(Sumber : Nur Syam Centre)

Faktor Pendorong Takwa (1)

Daras Akhlak

Dengan mengharap rida Allah SWT dan ilmu yang bermanfaat-berkah, mari sejenak membaca al-Fatihah untuk penulis kitab Taisir al-Khalaq, al-Syekh Hafidz Hasan al-Mas‘udi, yang sedang kita kaji bersama ini. Untuk beliau, al-Fatihah.

  

Pekan lalu, al-Syekh Hafidz telah menjelaskan kita tentang definisi takwa dan keutamaannya. Selanjutnya, pada kesempatan kali ini, beliau menjelaskan beberapa faktor yang mendorong seseorang agar bisa senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Beliau dawuh:

  

Adapun sebab-sebab takwa itu banyak. Di antaranya yaitu, hendaknya seorang manusia memperhatikan (dengan penuh kesadaran) bahwa ia adalah seorang hamba yang hina dan bahwa Tuhan Pemeliharanya adalah Maha Kuat lagi Maha Perkasa/Mulia. Tidak sepatutnya yang hina durhaka kepada Yang Maha Mulia, karena sesungguhnya “ubun-ubunnya” berada dalam genggaman/kekuasaan-Nya.

  

Sampai di sini, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi terkait faktor pertama pendorong takwa yang beliau jelaskan di atas. Pertama, pentingnya menanamkan kesadaran dalam diri seseorang bahwa ia adalah seorang hamba yang hina. Dalam konteks ini, kita perlu merenungkan firnan Allah SWT dalam surah al-Mursalat [77]: 20-24 yang kurang lebih maknanya sebagai berikut:

  

Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang lemah? Lalu, Kami meletakkannya dalam tempat yang kukuh sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan, maka Kami-lah sebaik-baik Penentu. Kecelakaan pada hari itu bagi para pengingkar.

  

M. Quraish Shihab, mufasir nusantara mutakhir dalam Tafsir al-Mishbah-nya menjelaskan bahwa ayat-ayat di atas mengingatkan tentang kelemahan manusia dan bagaimana makhluk ini benar-benar berada dalam kendali-Nya sejak awal hingga akhir hayatnya.

  

Kedua, pentingnya menyadari bahwa “ubun-ubunnya” berada dalam genggaman/kekuasaan Allah SWT. Untuk mendekatkan pemahaman terkait hal ini, marilah kita simak ungkapan Nabi Hud AS kepada kaumnya yang diabadikan dalam surah Hud [11]: 56, yang kurang lebih maknanya berikut ini:

  

Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak satu pun makhluk bergerak yang bernyawa melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya). Sungguh, Tuhanku di jalan yang lurus (adil).


Baca Juga : Kembali Kepada Fitrah

  

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaili, bahwa yang dimaksud dengan “melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya” pada ayat di atas adalah melainkan Dia-lah yang memilikinya serta berkuasa atasnya. Bahwa Dia memalingkannya kepada apa yang Dia kehendaki. Maka, tidak ada sedikit pun kemanfaatan dan kemudharatan kecuali dengan seizin-Nya. Demikian lah makna yang terkandung dari sebuah permisalan (tamtsil), “memegang ubun-ubun” (al-akhdzu bi al-nawashi). Jika ditanya, “Mengapa yang disebutkan adalah ubun-ubun, bukan bagian anggota tubuh yang lain?”, maka Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, “Karena orang yang ubun-ubunnya dipegang, ia berada dalam kehinaan yang sangat (ghayah al-dzull).”

  

Ketiga, sebagai kelanjutan dari dua poin sebelumnya, terdapat sebuah doa ma’tsur dari Rasulullah SAW yang bisa kita renungkan, lebih-lebih kita amalkan. Doa itu mengandung unsur pengakuan diri sebagai seorang hamba dan bahwa “ubun-ubunnya” senantiasa berada dalam kekuasaan-Nya. Bila diterjemahkan, kurang lebih sebagai berikut:

  

Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, putra dari hamba-Mu, dalam genggaman-Mu, ubun-ubunku dalam kekuasaan-Mu, keputusan-Mu terhadapku telah terlaksana, apa yang Engkau tetapkan untukku adalah sesuatu yang adil. Aku memohon kepada-Mu dengan (berkat) seluruh nama milik-Mu, yang Engkau sebut untuk “diri”-Mu, atau Engkau turunkan ke dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkakn kepada salah seorang makhluk-Mu, atau Engkau pilih dalam ‘ilm al-ghaib di sisi-Mu; semoga Engkau menjadikan al-Qur’an sebagai cahaya dadaku, penyemi hatiku, penyingkap kesedihanku, dan penghilang kesusahanku. (HR. Ibnu al-Sinni).

  

Demikian kajian kitab Taisir al-Khalaq pada kesempatan kali ini. Semoga apa yang telah kita pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan berkah. Semoga bisa kita lanjutkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya, bi idznillaah, wa shallaahu ‘ala sayyidina Muhammad al-Mushthafa.

  

Referensi:

  

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2017), Vol. 14, 605.

  

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir: fi al-‘Aqidah wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), Vol. 6, 404.

  

Muhammad ‘Ali bin Muhammad ‘Allan al-Bakri, al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), Vol. 4, 10-11.