(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Toleransi Beragama di Era Indonesia Modern

Khazanah

Di dalam webinar yang diselenggarakan oleh Nur Syam Centre (NSC), 11/11/2021,  saya menyampaikan paparan tentang “Toleransi Beragama di Era Indonesia Modern”. Selain saya sebagai narasumber juga hadir Ustaz Saifuddin Umar, yang dikenal sebagai Abu Fida (Mantan pengikut ISIS), Dr. Mohammad Zakky (Pengasuh pesantren Mukmin Mandiri) dan dimoderatori oleh Dr. Imron Rosyadi (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UINSA). Hadir pada acara ini sebagai audience, Prof. Sumantho al Qurtubi dari Saudi Arabia, Dr. Hasbullah Toisuta (IAIN Ambon), Prof. Husniyatus Salamah Zainiyati (Dosen UINSA), Dr. Sunarto (Dosen UINSA), Dr. Nurhayati (Dosen UINSU) dan lainnya  yang tidak saya sebutkan satu persatu.

  

Toleransi adalah pemahaman, sikap dan perilaku  untuk saling menghormati, menghargai dan mengakui  hak dan kewajiban orang lain  berbasis pada relasi yang setara, seimbang untuk menciptakan kerukunan  dan keharmonisan. Pemahaman yang berbasis pada kenyataan bahwa ada orang lain, komunitas dan masyarakat lain yang berbeda dengan dirinya. Menghargai dan menghormati bahwa terdapat suku, agama, ras dan antar golongan yang berbeda satu dengan lainnya. Sikap untuk menghargai dan menghormati terhadap perbedaan yang sesungguhnya  berkeanekaragaman atau plural dan multikultural. 

  

Kesediaan seseorang untuk menerima hak-hak sipil individu atau kelompok agama lain yang tidak disukai atau tidak disetujui. Indikatornya adalah, pertama,  menghargai pemahaman, sikap  atau perilaku yang tidak disetujui atau tidak disukai. Kedua, berhubungan dengan pihak lain yang berbeda agama sebagai subyek dengan pemahaman, sikap atau perilaku toleran. Ketiga, obyek toleransi agama secara lebih luas adalah hak-hak sipil pihak  atau kelompok agama lain dalam konteks kehidupan bernegara. Toleransi itu meliputi: pemahaman, sikap dan perilaku menghargai dan menghormati perbedaan dalam perbedaan keyakinan dalam agama. Lalu, pemahaman, sikap dan perilaku dalam berhubungan antar manusia yang berbeda paham, sikap dan perilaku dalam beragama. Pemahaman, sikap dan prilaku yang mengutamakan bangsa dan negara dibandingkan dengan aspek-aspek kehidupan lainnya.

  

Manusia harus hidup dalam kebersamaan. Tidak ada manusia yang hidup sendirian di dunia ini. Manusia memerlukan orang lain untuk hidup di dalam kehidupan. Tidak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya dengan dirinya sendiri. Manusia memerlukan bantuan orang lain mulai dari kelahiran  sampai kematian. Mulai dari mandi sampai makan. Mulai dari bangun sampai tidur lagi. Manusia disebut sebagai homo socius, karena manusia hanya bisa hidup dalam lingkungan manusia lain selama kehidupannya. Tuhan menciptakan manusia dalam perbedaan warna kulit, tinggi badan, bentuk fisik, dan juga sifat-sifat yang melaziminya. Ada yang disebut sebagai Ras negroid, Kaukasoid dan mongoloid, yang bervariasi dalam banyak hal. 

  

Penelitian PPIM melalui kajian Convey Indonesia bahwa dari 92 PT (2866 Mahasiswa), 673 Dosen (87 PT) dan 79 PT dinyatakan bahwa terdapat 24,89% mahasiswa memiliki sikap toleransi yang rendah dan 5,27% memiliki toleransi beragama yang sangat rendah. Jadi ada sebanyak 30,16% mahasiswa Indonesia yang memiliki toleransi rendah dan sangat rendah. Kemudian 69,83% memiliki toleransi beragama yang tinggi dan  20% memiliki toleransi beragama yang sangat tinggi. Sementara itu sebanyak 11,22% mahasiswa Indonesia memiliki perilaku toleransi yang rendah atau 10,8% rendah dan 1,14% sangat rendah. Di antara variabel yang dikaji adalah  nilai demokratis, keadilan, nondiskriminatif dan kemanusiaan. Bagaimana pandangan mereka tentang nilai demokrasi, bagaimana pandangan mereka tentang keadilan, bagaimana pandangan mereka tentang perilaku non-diskriminatif dan bagaimana pandangan mereka tentang nilai kemanusiaan.

  

Indeks kerukunan umat beragama dirumuskan atas tiga indikator besar, yaitu toleransi beragama, kesetaraan beragama dan kerja sama dalam beragama. Toleransi berindikator: memberi kesempatan berinteraksi pada orang yang berbeda, menciptakan kenyamanan, tidak menggunakan kekuatan (memaksa terhadap kepercayaan dan prakltik menyimpang, penghargaan terhadap keragaman budaya, mengenali sikap tidak toleran. Kesetaraan: bahwa semua orang memiliki hak dan kewajiban yang setara. tidak ada diskriminasi, kesempatan yang sama (kebebasan beribadah dan menjaga hak orang lain) dan memberikan perlindungan kepada yang lain. Kerja sama: bahwa sesama manusia harus saling menolong, saling memberi dan menerima, saling terlibat dalam usaha-usaha kebaikan, terlibat dalam amal usaha untuk kemanusiaan. Indeks Kerukunan Umat Beragama  tahun 2019 sebesar 73,83 tergolong tinggi dan naik sebesar 2,93 dibanding tahun 2018 sebesar 70,90.  Indeks Kerukunan Umat Beragama  tahun 2020 sebesar 67,64  menurun dibandingkan tahun 2019 sebesar 73,83.  

  

Berdasarkan Setara Institute, bahwa tahun 2020 merupakan tahun terbanyak terjadinya tindakan intoleransi, antara lain: 32 kasus terkait laporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah. Lalu 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan  5 kasus kekerasan. Sebarannya: Jawa Barat (39 kasus), Jawa Timur (23 kasus), DKI (13 kasus), Jawa Tengah (12 kasus). Terkait dengan masih banyak kasus intoleransi tersebut, maka Jawa Barat, Jawa Timur, DKI, dan Jawa Tengah selalu berada di area yang dinyatakan belum memadai kerukunan beragamanya. 

  

Hal yang paling toleran: Kanada, Albania, Luxemburg, Uruguay, Selandia Baru, Irlandia, Kosta Rika. yang tidak toleran: Yaman, Sudan, Mesir, Syria, Haiti, Sngola, Yordania, Algeria, Mauritania dan Afghanistan. Kota toleran (2019): Singkawang, Salatiga, Pematang Siantar, Manado, Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, Binjai dan Surabaya.  Kota tidak toleran (2019): Sabang, Medan, Makassar, Bogor, Padang, Cilegon, Jakarta, Banda Aceh, Tanjung Balai dan Depok.

   

Menurut Survei yang dilakukan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan bahwa Indeks Kesalehan sosial (IKS) masyarakat Indonesia berada pada angka 83,92%, artinya IKS Indonesia sangat baik. Berdasarkan variabel habitus, pengamalan ritual agama, pengetahuan agama dan perogram kementerian agama (Kemenag), maka didapatkan gambaran tersebut. Indeks IKS ini tentu menggembirakan di tengah semakin merebaknya “pertarungan” otoritas agama melalui media sosial. Dewasa ini sedang terjadi pertarungan yang “sengit” melalui media sosial tentang pemahaman dan pengamalan beragama. Data ini berarti bahwa masyarakat Indonesia masih tetap menghargai tentang pentingnya hidup bersama di tengah masyarakat yang plural dan multikultural.

  

Jika umat Islam terus ribut soal-soal yang furuiyah, maka umat Islam tidak akan pernah maju. Jika umat Islam terus “bertempur” dalam soal-soal yang berada dalam kawasan tafsir agama, maka umat Islam tidak akan pernah dewasa dalam menghadapi perubahan zaman yang luar biasa. Indonesia sebenarnya diharapkan dapat menjadi contoh negara besar dengan kerukunan yang sangat terjaga. Jika kita terus ribut soal agama, maka harapan itu akan musnah. Bangsa lain sudah berupaya menghadapi era Volatility (perubahan cepat, tidak stabil atau penuh gejolak), Uncertainty (ketidakmenentuan, masa depan tidak bisa diprediksi), Complexity (kompleksitas, saling terkait, sistemik dan masalah yang serba rumit) dan  Ambiguity (ambiguitas atau membingungkan, tidak jelas dan banyak tafsir). Selain juga sudah menghadapi Era Revolusi Industri 4.0, yang serba digital, teknologi informasi dan artifisal inteligen. Sementara kita masih ribut soal ritual ibadah, yang ini salah, yang itu tidak benar, yang seperti ini tidak ada contohnya dan seterusnya. 

  

Marilah kita toleran terhadap paham dan perilaku beragama orang lain dan tidak mengumbar berbagai konten yang saling menyalahkan. Gunakan media sosial sebagai lahan untuk memahami agama dengan cara kita masing-masing. Hargai dan hormati paham dan perilaku agama sesuai dengan hakikat beragama yang moderat. Hakikat moderasi beragama bukan untuk mengerdilkan ajaran agama, tetapi agar kita bisa saling menenggang rasa atas paham dan prilaku beragama orang lain. Marilah kita kembangkan beragama yang arif, sebagaimana keberagamaan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Agama untuk kerahmatan umat manusia dan bukan kerahmatan untuk diri kita sendiri.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.