(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Tahlilan: Tradisi Islam Lokal Berbasis Spiritualitas

Khazanah

Oleh: Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

  

Islam sesungguhnya universal, sebab tidak ada Islam di manapun yang tidak berasal dari sumber aslinya, yaitu Islam dari Arab Saudi. Islam merupakan ajaran yang memang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan kemudian disebarkan oleh para Sahabat, tabiin dan tabiit tabiin ke seluruh dunia, setelah mengalami fase penafsiran dari para ulamanya. Jadi dipastikan bahwa Islam yang sampai ke tangan kita adalah Islam universal yang sudah ditafsirkan para ahlinya dan kemudian disebarluaskan oleh para da’i di seantero dunia.

  

Pada saat disebarkan ke berbagai area tersebut, maka Islam dapat bersentuhan dengan budaya local dan berbagai tradisi yang sudah berkembang dalam waktu yang panjang, sehingga dipastikan akan terdapat proses dialogis yang tidak bisa dihindari. Islam yang benar-benar murni sebagaimana yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW kemudian berdialog dalam furu’iyahnya dan bukan pada ajaran fundamentalnya, sehingga di sana-sini kemudian melahirkan sisi parsialitasnya atau kekhususannya. Itulah sebabnya, bisa jadi ada praktek Islam yang bisa saja berbeda antara satu area dengan area lainnya.

  

Islam di Arab Saudi juga mengalami proses penafsirannya. Jika sekarang, maka yang dominan dan didukung oleh negara adalah Islam berdasarkan penafsiran para ulama Salafi Wahabi, yang tentu saja bisa berbeda end to end dengan penafsiran ulama lainnya di belahan bumi lainnya. Di Arab Saudi sekarang maka yang otoritatif sebagai penafsir Islam adalah Syekh Utsaimin, Syekh Abdullah bin Baz, Syekh Nashiruddin Albani dan lainnya, yang dianggap oleh para penganutnya sebagai Islam yang puristik, Islam yang asli sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, dan lainnya dianggap sebagai tidak atau kurang asli. Tetapi sebenarnya Islam dalam coraknya seperti itu juga hasil penafsiran para ulamanya. Dengan demikian, selayaknya di antara sesama umat Islam tidak saling jumawa bahwa penafsirannya yang paling benar dan lainnya salah.

  

Salah satu di antara model penafsiran Islam yang dianggap sebagai tradisi Islam yang menyimpang atau bidh’ah atau mengada-ada oleh kaum salafi adalah tradisi Tahlilan dan Yasinan pada masyarakat Indonesia. Tradisi ini adalah tradisi khas Islam Indonesia atau Islam Nusantara, yang bisa jadi juga ada di Malaysia, Brunei Darus Salam dan Thailand Selatan. Tradisi ini sudah menyejarah, artinya sudah dilakukan dalam waktu yang lama. Meskipun tidak diketahui semenjak kapan tradisi ini diselenggarakan, akan tetapi patut diduga bahwa tradisi ini merupakan tradisi yang dibakukan oleh para Waliyullah di Nusantara, seirama dengan perubahan tradisi slametan atau kendurian yang sudah lebih dulu ada di kerajaan-kerajaan di Nusantara. Perubahan tradisi slametan di dalam agama Hindu/Buddha ke dalam tradisi Islam sebenarnya diisi dengan bacaan tahlilan yang bernafaskan Islam.

  


Baca Juga : InteraksI dalam Diam, Polemik dan Batas-Batas yang Kabur

Selama sepekan saya mengamati terhadap tradisi tahlilan dan yasinan. Yaitu pada saat wafatnya Emak Hj. Mutmainnah di desa Kutogirang Ngoro Mojokerto. Di desa ini tradisi tahlilan dan yasinan untuk almarhum atau almarhumah sudah menjadi tradisi yang sangat kuat. Terbukti dari peserta yang hadir dalam jumlah ratusan. Lelaki dan perempuan pada hadir pada acara tahlilan dan yasinan selama tujuh hari berturut-turut. Jika di dalam acara tahlilan dan yasinan mereka cukup datang  tanpa membawa apapun, maka dalam takziyah maka mereka membawa bahan makanan dan minuman sebagai bagian dari membantu terhadap keluarga yang kesripahan atau yang kesusahan karena ditinggalkan salah satu anggota keluarganya.

  

Pada saat takziyah itulah para tetangga, kerabat, sahabat dan orang-orang yang mengenal keluarga almarhumah membawa barang-barang yang dianggap penting. Misalnya gula, beras, mie, jajan atau kue, dan lainnya. Bahan-bahan inilah yang kemudian dijadikan sebagai suguhan atau makanan kehormatan bagi para peserta tahlilan dan yasinan. Tanpa memerdulikan status sosial, maka kala ada kematian secara serentak masyarakat memberikan sumbangannya kepada keluarga si almarhum atau almarhumah.

  

Sebaliknya, tuan rumah tentu juga berkeinginan untuk menghormat kepada para peserta tahlilan dan yasinan. Makanya, juga terdapat makanan atau minuman yang  dihidangkan oleh keluarga almarhumah. Bisa berupa nasi, mie atau roti. Tidak ada ketentuan harus apa yang dihidangkan. Semuanya tergantung kepada keikhlasan tuan rumah. Sajian makanan sungguh bisa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Khusus pada malam ketujuh maka terdapat hidangan yang khusus. Ada tumpeng, makanan dan juga bingkisan yang disediakan oleh keluarga almarhumah. Ada ayam geprek, nasi dan roti serta sarung untuk lelaki dan jarit  untuk perempuan. Bukan sesuatu yang mahal, tetapi yang terjangkau oleh keluarga almarhumah. Jadi bukan sesuatu yang mengada-ada.

  

Mengamati terhadap upacara tahlilan dan yasinan di pedesaan, maka dapat dipahami hal-hal sebagai berikut: pertama, ada sebuah pertukaran yaitu tindakan saling memberi dan menerima. Keluarga almarhumah memberikan hidangan dan bingkisan, sementara para petakziyah memberikan donasi dalam bentuk innatura, dan pembaca tahlil dan yasin memberikan hadiah bacaan yasin, tahlil dan doa kepada almarhumah. Pertukaran seperti ini tidak bisa dihitung secara matematis, sebab hanya dapat dinilai secara spiritual.

  

Kedua, basis tindakan ini adalah adanya keyakinan di antara anggota masyarakat. Bagi keluarga almarhumah tentu sangat berharap bahwa hadiah bacaan Alqur’an, tahlil dan doa merupakan washilah agar jalan bagi almarhumah untuk menuju ke alam barzakh akan menjadi lapang dan menyenangkan. Sementara itu, bagi jamaah tahlil dan yasin adalah kewajiban sosial yang harus ditunaikan, sehingga kala ada di antara anggota keluarga jamaah yang meninggal juga akan memperoleh hal yang sama. Dibantu dengan doa, tahlil dan yasin untuk almarhum atau almarhumah adalah kebahagiaan bagi sebuah keluarga.

  

Ketiga, pertukaran dalam tradisi tahlil dan yasin merupakan pertukaran yang unik berbasis pada pemahaman ajaran agama. Oleh karena itu menjadi kurang relevan kala pertukaran ini hanya dinilai dari sisi materi semata. Misalnya adanya anggapan sebagai acara  pemborosan. Di dalam pertukaran ini terdapat “kebahagiaan” yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan oleh anggota keluarganya.

  

Dengan demikian, acara tahlilan atau yasinan dan doa tentu merupakan tradisi yang memiliki kekhasan, karena tradisi ini tidak hanya menyangkut persoalan duniawi akan tetapi juga persoalan ukhrawi. Makanya, tradisi ini akan tetap menjadi tradisi yang lestari selama keyakinan masyarakat masih ada dan institusi yang berbasis spiritual tersebut masih ada.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.