(Sumber : CNBC)

Indonesia 2025: Masa Transisi untuk Indonesia Emas (Bagian Kedua)

Opini

Salah satu potensi untuk meraih tujuan pembangunan berkelanjutan adalah pengembangan ekonomi yang stabil, stabilitas politik dan keamanan. Bahkan jika dilacak secara mendalam, maka keamanan menjadi syarat mutlak bagi pengembangan ekonomi dan bidang lain dalam tujuan pembangunan berkelanjutan. Pilpres, pileg dan pilkada yang relative damai tentu menjadi indicator bahwa pembangunan berkelanjutan akan dapat dilaksanakan secara memadai.

  

Di dalam paradigma stabilitas negara, maka variable politik menjadi sangat penting untuk menjadi pengungkit atas variable-variabel khususnya ekonomi untuk berkembang. Tanpa stabilitas negara yang memadai, maka kehidupan dalam dimensi social, ekonomi,  SDM, pemanfaatan sumber daya alam dan  kehidupan beragama akan mengikuti variable stabilitas negara. Jika terjadi konflik social, maka memerlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikannya. Kerusakan fisik memerlukan waktu selama 30 tahun, sementara itu permasalahan akibat perang dalam dimensi pskhologis membutuhkan waktu yang lebih lama. Bisa ratusan tahun.

  

Berdasarkan Survey yang dilakukan oleh Alvara Research Center, 2024, bahwa Menurut IMF dan World Bank bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan 5,1% pada tahun 2025. Sementara Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia  akan berada pada rentang  4,8%-5,6%. Konsumsi rumah tangga akan tetap menjadi penyangga ekonomi nasional sebesar 50% dari PDB Indonesia. Ada beberapa kunci yang dapat mendorong terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025 adalah: kebijakan hilirisasi yang terkait dengan nikel, tembaga, dan bauksit dalam bidang manufaktur, lalu ekonomi digital melalui penetrasi internet kira-kira 80 persen populasi, di mana ekonomi digital akan tumbuh sebesar Rp2.000 trilyun meliputi e-commerce, fintech dan edutech, kemudian pariwisata  yang diprediksi akan menarik sebanyak 17-19 juta wisatawan. Namun demikian yang menjadi tantangan pertumbuhan ekonomi adalah menumbuhkan kembali daya beli masyarakat melalui berbagai skema kebijakan.

  

Pemerintah melalui BPS sudah menetapkan kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi, di antaranya adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Indeks Modal Manusia, Nilai Tukar Petani, Nilai Tukar Nelayan, dan Menurunkan Pengangguran Terbuka, Rasio Gini, Tingkat Kemiskinan, Tingkat Kemiskinan Ekstrim dan Intensitas Emisi Gas Rumah Kaca.

  

Berdasarkan prospektif BPS dalam target pencapaian pembangunan, maka diketahui sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi 5,3-5,6 %, tingkat pengangguran terbuka 4,5-5,0%, tingkat kemiskinan 7,0-8,0%, tingkat kemiskinan ekstrim 0%, Rasio Gini 0,379-0,382, indeks modal manusia 0,56, penurunan intensitas GRK 38,6%, nilai tukar nelayan 105-108, nilai tukar petani 115-120. Di dalam kerangka untuk menyukseskan capaian ini, maka pemerintah harus melakukan konsolidasi dan sinergi dengan semua stake holder seperti sector swasta, dan kekuatan sipil  untuk mendorong terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

  

Berdasarkan survey Alvara, bahwa GenZ yang jumlahnya relative sangat besar, sesungguhnya memiliki potensi besar dalam pertumbuhan ekonomi. GenZ perlu ditata dengan baik, sebab di satu sisi menjadi potensi pertumbuhan ekonomi dan disisi lain bisa menjadi tantangan dan ancaman pertumbuhan ekonomi. GenZ sendiri sebenarnya juga ada yang pesimis menghadapi dunia kerja di masa depan. Ada kegamangan menghadapi masa depan, karena keterbatasan peluang kerja atau sulitnya untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. 

  

Ada beberapa ciri yang melazimi atas Generasi milenial, GenZ dan GenX. Di antara ciri tersebut adalah Generasi Milenial itu perduli lingkungan, patuh pada norma dan tidak mudah termakan hoaks. Sedangkan GenZ itu berciri khas adaptif terhadap teknologi, mudah berpindah pekerjaan dan susah diajak komunikasi, sedangkan GenX itu susah menerima hal baru. Berdasarkan survey Alvara bahwa GenZ memiliki sisi positif karena sangat adaptif terhadap teknologi tetapi mudah pindah pekerjaan dan susah diajak komunikasi. Sedangkan generasi milenial dianggap sebagai generasi yang menyukai tantangan dan peduli lingkungan, dan sisi lain GenX merupakan generasi  yang susah menerima perubahan. Ada yang menarik dari survey Alvara bahwa stigma antar generasi di ruang public akan dapat membawa ketegangan antar generasi di berbagai sector kehidupan seperti perusahaan, institusi social maupun lingkungan tempat tinggal. 

  

Memperhatikan terhadap capaian pemerintah pada tahun 2025, maka kiranya yang relevan secara konseptual adalah penggunaan konsep Pembangunan Ekonomi Hijau atau Green Economic Development Concept (UNEP 2008). Berbasis atas konsep tersebut, maka yang dilakukan adalah dengan menekan atas emisi GRK, penggunaan sumber daya alam berkelanjutan, pengembangan energi terbarukan dan pengembangan industry hijau. 

  

Di dalam praktiknya, maka yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan merumuskan kebijakan dan regulasi yang mendukung ekonomi hijau, melibatkan kesadaran masyarakat di dalam kerangka mendukung terhadap kebijakan pemerintah, mengembangkan teknologi yang relevan dengan pengembangan ekonomi hijau, mengembangkan infrastruktur yang dapat mendorong atas keberhasilan pengembangan ekonomi hijau dan yang tidak kalah penting adalah mengembangkan jejaring nasional dan internasional untuk menghadapi peluang, tantangan dan kendala global yang dapat menjadi intervening variable dalam pengembangan ekonomi.

  

Upaya ini tentu perlu dukungan dari semua lapisan masyarakat, organisasi social kemasyarakat, birokrasi, dunia usaha dan dunia industry, sebab tanpa dukungan dari semua lapisan dimaksud, maka capaian sebagaimana diancangkan oleh BPS hanya akan menjadi macam di atas kertas dan bukan realitas empiris yang nyata.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.