(Sumber : Nursyamcentre.com)

Kontribusi Sosiologi Terhadap Rumusan Paradigma Ilmu Dakwah

Riset Sosial

Artikel dengan judul yang sangat menarik di atas merupakan salah satu karya dari Prof. Dr. Nur Syam., M.Si. Karya ini tertuang dalam bahasa Inggris dengan judul Formulating Principles Of Islamic Proselytization: A Sociological Contribution dan diterbitkan oleh Jurnal Episteme pada bulan Desember 2019. Tulisan tersebut menjawab mengenai kontribusi sosiologi terhadap Ilmu Dakwah dan peluang pengembangannya, jika dakwah digunakan sebagai objek studi dan ilmu sosiologis sebagai pendekatan. Hal ini sesuai dengan konsep intregrasi ilmu yang diusung oleh UIN Sunan Ampel Surabaya. Teori sosiologi yang dapat digunakan untuk mengembangkan dakwah Islam menurut Nur Syam adalah teori fenomenologi, konstruksi sosial, dramaturgi, etnometodologi, hermeneutika, tindakan komunikatif, konflik otoritas, konflik dan integrasi, struktural fungsional dan aksi sosial. Resume ini akan menjelaskan kembali inti dari tulisan Nur Syam tersebut dengan menuliskan rangkuman dari seluruh sub babnya, yakni pendahuluan, paradigma ilmu dakwah, teori sosiologi sebagai perspektif, dan teori sosiologi dakwah.

  

Pendahuluan

  

Setiap ilmu memiliki paradigma, perspektif atau mazhab, termasuk ilmu dakwah. Di dalam ilmu dakwah, tidak hanya menjelaskan mengenai fenomena alam melainkan “profetik” yang berisi dimensi perubahan dalam bidang moral maupun sosial berlandaskan nilai-nilai agama. Paradigma teoritis mengenai dakwah terdapat dalam QS. An-Nahl, ayat 125, yakni Bil Hikmah, Mauidhah Hasanah dan Mujadalah. Tiga paradigma tersebut tertuang dalam ilmu dakwah melalui jurnalisme, retorika, dan pengembangan masyarakat. Dakwah melalui jurnalisme dilakukan dengan mempromosikan perdamaian, bukan dengan kekerasan, provokatif, dan tindakan yang tidak beretika. Dakwah melalui retorika tidak jauh berbeda dengan jurnalisme, yakni mempromosikan kesopanan, kebersamaan, anti-kekerasan, kasih sayang, anti korupsi bahkan anti hoax. Pengembangan masyarakat harus didasarkan pada paradigma kebaikan, bahkan ketika berdebat dapat dilakukan dengan adab al bahsyi wa al munadharah dan bahst al masail.

  

Paradigma Ilmu Dakwah

  

Nur Syam berpendapat bahwa, setidaknya terdapat lima paradigma dalam ilmu dakwah. Pertama, faktor, yakni perspektif dakwah yang dipengaruhi oleh ilmu komunikasi, yakni propaganda untuk memperngaruhi target dakwah (mad’u). Faktor dalam dakwah adalah da’i, metode, media, dan implikasinya. Kedua, sistem yang memiliki ciri khas pemecahan masalah, yakni upaya untuk memecahkan masalah agama dalam individu maupun masyarakat. Misalnya studi mengenai proses mengubah perilaku kaum Abangan Pesisir ke NU karena adanya bidang budaya. Ketiga, developmentalisme yakni pengembangan model kegiatan dakwah. Artinya, berkaitan dengan penemuan bahkan pengembangan model yang berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat. Keempat, landasan interpretatif yakni pemikiran para ahli bahwa target dakwah adalah realitas yang memiliki makna. Ilmu dakwah mempelajari mengenai pemikiran atau gagasan yang menjadi dasar tindakan. Kelima, partisipatif yakni perilaku partisipatif masyarakat dalam kegiatan dakwah. Artinya, dakwah dapat dilakukan dengan proyek pemberdayaan masyarakat.

  

Teori Sosiologi Sebagai Perspektif

  Di dalam mempelajari ilmu pengetahuan terutama ilmu sosial, humaniora bahkan agama, akan selalu ditemukan empat istilah: definisi, paradigma, metodologi dan teori. Definisi memberikan batasan pada ruang lingkup. Paradigma berfungsi untuk memahami pokok bahasan. Metodologi memberikan tinjauan mengenai bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan teori menggambarkan apa yang telah dihasilkan dalam konsep, preposisi dan bagaimana perkembangannya.

  

Teori Sosiologi Dakwah

  

Baca Juga : Curhat ke Chatbot AI? Kok Bisa Jadi Pilihan Banyak Orang Saat Ini?

Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu dakwah dapat berkolaborasi dengan teori ilmiah yang lain atau interdisipliner. Terdapat beberapa teori yang dapat dijelaskan menggunakan pemikiran studi interdisipiner. Pertama, fenomenologi dakwah. Teori ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana motif dalam dakwah. Fenomenologi tidak hanya digunakan sebagai alat analisa tindakan yang dipahami oleh seorang peneliti, melainkan juga mengungkapkan tindakan pada individu. Jika dikaitkan dengan peristiwa dakwah, maka da’i dan mad’u memiliki alasan dalam menentukan tindakan apa yang relevan bagi mereka. Misalnya, seseorang yang menyukai dakwah Gus Baha, tentu memiliki kesamaan pikiran dan tindakan mengenai materi yang disampaikan dan diterima.

  

Kedua, teori konstruksi sosial. Inti dari teori ini adalah eksternalisasi dialektik, objektivasi, dan internalisasi. Masyarakat sebagai sasaran dakwah menjadi realitas objektif melalui eksternalisasi dan menjadi realitas subjektif melalui internalisasi. Di dalam eksternalisasi, individu menggunakan teks atau nilai sebagai pola perilaku. Melalui internalisasi dapat diketahui kemampuan mad’u mengidentifikasi diri sebagai muslim yang taat.

  

Ketiga, teori dramaturgi dakwah. Teori ini menggambarkan bahwa hidup seperti pada panggung teater yang menampilkan permainan tertentu dan para pemain bermain sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itu, teori ini dapat digunakan untuk mempelajari pemikiran da’i dengan berbagai media, metode bahkan pesan yang digunakan.

  

Keempat, teori etnometodologi dakwah. Proposisi teori ini menyatakan bahwa seseorang dapat membuat “kejutan” dengan melakukan tindakan menyimpang. Penelitian dengan teori ini biasanya bertujuan untuk memahami apakah peristiwa yang terjadi setiap hari memiliki makna yang unik bahkan menarik. Misalnya, bagaimana respon orang lain melihat salah satu Jama’ah Sholat Jum’at memakai kosetum yang aneh.

  

Kelima, teori hermeneutika. Inti dari teori ini adalah teks dapat dipahami dengan interpretasi berbasis dialog antara teks dan pembaca. Di dalam dakwah, dapat diterapkan dengan mempelajari pesan dalam bentuk teks yang disampaikan oleh da’i. Teori hermeneutika dalam dakwah dapat digunakan untuk mengetahui apakah pemahaman dari konteks sosial, budaya dan bahasa yang digunakan oleh da’i dapat dipahami oleh mad’u.

  

Keenam, teori tindakan komunikatif, yang menyatakan bahwa terdapat tiga momen penting dalam kehidupan sosial, yakni hubungan di dunia objektif (kebenaran yang tidak memihak), hubungan di dunia sosial (ranah interaksi antara individu dan masyarakat), dan domain subjektif (pengalaman yang mungkin diekspresikan). Di dalam ilmu dakwah, teori ini dapat digunakan untuk mempelajari hubungan da’i dengan mad’u. Artinya, bagaimana da’i dan mad’u dapat saling memahami mengenai apa yang dikomunikasikan.

  

Ketujuh, teori konflik otoritas milik Ralf Dahrendorf. Inti dari teori ini adalah konflik terjadi karena perbedaan dalam memahami otoritas atau kewenangan. Di dalam studi dakwah dapat digunakan untuk mengetahui apakah da’i dapat mengubah konflik menjadi konsensus melalui pesan agama dan apakah disintegrasi dapat diubah menjadi integrasi melalui pesan khotbah.

  

Kedelapan, teori konflik dan integrasi atau teori fungsional. Teori ini menjelaskan bahwa konflik tidak melulu destruktif tapi juga konstruktif. Teori ini dapat digunakan untuk memeriksa fakta mengenai dakwah di masyarakat. Misalnya, konflik dan integrasi melalui peran da’i.

  

Kesembilan, teori struktural fungsional. Teori ini berpandangan bahwa setiap struktur sosial memiliki manifestasi dan fungsi yang berperan penting dalam struktur sosial. Di dalam ilmu dakwah, dapat digunakan untuk menganalisa hubungan antara da’i dan mad’u dalam praktek keagamaan berdasarkan otoritas, strata sosial maupun struktur.

  

Kesepuluh, teori aksi sosial dakwah. Teori ini dicetuskan oleh Talcott Parson yang mempelajari mengenai aksi sosial masyarakat. Di dalam penelitian mengenai dakwah dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana kemampuan seseorang untuk beradaptasi hingga mencapai tujuan yang diinginkan.

  

Kesimpulan

  

Ilmu dakwah bukan hanya ilmu ideografis melainkan juga “profetik”, yakni yang membahas mengenai bagaimana masyarakat Islam seharusnya. Nur Syam berpendapat bahwa ilmu dakwah dapat memperoleh kemajuan dengan mengembangkan pengetahuan melalui integrasi ilmu. Artinya ilmu dakwah dapat dipelajari dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti sosiologi, psikologi, komunikasi dan sebagainya. Tulisan Nur Syam ini merupakan jawaban dari “kegalauan” akademisi mengenai posisi ilmu dakwah, sebagai ilmu mandiri atau interdisipliner. Nur Syam memberikan penegasan bahwa posisi ilmu dakwah adalah interdisipliner, sehingga dapat diintegrasikan dengan ilmu yang lain. Namun, masih terdapat satu pekerjaan atau tugas bagi para akademisi, yakni merumuskan hubungan antara teori baru dalam ilmu sosial untuk kepentingan perkembangan teori dalam ilmu dakwah.