(Sumber : Nursyamcentre.com)

Takwa: Makna dan Keutamannya

Daras Akhlak

Oleh: Khobirul Amru

(Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya) 

  

Sahabat semuanya, dengan mengharap rida Allah SWT dan ilmu yang bermanfaat-berkah, mari sejenak membaca Surah al-Fatihah. Kita hadiahkan kepada penulis Kitab Taisir al-Khalaq yang sedang kita kaji bersama, Syekh Hafidz Hasan al-Mas‘udiy. Untuk beliau, al-Fatihah.

  

Definisi Takwa

  

“Takwa” yang menjadi tema pembahasan kita kali ini, merupakan perintah Allah SWT yang cukup sering kita dengar. Sekurang-kurangnya, saat khatib menyampaikan khutbahnya di hari Jumat. Saking pentingnya, sampai-sampai di dalam Alquran pun sering kita temukan ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk senantiasa bertakwa, baik yang beredaksi insya’ (kalimat perintah) maupun khabar (berita). Salah satu di antaranya adalah surah Ali Imran [3]: 102, yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut:

   

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.

  

Lantas sebenarnya,  apa yang dimaksud dengan takwa? Dari sini, Syekh al-Mas‘udiy menjelaskan: Ia (takwa) adalah melaksanakan perintah-perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-larangan-Nya, baik secara batin maupun lahir.

  

Setidaknya, ada dua hal menarik yang penting untuk kita pahami bersama dari kalimat terakhir beliau di atas, “baik secara batin maupun lahir”. Pertama, bahwa dalam praktiknya, melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, tidak cukup hanya melakukan atau meninggalkan sesuatu yang bersifat lahir saja, pun demikian sebaliknya. Karena baik lahir maupun batin, keduanya sama-sama penting. Sehubungan dengan hal ini, surah al-Baqarah [2]: 222, dinilai oleh sementara ulama sebagai “bukti” pentingnya memperhatikan hal-hal, baik yang bersifat batin maupun lahir. Dalam konteks ayat tersebut, baik kotoran yang bersifat maknawi (perbutan-perbuatan dosa) maupun indrawi (kotoran-kotoran).

  


Baca Juga : Fasha Umh Rizky: Kajian Netlitik Untuk Jaringan Dakwah

Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Surah al-Baqarah [2]: 222)

  

Kedua, bahwa bertakwa secara batin merupakan perkara yang sepatutnya kita dahulukan/pentingkan daripada secara lahir. Hal ini dipahami dari penjelasan Syekh al-Mas‘udiy di atas, yang mendahulukan term batin daripada lahir. Redaksi aslinya, “Sirran wa ‘Alaaniyatan”. Namun sekali lagi, ini bukan berarti dimensi lahir/jasmani boleh kita tinggalkan atau abaikan begitu saja. Hanya saja, pendahuluan term batin/sir yang beliau lakukan tersebut, menjadi semacam “pengingat” bagi kita semua. Bahwa jangan sampai kita terlalu terlena dengan keindahan jasmani yang mengantarkan pada pengabaian keindahan rohani. Terlalu sibuk memperelok rupa, sampai lupa membersihkan jiwa.

  

Selanjutnya, Syekh al-Mas‘udiy menjelaskan: Maka, takwa itu tidak (bisa) sempurna kecuali dengan meninggalkan segala hal yang tercela/hina dan menghiasi diri dengan segala hal (sifat) yang utama (terpuji). 

  

Dengan kata lain, kesempurnaan takwa itu bisa dicapai melalui 2 tingkah laku:

1. Meninggalkan segala hal yang tercela/hina.

2. Menghiasi diri dengan segala sifat yang utama/terpuji.

  

Tentu, kedua tingkah laku tersebut, mengacu pada semua hal, baik yang bersifat batin maupun lahir. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh beliau sebelumnya. Namun, sebagai catatan, untuk mengetahui dengan benar, mana hal yang hina-mana hal yang mulia, kita perlu meminta penjelasan lebih lanjut kepada para ulama, guru-guru yang ‘alim-‘amil di sekitar kita. Bukankah sering kita lihat, beberapa orang menganggap bahwa apa yang dia lakukan adalah sesuatu yang mulia, padahal dipandang sebaliknya oleh para ulama? Di sini lah letak pentingnya ilmu dan guru dalam beramal, agar kebajikan yang kita lakukan tidak berujung sia-sia belaka. Na‘udzubillaah.

  

Keutamaan Takwa

  

Setelah menjelaskan kesempurnaan takwa di atas, Syekh Hafidz al-Mas‘udiy menjelaskan: Maka, takwa adalah sebuah jalan, yang barang siapa menempuhnya, niscaya ia akan memperoleh petunjuk (hidayah); dan tali yang sangat kuat, yang barang siapa berpegang teguh padanya, niscaya ia akan selamat.

  

Di sini lah letak keutamaan takwa. Ia menjanjikan keselamatan dan hidayah bagi siapa saja yang benar-benar menempuh dan berpegang teguh padanya. Menariknya, istilah “tali yang sangat kuat” (al-‘Urwah al-Wutsqa) yang digunakan oleh beliau di atas, dapat kita temukan di dalam al-Qur’an, surah al-Baqarah [2]: 256, yang kurang lebih terjemahannya adalah sebagai berikut:

  

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat (al-‘Urwah al-Wutsqa) yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

  

Demikian pembahasan tentang takwa pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat-berkah, dan bisa kita lanjutkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya, bi Idznillaah. Wa Shallallaahu ‘ala Sayyidina Muhammad al-Musthafa.