Mengenal Lebih dalam Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani di Indonesia dan Turki
Riset SosialArtikel berjudul “Venerating Shaykh Abd Al-Qadir Al-Jilani in Indonesia and Turkiye” merupakan karya Imam Ghazali, Nyong Eka Teguh Imam Santosa, Genti Kruja dan Syafiq A. Mughni. Tulisan ini terbit di Journal of Indonesian Islam tahun 2024. Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani adalah tokoh terkemuka dalam masyarakat Islam. Jika dibandingkan dengan pengaruh karya intelektualnya, status terhormatnya lebih banyak diperoleh dari kualitas spiritualnya yang luar biasa. Bahkan, “kehormatannya” sulit ditandingi oleh pera ulama Islam lainnya. Ia tidak hanya dikenal di Indonesia, namun juga negara lain, salah satunya adalah Turki. Pendekatan komparatif studi tekstual dan lapangan di Indonesia dan Turki digunakan dalam penelitian tersebut. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, kedudukan Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani. Ketiga, praktik penghormatan. Keempat, kekuatan hagiografi. Kelima, lokalitas dan globalitas Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani.
Pendahuluan
Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani adalah seorang ulama, teolog, dan mistikus Islam terkemuka dari Baghdad, Irak yang mendirikan tarekat Sufi Qadiriyya. Ajaran dan praktik spiritualnya memiliki dampak paling signifikan terhadap perkembangan tasawuf di dunia Islam, termasuk pulau Jawa, Indonesia. Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani memiliki posisi khusus dalam tradisi Islam di Indonesia. Warisan intelektual dan spiritualnya masih dilestarikan, dan diperingati hingga saat ini oleh umat Islam di Jawa. Status keistimewaannya pasti tidak diraih tanpa alasan.
Kedudukan Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani
Sulit untuk menemukan umat Islam di Indonesia atau Turki yang belum mengenal atau mendengar tentang Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani. Berdasarkan 320 informan Indonesia dan 20 informan Turki mengenai status atau kedudukan Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani, sekitar 4,7% informan Indonesia dan 10% informan Turki menyatakan tidak mengetahuinya dan 0,6% informan Indonesia menyatakan tidak merinci status atau jabatannya, sedangkan sisanya menyebut status atau kedudukan tertentu dari Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani. Mayoritas umat muslim menyebutnya dengan Sultan al-Awliya (Sultan Para Suci), Wali Qutb (Kutub Para Suci), Pendiri Tarekat, Guru Tarekat, Imam Mujtahid (Pemimpin yang Berpikir), dan Ulama Islam.
Di Indonesia, pada kaitannya dengan praktik ibadah salat baik secara perorangan maupun berjamaah, mayoritas anggota Nahdlatul Ulama (NU) yang mewakili umat Islam tradisionalis melakukan tawasul dengan menyebut nama Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani. Hal ini bertolak belakang dengan Ormas Muhammadiyah, mewakili umat Islam modernis yang tidak melakukan tawasul. Di kalangan masyarakat Turki, sekitar 20% sering melakukan tawasul, sedangkan 40% menyatakan tidak mempraktikkannya. Sebanyak 12,8% informan di Indonesia termasuk seluruh yang berafiliasi dengan Muhammadiyah dan 20% informan Turki meyakini bahwa Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani tidak memiliki fadilah atau yang dapat membantu doa agar tersampaikan kepada Allah SWT. Sekitar 13,1% informan Indonesia dan 25% informan Turki menyatakan tidak memahami tawasul. Sisanya menyatakan penegasan keyakinan bahwa dengan tawasul dapat membantu mempercepat terkabulnya doa.
Secara singkat dapat diketahui bahwa Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani adalah tokoh yang dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia maupun Turki. Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani adalah tokoh Islam yang mendapat pengakuan dari umat Islam di Indonesia dan Turki, dengan latar belakang budaya agama Islam yang beragam. Bahkan di kalangan praktisi tasawuf, Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani adalah sosok yang diterima di berbagai tradisi tarekat. Wujud penghormatan terhadap Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani tidak hanya terlihat melalui pemberian gelar, pangkat, maupun doa tapi juga praktik ritual yang tercermin dalam wujud melakukan tawasul. Amalan tawasul dan manaqib dikaitkan dengan Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani masih menjadi persoalan yang belum sepenuhnya menutupi perbedaan pandangan di kalangan umat Islam. Ada yang setuju mengamalkannya namun ada pula yang justru menunjukkan pendapat sebaliknya.
Praktik Penghormatan
Baca Juga : Matahari Dakwah dari Tumbang Titi: Al-Hajj Muhammad Said
Penghormatan terhadap Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani tidak hanya dilakukan dalam satu bentuk artikulasi seperti penulisan hagiografi dan karya keturunannya, namun dapat juga dalam bentuk tradisi ritual baik individu maupun kelompok. Terdapat banyak bentuk ritual penghormatan Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Beberapa ritual tersebut di antaranya adalah membaca kitab Manaqib (hagiografi), melakukan tawasul dengan namanya dalam mengamalkan doa dan zikir, serta mengingat gelar dan doa setiap kali namanya dibaca/disebutkan.
Praktik penghormatan yang dilakukan umat Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa diartikulasikan dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya adalah 1) Pemberian gelar dan status terhormat; 2) memberikan pengakuan terhadap adanya karamah khusus yang menjadikannya sebagai ulama terkemuka; 3) melakukan pencantuman dan penyebutan nama dalam doa atau ritual; 4) mengakui bahwa sosoknya turut membantu dalam terkabulnya doa; 5) menulis manaqib atau hagiografi; 6) menciptakan ritual manaqiban dan tradisi pemujaan; 7) menggunakan manaqib sebagai praktik latihan spiritual atau \"mengakses\" mistik; 8) mewariskan kitab manaqib secara lebih luas melalui tradisi yang dilakukan guru kepada murid guna mengamalkan sekaligus menjamin keberkahan dari kitab tersebut berlanjut pada siapa pun yang menerima dan mengamalkannya.
Kekuatan Hagiografi
Hagiografi umumnya dikenal sebagai kategori yang mengacu pada sumber tekstual yang mewakili kehidupan orang-orang suci. Terdapat 18 hagiografi Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani yang beredar di Indonesia. Salah satu yang paling popular adalah “Lujjayn al-Dani fi Manaqib al-Qutb al-Rabbani al-Shaykh Abd al-Qabegdir al-Jaylani” yang ditulis oleh Al-Barjanzi. Ada pula hagiografi versi lokal sepeti Hikayat Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Naskah kisah Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani yang ditulis dalam bahasa pegon.
Sumber hagiogradi Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar. Pertama, referensi sehari-hari yakni sumber yang terkenal, mudah diperoleh, dan sering dijadikan pedoman. Misalnya adalah “Lujjayn al-Dani fi Manaqib al-Qutb al-Rabbani al-Shaykh Abd al-Qadir al-Jaylani” yang ditulis oleh Al-Barjanzi. Karya ini begitu popular sehingga menjadi sumber utama pada hampir seluruh karya hagiografi. Kedua adalah kategori vernakular yakni karya turunan sumber asli. Sumber ini di antaranya adalah manaqib versi lokal di Indonesia baik dalam bahasa Arab, Indonesia, Jawa, Sunda dan bahasa lainnya. Misalnya, “Sharh al-Jani al-Dani karya Syekh Nawawi al-Bantani.”
Hagiografi dalam fungsi sosialnya terbukti menyampaikan narasi-narasi alternatif yang mungkin dipertanyakan dari sudut pandang keilmuan sejarah, namun mampu memenuhi kebutuhan khalayaknya. Hal ini seperti yang disampaikan Foucault dikenal dengan dikontinuitas dan perpindahan. Gagasan perkembangan sejarah kontinum dalam konstruksi pengetahuan tidak bersifat universal. Relasi kepentingan dan kekuasaan beroperasi dalam produksi pengetahuan yang memungkinkan munculnya terobosan dari cara berpikir yang sudah ada sebelumnya. Kehadiran narasi baru bisa menjadi kritik yang sudah ada, namun tidak memenuhi harapan atau tidak sesuai struktur penalaran sebagian khalayak. Terakhir, produksi dan konsumsi hagiografi di kalangan umat Islam, seperti ditunjukkan oleh hagiografi Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani yang menegaskan bahwa pengetahuan selalu ditempatkan dalam konteks sejarah, budaya, dan sosial tertentu.
Lokalitas dan Globalitas Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani
Turki mirip dengan Indonesia yakni negara dengan mayoritas muslim. Namun, di Indonesia mayoritas penduduknya bermazhab Syafi’i, sedangkan Turki mayoritas bermazhab Hanafi. Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani sendiri adalah ulama bermazhab Hambali, meskipun memiliki reputasi sebagai ulama Syafi’i. Popularitas Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani di Turki sepertinya dikalahkan oleh beberapa tokoh tasawuf lainnya seperti Jalal al Din Rumi dan Baha’ al-Din Naqshabandi. Tarekat Qadiriyya sendiri kalah popular dibandingkan dengan Tarekat Bektashi, Tarekat Khalawati-Jarrahi, Tarekat Mawlawi, dan khususnya Tarekat Naqshabandiya yang bisa dikatakan sebagai tarekat sufi yang paling menonjol di dunia.
Kurangnya pengaruh Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani di Turki dibandingkan Indonesia bisa jadi disebabkan beberapa alasan. Pertama, adanya tokoh sufi besar yang berasal dari Turki khususnya Asia Tengah pada umunya dan mengembangkan ajaran tarekatnya di negara tersebut. Misalnya, tokoh terkenal seperti Rumi dari Tarekat Mawlawiyya dan Yusuf Emre dari Tarekat Bektashi. Kedua, jaringan Tarekat Qadiriyya di Turki tidak mengakar kuat di masyarakat jika dibandingkan dengan tarekat lain. Ketiga, tradisi keagamaan sufi yang popular di kalangan masyarakat seperti membaca manaqib al-Jilani, melakukan tawasul, dan istigosah belum banyak dilakukan. Keempat, adaptasi manaqib al-Jilani versi lokal di Turki belum masif. Kelima, komunitas agama lokal yang fokus pada pengalaman dan mempertahankan tradisi membaca manaqib al-Jilani tampaknya tidak berkembang di Turki. Keenam, Turki pernah mengalami represi politik dan permusuhan terhadap tradisi keagamaan yang dapat menghambat perkembangan ekspresi keagamaan masyarakat.
Jika dikaji lebih dalam, ada beberapa alasan mengapa Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani memiliki kedudukan yang begitu terhormat dalam struktur praktik keagamaan masyarakat Islam Indonesia, khususnya pulau Jawa. Pertama, maraknya praktik penghormatan terhadap ulama tidak lepas dari faktor pemahaman agama. Kedua, selain persoalan hukum yang dibolehkan oleh sebagian ulama ada pula keyakinan agama yang mendorong masyarakat untuk mengamalkan sebagai salah satu ritual yang diperlukan. Salah satunya adalah keyakinan bahwa tawasul dan ziarah makam akan membantu mempercepat dikabulkannya doa. Ketiga, ada komunitas dan jaringan yang menjaga praktik keagamaan agar tetap lestari dan mengakar. Keempat, keberadaan tokoh karismatik yang secara tradisional memiliki pengaruh dan praktik keagamaan yang menjadi cermin keteladanan bagi masyarakat.
Kesimpulan
Secara garis besar penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pelestarian tradisi penghormatan terhadap Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani memungkinkan karena adanya faktor-faktor pendukung, seperti peninggalan berupa kitab atau lembaga, tersebarnya dokumen atau manual yang memperingati tokoh tersebut, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat menghormati dan mengamalkan ajarannya, sehingga munculnya ritual atau kegiatan yang berhubungan dengan tokoh tersebut secara rutin. Berdasarkan faktor tersebut, penghormatan menjadi tradisi yang popular dan mengakar. Realitas tradisi penghormatan Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani di Indonesia dan Turki memberikan pengetahuan segar bahwa praktik pemahaman dan pengalaman keagamaan di kalangan umat Islam terus berkembang. Pada tradisi, dapat ditemukan aspek dinamis dan statis dalam kehidupan umat beragama. Pada sejarah, penggambaran ulama/tokoh agama juga dapat mengungkapkan variasi yang mungkin tidak selalu sama dengan fakta sebenarnya.