Menyikapi Perbedaan Hari Raya: Renungan Akhir Ramadhan
OpiniPerkara penetapan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan atau tanggal 1(satu) Syawal adalah wilayah ijtihadi atau wilayah pemikiran manusia atas ajaran agama. Namanya saja ijtihad tentu bisa menggunakan berbagai metode atau manhaj yang bisa berbeda antara satu individu atau segolongan individu dalam kaitannya dengan makna tafsir dimaksud. Sebagai wilayah tafsir, meskipun terkait dengan ibadah maka tidak ada kemutlakan. Ini yang paling benar. Jadi, menurut ulama organisasi ini benar tetapi menurut ulama organisasi lainnya salah.
Hal yang rawan, bukan sangat rawan, perbedaan adalah penentuan awal Ramadhan, akhir Ramadhan atau 1 (satu) Syawal sebagai penetapan Hari Raya Idul Fitri dan 1 (satu) Dzulhijjah sebagai penetapan hari raya Haji. Tiga hal ini yang rawan perbedaan karena perbedaan manhaj dalam penentuannya. Makanya antara organisasi Muhammadiyah dengan pemerintah dan NU bisa terjadi perbedaan. Tetapi karena menyangkut persoalan ibadah salat hari raya dan puasa, maka di sinilah yang bisa saja terjadi saling klaim kebenaran. Bagi orang Muhammadiyah yang sudah berhari raya dengan mengakhiri puasa, maka bisa saja menganggap puasa hari itu haram hukumnya, tetapi bagi orang NU maka puasa hari itu tidak haram bahkan wajib karena memang berdasarkan pengalaman empiris, bahwa hilal hanya, sekali lagi hanya, bisa dilihat atau di rukyah jika ketinggiannya minimal 2 (dua) derajad. Bahkan Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) justru menaikkan syarat kemungkinan hilal bisa dilihat dengan standar 3 (tiga) derajad ketinggiannya. Sekali lagi ini adalah wilayah tafsir yang masing-masing ulama bisa melakukan ijtihadnya.
Sikap yang harus diambil adalah dengan pernyataan: “saya mengikuti ulama organisasi saya yang telah menentukan penetapan hari raya sesuai dengan tafsir dan keyakinannya.” Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dalam menentukan penetapan tanggal awal bulan Ramadhan, mengakhiri Ramadhan dan menetapkan awal bulan Dzulhijjah. Selama manhaj yang digunakan berbeda, maka perbedaan dipastikan akan terjadi. Potensi untuk berbeda itu sangat besar terjadi.
Ulama Muhammadiyah yang tergabung di dalam Majelis Tarjih dan tim ahli Falakiyah menggunakan konsep wujudul hilal atau eksistensi hilal sudah di atas matahari tenggelam dalam waktu yang minimal sekalipun. Jadi kala hilal sudah berada di atas ufuk dengan derajad 0,01 berdasarkan ilmu hisab, maka dipastikan bahwa awal Ramadhan atau awal Syawal pasti sudah terjadi. NU juga menggunakan Tim Falakiyah untuk menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal dan juga menghasilkan perhitungan sebagaimana ulama Muhammadiyah, akan tetapi masih ada lagi satu metode konfirmasi atau Rukyatul Hilal dengan metode Imkanur Ru’yah. Jika ketinggian hilal sudah 2 (dua) derajad, maka dimungkinkan hilal sudah terlihat. Jadi meskipun terdapat kendala cuaca di dalam melihat hilal di seluruh titik observasi, maka penetapan Hari Raya Idul Fitri sudah bisa dilakukan. Jika malam tanggal 29 tidak terlihat hilal karena faktor alami, maka puasa diistikmalkan menjadi 30 hari.
Mengenai sikap atas perbedaan hari raya tersebut lalu muncul perbedaan tetapi bukan friksi terkait dengan pemanfaatan fasilitas public untuk beridadahSalat Idul Fitri, Ada tiga sikap dalam menghadapi perbedaan ini, yaitu: pertama, menolak penggunaan faslilitas publik untuk salat jamaah bagi kalangan Muhammadiyah. Tentu dengan alasan bahwa fasilitas public itu digunakan bagi kalangan yang bersepaham dengan pemerintah dalam penetapan hari raya Idul Fitri. Jika berbeda tentu tidak bisa menuntut untuk menggunakan fasilitas public sebagai tempat ibadah. Tentu ada sejumlah kepala daerah yang berpaham seperti ini. Dan ini bisa dilakukan sesuai dengan alasan masing-masing.
Kedua, alasan politik bahwa penolakan penggunaan fasilitas publik untuk shalat jamaah itu diwarnai oleh alasan politik. Dan bahkan juga menyeret pemerintah secara umum tentang Islamopobia dan kebencian terhadap kelompok Islam tertentu. Bahkan juga memunculkan pemikiran agar masyarakat tidak perlu mengikuti penetapan pemerintah. Dari urusan ibadah merembet ke urusan politik. Pemikiran seperti ini terkait dengan sudah semakin dekatnya tahun politik, 2024.
Ketiga: alasan netralitas bahwa sekumpulan orang yang akan melakukan ibadah atau Salat Idul Fitri dipersilahkan yang penting tidak melakukannya secara atraktif. Dipersilahkan melakukan ibadah berdasar atas keyakinan sesuai dengan tafsir para ulamanya. Bukan penafsiran sendiri-sendiri. Kita harus mengikuti ulama yang memiliki otoritas dalam menafsirkan ajaran Islam. Menteri Agama telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 05 Tahun 2023 yang terkait dengan penyelenggaraan takbir dan ibadah shalat Idul Fitri, yang intinya memberikan peluang bagi umat Islam yang berbeda di dalam menentukan hari raya agar dapat beribadah sesuai dengan keyakinan agamanya tersebut.
Di seluruh dunia Islam menetapkan hari-hari besar Islam itu menjadi kewenangan pemerintah. Jadi kala menentukan kapan melakukan puasa dan kapan mengakhirinya serta kapan melakukan hari raya idul adha itu adalah kewenangan pemerintah. Dan Indonesia adalah negara yang memiliki ciri khas bahwa organisasi social keagamaanpun memiliki kewenangan untuk itu. Maka jadikanlah perbedaan itu sebagai khasanah Islam di Indonesia. Sekali lagi Islam di Indonesia. Jika disebut Islam Indonesia maka tentu ada yang protes bahwa Islam itu universal tidak mengenal Islam parsial.
Dengan demikian, biarkanlah yang mau berhari raya hari Jum’at sesuai dengan manhaj ulamanya, dan silahkan bagi yang mau menyelenggarakan hari raya pada hari Sabtu sesuai dengan manhaj ulamanya. Yang penting jangan mengkapling bahwa yang hari Sabtu itu masuk neraka dan yang hari Jum’at masuk surga atau sebaliknya yang berhari raya Jum’at masuk neraka dan yang hari Sabtu masuk surga.
Biarkanlah hak prerogative untuk memasukkan manusia ke dalam surga dan neraka itu menjadi haknya Allah, dan jangan kita ikut menentukannya atau memastikannya. Semuanya adalah ijtihad dan ikhtiar, jika benar mendapatkan pahala dan jika salah tetap mendapatkan pahala. Berapapun besar pahalanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.