  akan tetapi merupakan keputusan yang sangat bermanfaat sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah SWT, bahwa Alqur’an akan terjaga keasliannya.

  

Meskipun demikian, al-Qur’an tetap mengandung dua hal yang mendasar, yaitu ada yang pengertiannya sangat jelas atau ayat-ayat yang muhkamat dan ada yang ayat-ayat yang pengertiannya bisa bermacam-macam atau ayat-ayat yang mutasyabihat. Yang muhkamat tentu tidak ada perbedaan dalam memahaminya tetapi ada yang mutasyabihat yang bisa mengalami pemaknaan ganda. Misalnya, konsep khilafah, jihad, thaghut, dan lainnya bisa memiliki makna ganda tergantung pada konteks zamannya. Di sini tidak ada pemaknaan mutlak dari satu ulama, tetapi bisa terdapat berbagai macam penafsiran dari para ulama. 

  

Kita sekarang sedang hidup di era ketelanjangan informasi, artinya bahwa apapun yang diinformasikan tentu akan bisa menjadi milik  bagi masyarakat. Melalui media social, seperti kanal Youtube, Twitter, Facebook, dan sebagainya, maka semua informasi tersebut berada di dalam ruang terbuka. Siapapun bisa mengakses selama sudah terpublish di media social. Itulah sebabnya apa saja yang sudah dipublikasikan maka akan menjadi milik public, sehingga apa yang menjadi konten media social tersebut bisa diakses oleh siapapun.

  

Akhir-akhir ini, dunia media sosial juga menjadi viral terkait dengan dakwah yang dilakukan oleh Hanan Attaki di Pamekasan. Hanan Attaki yang sering disebut sebagai Ustaz Gaul ini memang diundang oleh para penggemarnya dan pengikutnya di Pamekasan, tepatnya di Masjid Al Muttaqien Desa Laden, Kecamatan Pamekasan. Pengajian ini memantik masalah bagi warga masyarakat di desa dimaksud. Pengajian yang dilakukan di masjid ini dianggap bisa memecah belah masyarakat yang selama ini kondusif dalam keharmonisan. Masyarakat yang memiliki tradisi guyub dan rukun akan bisa terpecah belah akibat dakwah yang dilakukan oleh Hanan Attaki. Masyarakat NU tentu tidak menghendaki adanya dakwah yang bisa merusak kesatuan bangsa. Banser yang selama ini menjadi garda depan NU dalam melakukan penjagaan atas kesatuan dan persatuan bangsa melakukan tindakan menghentikan pengajian dimaksud agar jangan sampai terjadi permasalahan di kemudian hari. 

  

Di Kalangan para Nahdhiyin, Hanan Attaki dikenal sebagai seorang dai yang memiliki pandangan berbeda dalam memahami teks di dalam Islam. Dia dikenal sebagai dai yang menganjurkan diterapkannya khilafah transnasional. Di dalam tayangan Youtube masih bisa didengarkan pernyatannya tentang khilafah sebagai satu-satunya solusi atas masalah di dunia internasional. Selain juga pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Berbekal pada hal ini, maka pengajiannya di beberapa wilayah di Jawa Timur juga tidak dijinkan. 

  

Pemerintah dan masyarakat memang sedang melakukan upaya untuk mengeliminasi gerakan khilafah di negeri ini. Di antara upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan Gerakan Moderasi Beragama (GMB), sehingga jika terdapat dai yang mengusung tema khilafah atau sejenisnya tentu akan dilakukan pencegahan. Termasuk juga dai-dai yang sering mengumbar pernyataan yang menganggap pengamalan beragama kelompok lainnya sebagai amalan orang kafir, bidh’ah dan lainnya. 


Baca Juga : Politik Islam Moderat di Indonesia

  

Komunitas NU sangat memahami hal ini, maka di kala terdapat seorang dai yang dikenal sebagai dai khilafah, maka mereka akan melakukan upaya untuk menghentikannya. Kapan dan di manapun. Hanan Attaki ditengarai sebagai dai dalam kategori dimaksud, sehingga komunitas NU merasa absah untuk menghentikan dakwah tersebut. Meskipun pemerintah tidak melakukan tindakan pencegahan, maka komunitas NU akan melakukannya sendiri. Dan peristiwa di Masjid Al Muttaqien Desa Laden adalah bagian dari upaya agar dakwah yang mengandung dan menentang terhadap kesatuan dan persatuan bangsa tidak dibiarkan.

  

Di dalam konteks keindonesiaan, maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, pertama,  dakwah tentu harus mempertimbangkan akan tradisi di dalam pengamalan beragama. Jika masyarakatnya kebanyakan berpengamalan agama yang jelas tidak bertentangan dengan prinsip di dalam ajaran Islam, maka selayaknya dakwah yang tidak sepemahaman dengan hal tersebut tidak dilakukan.

  

Kedua,  dakwah selayaknya tidak dilakukan untuk melakukan perlawanan atas kepentingan negara. Dakwah yang mengusung tema-tema khilafah, jihad dan thaghut yang berlawanan dengan ideologi bangsa yang di dalamnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam seharusnya juga tidak dilakukan. Kepentingan negara, bangsa dan masyarakat harus didahulukan dibandingkan dengan kepentingan kelompok dan individu yang ada di dalamnya. 

  

Ketiga, dakwah seharusnya justru untuk membangun kebersamaan, harmoni atau kerukunan masyarakat. Jika dirasakan bahwa dakwah tersebut akan membuat keresahan masyarakat, maka dakwah tersebut seharusnya tidak dilakukan. Dakwah yang sebenarnya adalah membangun religiositas yang semakin baik dan bukan untuk membuat kekacauan. Mari disadari bahwa negeri ini sudah menetapkan bahwa bentuk negara Indonesia sudah jelas, yaitu NKRI dan tidak diperlukan bentuk negara baru. Konsekuensinya sangat besar yaitu perpecahan sesama warga bangsa dan bukan sekedar disharmoni.

  

Keempat, mari semua warga negara Indonesia, khususnya yang beragama Islam, sama-sama memahami bahwa pilihan Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, NKRI sebagai bentuk negara, UUD 1945 dan kebinekaan sebagai pilar kebangsaan adalah pilihan yang tepat bagi masyarakat dengan tingkat pluralitas yang sedemikian kompleks.

  

Mari kita semua menahan diri bahwa kepentingan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sebagaimana yang sudah tersaji di hadapan kita merupakan pilihan yang relevan dengan bangsa dan masyarakat Indonesia.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.