(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Ikhtiar Untuk Kebaikan

Khazanah

Ikhtiar adalah serapan dalam Bahasa Indonesia yang semula merupakan kata dalam Bahasa Arab. Artinya adalah memilih. Di dalam Bahasa Indonesia, kata ikhtiar sering dikaitkan dengan berusaha atau mengusahakan sesuatu berdasarkan atas pilihan yang dianggap penting atau mendasar. Makanya sering didengar, misalnya ungkapan: “kita sudah berikhtiyar dengan sungguh-sungguh”.  Di  sini kata ikhtiar dimaknai dengan arti  mengusahakan atau berusaha, mengupayakan atau berupaya.

  

Di dalam Bahasa Indonesia, kata ikhtiar sudah sangat popular. Nyaris tidak diketahui bahwa kata ini sesungguhnya merupakan kata serapan dari Bahasa Arab, sebab sudah sangat lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia. Kata ikhtiar diartikan sebagai usaha untuk melakukan sesuatu, terutama untuk hal-hal yang terkait dengan kebaikan.  Ikhtiar acap kali dikaitkan dengan takdir. Jika takdir adalah ketentuan Tuhan yang bersifat azali, maka ikhtiar merupakan upaya untuk melakukan sesuatu yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Orang sering kali menyatakan jika usaha atau ikhtiar sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh tetapi mengalami kegagalan, maka yang terakhir akan menyatakan sudah takdirnya. 

  

Manusia tentu tidak tahu bagaimanakah takdir yang akan menimpanya atau yang sudah menjadi ketentuannya. Manusia sama sekali tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi, bahkan manusia tidak tahu apa yang berada di balik tembok, yang dia tidak tahu sebelumnya. Artinya, bahwa akal dan segenap perangkatnya tidak bisa mengetahui tentang ketentuan Tuhan atas dirinya. Hanya manusia-manusia khusus saja yang diberikan kemampuan untuk menyingkap ketentuan itu, setelah yang bersangkutan melakukan berbagai macam upaya untuk memperolehnya. Di dalam konsepsi Islam disebut melakukan riyadhah atau  latihan diri dengan sungguh-sungguh untuk penyempurnaan diri melalui zikir atau wirid yang khusus.

  

Takdir memang menjadi bagian dari rukun iman, yaitu mempercayai tentang takdir Allah SWT atau ketentuan Allah SWT atas hambanya. Takdir sudah ditentukan tetapi manusia wajib berusaha atau berikhtiar agar mendapatkan yang terbaik di dalam kehidupan. Ada banyak teks suci yang menyatakan betapa pentingnya usaha atau ikhtiar. Meskipun Allah sudah menentukan akan takdirnya atas manusia, tetapi Allah tetap memberikan potensi untuk berusaha. Itulah sebabnya manusia wajib menjemput takdirnya dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh. 

  

Ada ketentuan yang memang bisa diraih dengan upaya atau ikhtiar dan ada juga yang memang diberikan begitu saja oleh Allah. Contoh, agar manusia dapat memperoleh rejeki, misalnya makan, minum, tempat tinggal dan sebagainya, maka manusia harus berusaha dengan bekerja dan kemudian didapatkan rejeki yang terkait dengan upayanya tersebut. Namun demikian, ada juga yang memang Allah memberikan rejeki kepada seseorang dengan cara yang Allah sendiri yang tahu. Ada pemberian Allah yang bisa diduga dan ada yang tidak terduga. Ada pemberian yang di dalam konsepsi Islam disebut sebagai “ghairu la yahtasib”  atau yang tidak diperhitungkan.

  

Allah menyatakan, Al-Qur’an, Surat Ali Imran, ayat 165: “inna Allaha ‘ala kulli syai’in qadir” atau “sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. Artinya, bahwa tidak ada sesuatu yang berada di luar kekuasaan atau ketentuan Allah. Hidup, mati, bahagia atau sengsara, senyum atau menangis, kaya atau cukup dan sebagainya sudah ditakdirkannya. Namun demikian, Allah SWT memberikan peluang bagi manusia untuk mengusahakan akan ketentuannya. Misalnya, Allah memberikan gambaran bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Al-Qur’an, Surat Arra’du, ayat 11,  menyatakan: “inna Allaha la yughayyiru ma biqaumin, hatta yughayyiru ma bi anfusihim”, yang artinya: “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan  suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. Ayat ini memberikan gambaran bahwa manusia memiliki kemampuan dan kapasitas –sebagaimana diberikan oleh Allah untuk berusaha atau untuk mengubah nasibnya atau takdirnya. Allah memberikan potensi kepintaran kepada manusia, namun jika manusia tidak mengasah kepintarannya  tersebut melalui upaya pendidikan, maka potensi itu tentu tidak ada gunanya.  

  

Di dalam pernyataan umum diungkapkan: “man proposes God disposes”  atau “Manusia merencanakan dan Tuhan menentukan”. Di dalam kerangka ini, maka manusia memang diberikan oleh Tuhan yang berupa kemampuan dan kapasitas untuk membuat perencanaan dan usaha-usaha untuk melakukan perencanaan tersebut dengan sungguh-sungguh, namun demikian akhirnya keberhasilan atau kegagalan itu berada di tangan Allah SWT. Bukanlah berarti bahwa Tuhan memberikan ketentuan yang jelek kepada manusia, akan tetapi di dalam setiap usaha yang dilakukan manusia selalu ada dua dimensi: berhasil dan gagal. Jika berhasil maka berarti apa yang dilakukan itu sudah memenuhi semua standart keberhasilan, dan jika gagal maka berarti ada factor X yang menyebabkannya.

  

Untuk mencapai keberhasilan, maka manusia harus berusaha, sehingga setiap keberhasilan merupakan capaian. Jadi, keberhasilan bukanlah pemberian Allah kepada manusia tetapi merupakan  capaian manusia karena usaha yang dilakukannya. Jika manusia ingin berhasil maka syaratnya adalah berusaha, dan jika sudah berusaha maka berdoa agar hasilnya optimal dan bertawakkal kepada Allah SWTatas hasil  yang dicapainya itu.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.