Kebijakan Program Integrasi Ilmu Pada Pendidikan Menengah
OpiniSebagai individu yang terlibat di dalam dunia Pendidikan dan pernah di birokrasi pendidikan, tentu saja saya mengapresiasi terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dalam mendorong upaya untuk mengemban tugas sebagai institusi pemerintah yang memiliki komitmen dalam pengembangan pendidikan khususnya pendidikan umum berciri khas keagamaan.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tersirat menyatakan bahwa Kemenag sebagai institusi pemerintah memiliki kewenangan, tugas pokok dan fungsi pendidikan, yang disebut sebagai pendidikan umum berciri khas keagamaan. Melalui regulasi ini maka kewenangan Kemenag sebagai institusi pemerintah untuk mengelola pendidikan menjadi tidak terbantahkan. Indonesia memang memiliki keunikan dalam kaitannya dengan pendidikan, sebab di sini didapati banyak institusi pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kewenangannya, yang kemudian saya sebut sebagai “Satu sistem pendidikan banyak atap”.
Kemenag tentu memanggul tugas pendidikan yang harus berciri khas, yaitu pendidikan umum berciri khas keagamaan. Maka bangunan sistem pendidikan umum mestilah menjadi bagian tidak terpisahkan dari program pendidikan di bawah Kemenag. Namun demikian, sebagai konsekuensinya adalah harus menyelenggarakan pendidikan yang berciri khas, kemudian dirumuskan sebagai program pendidikan yang mengembangn tugas mengintegrasikan ilmu pengetahuan atau yang disebut program integrasi ilmu.
Selama ini mungkin ada kalangan yang menganggap bahwa program integrasi ilmu merupakan kewajiban perguruan tinggi, sebab di sinilah peluang untuk mengembangkan integrasi ilmu itu memperoleh lahannya. Di dalam institusi pendidikan tinggi terdapat program pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat, yang tentu bisa diintegrasikan. Namun demikian, ternyata pada program pendidikan dasar dan menengah pun sudah diselenggarakan program pendidikan integratif tersebut.
Pendidikan berbasis integrasi ilmu merupakan program pendidikan yang berusaha untuk mengintegrasikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Namun, lebih spesifik merupakan upaya untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Meskipun ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa semua ilmu adalah ilmu agama ilmu agama sebagai induk namun tetap saya sebut terdapat dua substansi pendidikan, yaitu pendidikan umum yang secara institusional di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, dan Pendidikan agama yang menjadi kewenangan Kemenag.
Upaya untuk mengintegrasikan dua substansi pendidikan ini adalah melalui kebijakan untuk mengembangkan pendidikan yang bercorak integrasi ilmu dimaksud. Di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis), lalu dikembangkan berbagai program yang bisa dinyatakan sebagai upaya untuk mengembangkan program pendidikan berbasis integrasi ilmu. Ada beberapa program yang dapat dinyatakan sebagai upaya dimaksud, di antaranya adalah:
Pertama, program pelatihan guru dalam program integrasi ilmu dalam bidang mata pelajaran ilmu-ilmu alam (natural science) dengan ilmu agama. Program pelatihan ini dimasudkan agar para guru pendidikan di dalam mata pelajaran sains, seperti matematika, biologi, kimia, fisika, dan lainnya dapat melakukan integrasi ilmu dengan memberikan pembelajaran yang berbasis pendidikan integrative. Jadi seorang guru tidak hanya menjelaskan tentang sains dari perspektif sains, akan tetapi juga melihat sains dari perspektif agama. Misalnya sains tentang biologi maka dapat dikaitkan dengan teks-teks Al-Qur’an atau hadits tentang subyek mata pelajaran yang diajarkannya. Demikian pula tentang mata pelajaran kimia, fisika dan matematika. Matematika harus diajarkan dalam kaitannya dengan penemunya, yang ternyata adalah seorang Muslim, Al Jabiri.
Kedua, pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Terutama di era sekarang dalam menghadapi perubahan yang cepat. Siswa tidak boleh ketinggalan untuk merespon perubahan ini. Di masa lalu ada pernyataan: “There is no phone in the class”, akan tetapi sekarang: “Now, the class is in the phone”. Jadi pergeseran ini harus direspon dengan cepat, tidak hanya karena pandemi Covid-19, akan tetapi yang lebih penting adalah merespon era teknologi informasi yang dahsyat.
Pengembangan kurikulum integrasi ilmu di institusi pendidikan menengah hendaknya pada level dialog saja. Saya mengikuti pandangan bahwa ada dua level dalam integrasi ilmu, yaitu dialog dan integrasi. Misalnya bagaimana mendialogkan antara ayat-ayat fisika, biologi, kimia, sosiologis, sejarah, antropologis dengan ayat Al-Qur’an atau hadits. Dengan demikian, kurikulum tersebut sudah momot tentang relasi atau dialog antara ilmu keislaman dengan ilmu umum.
Ketiga, memperbanyak agen yang bergerak di bidang integrasi ilmu. Saya tentu bersyukur sebab banyak program yang sudah dilakukan oleh Dirjen Pendis terkait dengan berbagai workshop untuk pengembangan kualitas guru dalam pembelajaran integratif tersebut. Banyak guru mata pelajaran di bidang sains yang dilibatkan di dalam program dimaksud. Hal ini dimaksudkan agar terjadi diseminasi gagasan dan praktik pembelajaran berbasis integrasi ilmu.
Tentu yang diharapkan adalah mencetak guru-guru agar menjadi agen bagi pengembangan program pendidikan berbasis integrasi ilmu. Diharapkan agar terjadi proses berkelanjutan, misalnya program ini dilanjutkan oleh para guru lewat MGMP di tingkat kabupaten, baik dilakukan secara mandiri atau melalui kegiatan bidang atau Seksi Pendidikan Madrasah. Sungguh yang diharapkan agar Pendidikan umum berciri khas agama ini dapat mewujud di dalam program Pendidikan di bawah Kemenag.
Jika kita bisa mewujudkan program pendidikan umum berciri khas keagamaan ini dan sukses dilakukan oleh para birokrat dan juga institusi pendidikan Islam, maka keinginan untuk mengalihkan tugas pendidikan di salah satu kementerian saja akan terbantahkan.
Wallau a’lam bi al shawab.
*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya