(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Nyekar

Khazanah

Di antara umat Islam di dunia  yang sangat variative ekspresi keberagamaannya adalah masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat Islam Jawa. Variasi ekspressi keberagamaan ini tentu diakibatkan pertemuan antara budaya Nusantara atau khususnya budaya Jawa dengan ajaran Islam. Agama Islam memang datang ke Nusantara pada saat masyarakat Nusantara sudah memiliki kebudayaan yang sangat tinggi. Yaitu pada masa kekuasaan Majapahit yang pusat kekuasaannya di wilayah Trowulan Jawa Timur. 

  

Kerajaan Majapahit  mencapai puncak keemasannya pada waktu dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajahmada dengan  menguasai sepertiga wilayah dunia. Seluruh wilayah Nusantara yang meliputi daratan Asia Tenggara bahkan wilayah pedalaman Asia Selatan. Semua telah ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit dengan pasukan lautnya yang sangat luar biasa. Hanya saja wilayah Majapahit yang sangat luas tersebut akhirnya pelan-pelan runtuh karena konflik internal di dalam kerajaan antara para petinggi kerajaan Majapahit dan  kerajaan ini runtuh tahun 1478 M. Konflik internal dan lepasnya beberapa wilayah jajahan serta kondisi perekonomian dan kelemahan pengawasan pusat menyebabkan kerajaan ini tenggelam dengan prasasti sirna ilang kertaning bumi. 

  

Pada saat itulah Islam datang ke Nusantara khususnya Jawa melalui peran serta para da’i yang ahli tasawuf. Mereka melakukan dakwah dengan cara-cara yang khas, bukan dengan keinginan menjadikan masyarakat Jawa sebagai orang yang terasing dari budayanya, tetapi dakwah yang dilakukannya justru  untuk menjadikannya sebagai orang Jawa. Yaitu orang Jawa yang beragama Islam. Pola dakwah akomodatif  yang dilakukan para waliyullah inilah yang kemudian bisa mengislamkan masyarakat Jawa yang sebelumnya memeluk agama Hindu-Buddha.  Sunan Ampel atau Raden Rahmat menyebut sebagai Hangajawi atau menjadi Jawa.

  

Di antara yang menjadi legacy dari  waliyullah adalah ekspressi keberagamaan yang variative. Misalnya, tradisi-tradisi dalam upacara lingkaran hidup. Semua bentuk upacara lingkaran hidup tersebut di Jawa disebut sebagai slametan atau brokohan. Slamet berasal dari Bahasa Arab yang sudah diadaptasi di dalam Bahasa Jawa dan di dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai selamat. Sedangkan brokohan juga bahasa serapan dari Bahasa Arab baraka yang dijadikan Bahasa Jawa menjadi brokohan. Berasal dari barakah lalu di dalam ucapan Bahasa Jawa disebut brokohan. Kita berhutang budi pada Clifford Geertz yang telah mengantarkan  kata slametan menjadi khazanah kebahasaan akademis di tingkat internasional. 

  

Di antara upacara-upacara lingkaran hidup yang juga terus berlangsung hingga hari ini adalah upacara ritual nyekar yang dilakukan oleh umat Islam Nusantara, khususnya Jawa. Masyarakat Islam Jawa telah menjadikan upacara nyekar sebagai bagian tidak terpisahkan dari cara atau tradisi masyarakat Jawa untuk menghormat dan mencintai leluhurnya yang sudah meninggal. Nyekar merupakan istilah khusus dalam Bahasa Jawa, yang berasal dari kata sekar atau bunga atau kembang. Nyekar artinya menaruh bunga atau kembang ke makam atau kuburan leluhur yang sudah meninggal. 

  

Tradisi nyekar merupakan tradisi Nusantara yang sangat tua. Tidak diketahui semenjak kapan tradisi ini tumbuh dan berkembang, akan tetapi saya kira tradisi ini sudah ada di Nusantara semenjak masyarakat mengenal kehidupan alam gaib. Tradisi ini misalnya masih dijumpai  dalam penempatan upet atau campuran bunga dan dedaunan yang ditaruh di tempat-tempat yang dianggap suci atau mengandung kesucian. Misalnya batu, kayu atau benda-benda khusus seperti keris dan tempat-tempat yang dianggap suci. Di dalam Bahasa Jawa juga dikenal istilah tempat yang angker atau wingit. Suatu tempat yang tidak boleh melakukan tindakan yang bisa menyebabkan kemarahan makhluk gaib atau makhluk halus. Makhluk sejenis itu diyakini akan dapat memberikan keberkahan jika diberikan sesaji dan bisa menjadi malapetaka jika tidak diberi sesaji atau ada tindakan yang tidak menyenangkannya.

  

Tradisi nyekar yang semula mengandung keberhalaan, misalnya sebagai upacara penyembahan kepada makhluk halus, yang menempati tempat-tempat khusus,  lalu ketika walisongo menyebarkan Islam tidaklah dihapuskan sama sekali. Tradisi ziarah makam semula memang dilarang Nabi Muhammad SAW sebab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan niat atau kemusyrikan, sebab secara akidah umat Islam belum kuat. Namun demikian kemudian diperbolehkan dengan catatan bahwa ziarah makam tersebut tidak digunakan atau disalahgunakan untuk penyembahan kepada sesama makhluk atau perbuatan syirik.

  

Ketika tradisi ziarah ke makam ini bertemu dengan tradisi sesaji, maka jadilah tradisi Islam local, yaitu melaksanakan ziarah atau nyekar yang substansinya adalah mendoakan kepada leluhur yang sudah meninggal.   Para waliyullah melakukan adaptasi kreatif dengan cara yang sangat bijak, yaitu membiarkan wadahnya (sesaji) dan mengisinya dengan substansi baru (Islam). Maka kemudian jadilah tradisi nyekar yang sesungguhnya sudah menjadi tradisi Islam local. Tradisi ini yang kemudian menjadikan label Islam kolaboratif, yaitu tradisi Islam yang bertemu dengan tradisi local dalam cultural sphere (makam, sumur dan masjid) yang akhirnya membentuk suatu tindakan khas masyarakat Islam dalam wujud tradisi Islam khas masyarakat Jawa.

  

Tradisi seperti ini tentu tidak akan terjadi andaikan yang berdakwah di Nusantara atau khususnya Jawa bukan ahli tasawuf. Andaikan yang berdakwah di masa lalu itu adalah kaum pendakwah yang sedikit-sedikit menyatakan kafir, bidh’ah dan khurafat, maka di Indonesia tidak akan terhampar pemandangan indah menjadi umat Islam mayoritas. Jadi Allah SWT memang mengirimkan para pendakwah yang bisa berdamai dengan local wisdom, sehingga Islam yang moderat itu terjadi dengan indahnya.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.