(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Professor Sebagai Gelar Terhormat

Opini

Menjadi professor tentu merupakan harapan bagi semua dosen apalagi jika persyaratan utamanya sudah terpenuhi, yaitu telah menjadi doktor dari perguruan tinggi yang berkualitas, baik dari dalam maupun luar negeri. Ukuran kualitas tentu saja terkait dengan  kualitas akreditasi yang diperolehnya, baik pada level nasional maupun internasional. Akreditasi adalah sebuah pengakuan (recognition) yang menjadi jaminan bahwa produk yang dikeluarkan (alumninya) tentu merupakan orang yang berkualitas sesuai dengan kepakarannya.

  

Sebagaimana diketahui bahwa seseorang bisa memperoleh gelar professor melalui pergulatan yang panjang dan melelahkan. Jika anak penyanyi bisa menjadi penyanyi, atau anak pemain sinetron bisa menjadi pesinetron, maka untuk menjadi professor harus melampaui waktu yang sangat panjang berbelit dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Harus menghabiskan energinya untuk belajar sampai jenjang pendidikan tertinggi di sebuah negeri dan kemudian juga telah memenuhi persyaratan yang sangat ketat untuk memenuhinya. Memang ada perkecualian bahwa terdapat professor yang dihasilkan atas pengakuan masyarakat akademis dan  negara yang kemudian menetapkannya sebagai professor kehormatan, bisa karena pengabdiannya, usahanya, inovasinya atau karena kepemimpinannya dalam jenjang nasional atau internasional.

  

Tetapi hakikat professor adalah para pencari dan penemu. Saya sebut sebagai penemu sebab para professor adalah orang yang selalu gelisah kehidupannya, bukan karena masalah kehidupan pribadi atau sosialnya akan tetapi kegelisahan akademik yang terus menerus menyala dan berkobar untuk selalu mempertanyakan fenomena yang berada di sekelilingnya. Tidak pernah berhenti berpikir melihat fenomena yang bisa saja terdapat kesenjangan antara satu dengan lainnya. Seorang professor akan selalu berada di dalam dunia pemikiran yang terus berkembang dan bergulat dengannya. Inilah konsekuensi menjadi professor, yang memang ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang cerdas, dan berada satu level dibandingkan dengan manusia-manusia lainnya. Sebutan professor sebagai “yang sangat terpelajar” bukan tidak ada maknanya tetapi  sungguh merupakan pernyataan yang menggambarkan betapa “kehebatan” professor tersebut di dalam blantika ilmu pengetahuan dan dunia akademis yang unggul.

  

Professor dengan demikian merupakan orang khusus di dalam sebuah negara yang memiliki kapasitas unggul di dalam ilmu pengetahuan, baik ilmu agama, ilmu sosial, ilmu humaniora, sains dan teknologi, ilmu formal maupun ilmu terapan. Oleh karena itu, seseorang yang memeroleh gelar professor, bukanlah akhir segalanya tetapi adalah awal segalanya, sebab yang bersangkutan telah memasuki komunitas yang sangat terpelajar. Makanya seorang professor harus menghasilkan karya akademik dalam bidangnya. Karya akademik, misalnya dalam bentuk buku. Jangan meremehkan karya akademis dalam bentuk buku, sebab karya ini sungguh memiliki kelebihannya, yakni mampu bertahan lama sebagai bacaan kaum akademisi. Siapa yang meragukan karya Clifford Geertz, Max Weber, Durkheim, Woodward di dalam ilmu-ilmu social, atau misalnya karya Imam Ghazali, Imam Syafi’I, Ibn Athaillah Sakandari, Imam Bukhori, Imam Muslim, dan Ibn Taymiyah dalam ilmu agama. Di Indonesia, orang tentu tidak bisa melupakan nama-nama hebat dalam dunia ilmu pengetahuan social, budaya dan agama, misalnya Buya HAMKA, KH. Shaleh Darat, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Saifuddin Zuhri, Prof. Slamet Mulyana, Prof. Hazairin, Prof. Muladi, Prof. Hasby Ashiddiqi, Prof.  Koentjaraningrat, Prof. Parsudi Suparlan, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain yang karya-karya akademisnya masih dipelajari hingga sekarang. 

  

Mereka adalah sosok yang ilmunya sangat luar biasa, meskipun ada yang tidak bergelar Professor. Tetapi ilmunya tentu bisa disejajarkan dengan para professor. Di antara mereka ini ada yang menjadi aktivis umat sekaligus penulis buku-buku yang hebat dan ada pula yang menjadi aktivis pemerintahan dan juga penulis yang luar biasa. Mereka inilah yang bisa disebut sebagai professor dalam konteks akademis dan pengabdian sekaligus. Memang ada  di antaranya yang tidak melakukan riset dalam konteks sebagai metode pengkajian ilmu pengetahuan, akan tetapi hasil refleksinya tentang ilmu tentu tidak diragukan bobot akademiknya. 

  

Di Indonesia, memang untuk mengukur keprofessoran seseorang ditentukan oleh pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Pengajaran/Pendidikan, riset dan pengabdian masyarakat. Jika ketiganya sudah memenuhi syarat sebagaimana standart yang telah dibakukan, maka yang bersangkutan tentu bisa meraih gelar professor. Terpenuhinya Penetapan Angka Kredit (PAK) menjadi standart pengukuran perolehan gelar akademik tersebut. Untuk memeroleh PAK yang memenuhi standart ukuran minimal professor tentu harus ditempuh dalam waktu bertahun-tahun, dan hal ini menggambarkan betapa ukuran waktu dalam relasinya dengan kapasitas akademis menjadi penting. 

  

Dewasa ini untuk menjadi professor tidak hanya harus memenuhi standar akademik saja tetapi harus memenuhi standart penulisan artikel yang dipublish oleh jurnal internasional terindeks di Scopus. Persoalan indexing inilah yang sementara ini menjadi problem, karena lalu menjadi ukuran mutlak. Karya akademis seperti penulisan buku nyaris tidak dipertimbangkan atau sekedar menjadi pelengkap. Padahal menulis buku dengan standart akademik yang tinggi juga tidak mudah. Apalagi buku itu dihasilkan dari riset akademik yang teruji dengan citasi yang tinggi. Sekarang ini rasanya menulis buku serius kurang mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan tinggi, karena orang lebih mengejar menulis di jurnal nasional atau internasional. 

  

Oleh karena itu rasanya diperlukan penilaian ulang  atas karya akademis buku, atau lainnya dengan beberapa indikator: pertama, menulis  buku yang  bertaraf internasional atau nasional, serta citasi yang menggambarkan bahwa buku tersebut menjadi rujukan para penulis akademis. Buku  tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran utama yang ekivalen dengan karya akademis artikel jurnal. Ada semacam standarisasi bahwa calon professor telah menulis buku dengan citasi yang relevan. Sekurang-kurangnya seorang  calon professor sudah dicitasi oleh  100 orang (sekedar contoh). Jika seorang calon professor sudah dicitasi  (bisa beberapa buku), dengan jumlah seperti itu, maka bisa menjadi ukuran yang bersangkutan dapat diajukan sebagai guru besar. 

  

Kedua, ekivalensi karya akademis tidak harus menyurutkan minat untuk menulis di jurnal internasional atau nasional. Tetap saja berlaku bahwa calon professor harus menulis jurnal namun juga dengan standart ekivalensi. Misalnya menulis karya jurnal nasional Sinta 2 sebanyak lima buah pada waktu pengajuan sama nilainya dengan menulis jurnal internasional berstandar Scopus, dan  WOS. Karena banyaknya indexing di jurnal internasional, maka juga berlaku standar yang tertinggi dengan standart tertentu dan yang di bawahnya dengan standar tertentu juga. Janganlah menjadikan satu standart untuk berlaku bagi semuanya dengan menafikan standar lain yang juga bereputasi. 

  

Ketiga, dalam kerangka menjamin kualitas buku, maka diperlukan standarisasi atau pengakuan lembaga negara (Puskurbuk) tentang akreditasi penerbit sehingga akan bisa dijamin bahwa buku tersebut memiliki standart akademis. Penerbit buku memiliki standart akreditasi I, II atau III. Melalui cara ini, maka dosen juga harus menulis yang sesuai dengan standart penerbit di Indonesia. 

  

Keempat, memberikan pengakuan atas tulisan artikel di dalam web yang sudah memiliki reputasi sebagai web yang resmi dan diterbitkan untuk tujuan membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengakuan hanya diberikan atas web yang memiliki visi menggelorakan semangat kebangsaan berbasis pada empat pilar consensus kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan. Jadi bukan hanya karya di koran saja yang memperoleh pengakuan.

  

Kita tentu bersyukur karena kewajiban menulis di jurnal baik nasional atau internasional, maka dunia akademis di Indonesia semakin diakui di dunia akademis internasional, melalui banyaknya artikel yang tersebar, dan peningkatan jumlah citasi atas karya akademis. Namun yang perlu diperhatikan bahwa diperlukan kearifan di dalam merumuskan kebijakan yang juga bersearah bagi peningkatan jumlah professor di Indonesia.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.