(Sumber : LPM neraca)

Brain Rot: Telaah QS Al-Hasyr Ayat 19

Daras Tafsir

Oleh: M. Sa'ad Alfanny

  

Maha Suci Dzat yang memberikan akal untuk berpikir. Istilah Brain Rot belakangan ini sering muncul dalam diskusi terkait kesehatan mental di era digital. Konsep ini menggambarkan suatu keadaan di mana kapasitas berpikir seseorang mengalami stagnasi akibat dominasi paparan konten-konten ringan dan hiburan instan yang minim nilai substansial. Aktivitas seperti menggulir media sosial selama berjam-jam, menonton tayangan secara maraton tanpa kendali, serta menurunnya produktivitas harian merupakan wujud nyata dari gejala ini. Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan gangguan kognitif dan emosional, tetapi juga mencerminkan degradasi spiritual. Dalam konteks inilah, Al-Qur\'an memberikan peringatan yang relevan melalui QS. Al-Hasyr ayat 19, yang menyoroti dampak persepsi terhadap kesadaran diri.

  

\"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.\"

  

Dalam tafsir Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan karya Syekh Muhammad Amin al-Harari, ayat ini dijelaskan sebagai peringatan bagi mereka yang lalai dari zikir dan kesadaran ruhani. Menurut beliau, melupakan Allah adalah awal dari tercapainya kesadaran diri. Ketika hubungan seorang hamba dengan Tuhannya terputus, maka ia akan kehilangan arah hidup, jati diri, dan tujuan penciptaannya.

  

Syekh Muhammad Amin al-Harari, dalam Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan, memberikan penafsiran terhadap frase Fa Ansaahum Anfusahum dengan pendekatan teologis yang menyoroti konsekuensi spiritual dari kelalaian yang berulang. Menurut beliau, frasa ini mewakili bentuk ganjaran Ilahi yang tidak hanya bersifat lahiriah, melainkan menyentuh inti kesadaran manusia kehilangan kemampuan mengenali dan memahami jati diri. Dalam perspektif ini, lupa terhadap diri tidak hanya dimaknai sebagai kehilangan arah hidup atau identitas eksistensial, tetapi juga ketumpulan dalam membedakan nilai-nilai antara kebaikan dan keburukan, antara hal yang berguna dan yang sia-sia, bahkan antara realitas hakiki dan semu.

  

Jika dikontekstualisasikan dengan fenomena kontemporer seperti pembusukan otak, maka ayat tersebut mencerminkan kondisi keterasingan manusia dari fitrahnya. Individu yang terjerumus dalam pola konsumsi konten digital tanpa kesadaran cenderung menjauh dari potensi ruhani dan intelektual yang seharusnya dikembangkan. Keasyikan dalam hal-hal duniawi yang bersifat repetitif dan dangkal bukan hanya menghambat pertumbuhan diri, tetapi juga memperdalam keterputusan dari tujuan penciptaan yang sejati. Proses ini bersifat progresif, di mana kelalaian yang semakin besar, semakin jauh pula jarak antara manusia dan kesadaran pusatnya.

  

Lebih lanjut lagi, dalam Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan, Syekh al-Harari menekankan peran dzikir sebagai instrumen penting dalam menjaga dan memulihkan kesadaran spiritual. Dzikir tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ibadah lisan, tetapi juga sebagai mekanisme internal yang menyucikan hati dan menjelaskan orientasi kehidupan. Ketika hati dipenuhi dengan ingatan kepada Allah, kejernihan akal pun mengikuti, dan jiwa diarahkan pada tujuan yang benar. Sejalan dengan prinsip dasar Islam yang menekankan pentingnya taqwa sebagai kesadaran moral dan spiritual yang terus hidup, serta tafakkur sebagai proses reflektif yang menghidupkan dimensi intelektual dan ruhani seorang hamba.

  

Solusi dari penyakit busuk otak bukan sekadar “detoks digital”, tetapi kembali mengisi hati dengan makna. Membaca Al-Qur\'an, memikirkan tafsir seperti karya Syekh al-Harari, dan memperbanyak aktivitas yang memperkuat ruhani akan membantu memperjelas arah hidup. Ini adalah bentuk perjuangan mujahadah melawan ketidakadilan diri.

  

Sebagai penutup, QS. Al-Hasyr:19 tidak hanya menjadi teguran keras bagi orang-orang fasik, tapi juga panggilan sadar bagi siapa pun yang mulai kehilangan fokus dalam hidup. Kerusakan otak bukan hanya fenomena psikologis, tapi juga refleksi dari lemahnya spiritual. Dengan memahami tafsir yang mendalam seperti Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan, kita diberi kunci untuk kembali mengenal diri, Tuhan, dan makna hidup yang sesungguhnya. Semoga Allah senantiasa menjaga nalar berpikir kita, hamba.