(Sumber : Dokumentasi Penulis )

Keunikan Islam Indonesia: Hari Raya Idul Fitri

Opini

Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriyah terasa nyaman bagi umat Islam Indonesia. Organisasi besar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, menyelenggarakan lebaran Puasa Ramadlan 1445 H secara bersamaan. Hari Rabo, 10/04/2024. Meskipun belum terdapat Sidang Isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama (kemenag), sudah banyak yang menduga bahwa hari raya Idul Fitri 1445 H akan terjadi secara bersamaan. Hal ini diketahui bahwa hasil hisab dari ulama ahli falakiyah NU maupun Muhammadiyah sudah menghitung ketinggian hilal di atas lima derajat. 

  

Hal yang menjadi problem adalah di kala hasil hitung ketinggian hilal berada di bawah dua derajat atau tiga derajat. NU yang memegangi prinsip rukyatul hilal sudah mengancangkan apapun hasil perhitungan tetap harus dikonfirmasi secara natural, melalui rukyatul hilal. Itulah sebabnya, pada waktu permulaan puasa terjadi perbedaan sebab ketinggian hilal tidak sampai satu derajad. Maka orang sudah pesimis bahwa akan terjadi ketidakbersamaan di dalam permulaan puasa Ramadlan, 1445 H. Dengan ketinggian hilal yang kurang dari satu derajad, maka tidak ada peluang hilal dapat dilihat dengan mata atau dengan teleskop. Maka NU dan pemerintah menentukan awal bulan Ramadlan berbeda dengan Muhammadiyah.

  

Bahkan ada beberapa organisasi, misalnya jamaah Aolia di Gunung Kidul,  Tarekat Naqsyabandiyah  di Sumatera Utara  dan Jamaah An Nadzir di Sulawesi Selatan sudah melakukan shalat id lebih awal. Inilah keunikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Seluruh negara anggota MABIMS selain Indonesia tentu memiliki satu ketetapan dalam penentuan tanggal 1 Syawal, 1 Ramadlan dan 1 Dzulhijjah. Tetapi di Indonesia bisa bervariasi sesuai dengan keputusan masing-masing organisasinya.

  

Hilal sungguh baik tahun ini. Hilal memberikan peluang yang besar untuk berhari raya pada hari yang sama. Sungguh kala hilal berada di atas ufuq dengan ketinggian di atas dua derajad saja, maka masyarakat Indonesia bisa bernafas lega. Apalagi jika di atas tiga derajad. Melalui kebersamaan hari raya, apapun yang terjadi masyarakat Indonesia sungguh sangat bergembira. Kali ini hari raya idul fitri tahun 1445 H. Padahal,  jika ditanyakan di dalam kedalaman hati, masyarakat Indonesia tentu berharap agar kebersamaan hari raya terus terjadi sepanjang kehidupan. 

  

Harapan itu tentu tidak selalu bisa diwujudkan, sebab memang terdapat metodologi dalam penentuan awal bulan yang menyebabkan adanya perbedaan dalam penetapannya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, bisa berbeda dan bisa bersama. Semua tergantung dari posisi hilal bagi masyarakat Indonesia. Upaya untuk penyatuan memang selalu diusahakan, akan tetapi rasanya sangat sulit untuk mempersatukannya. Masing-masing memiliki landasan hukum yang kuat sesuai dalil naqli yang dipegangnya. Upaya untuk menyatukan kalender Islam internasional juga nyaris tidak terjadi. Memang beda posisi antara kalender dalam system lunar dan solar. 

  

Karena seringnya terjadi perbedaan itu, maka masyarakat Indonesia tidak kaget di kala berbeda dan juga tidak kaget di kala sama. Semuanya dipahami dan disikapi dengan kedewasaan. Masyarakat Indonesia  memahami bahwa penetapan yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah untuk komunitasnya dan siapa saja yang mau mengikuti secara voluntary  atau suka rela. Dan bagi penetapan yang dilakukan oleh pemerintah juga bukan mandatory bagi siapa saja. Masyarakat diberi peluang secara dewasa untuk menentukan pilihannya. 

  

Inilah salah satu bentuk “demokratisasi” dan “keterbukaan” dalam menentukan kehidupan beragama di Indonesia. Negara yang seharusnya memiliki otoritas dalam menentukan kapan puasa dan kapan mengakhiri, akan tetapi masyarakat diberi keleluasan untuk memilih mana yang diyakininya. Padahal di dalam penetapan hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya idul Adha terdapat persoalan fiqhiyah yang terkait dengan ibadah kepada Allah dan mestinya mengikat. Berpuasa  di saat sudah ditetapkan sebagai hari raya, bisa berimplikasi haram, akan tetapi bisa disikapi dengan kedewasaan bagi yang berbeda hari rayanya. Hukum fikih yang seharusnya ketat dan mengikat, akan tetapi bisa dipahami dan disikapi secara berkearifan. 

  

Apapun realitasnya, hukum fiqh adalah penafsiran ulama. Sebagai sebuah penafsiran, maka akan terkena hukum ketidakmutlakan. Maka, penetapan tentang awal Ramadlan, Awal Syawal dan awal Dzulhijjah juga tidaklah mutlak adanya. Siapa yang paling benar tentu terkait dengan dunia keyakinan kita atas pilihan yang kita lakukan. Selama yang memilih atas penetapan  tersebut yakin  sebagai kebenaran, maka sahlah  kebenaran atas dirinya. Agama itu dunia keyakinan selama yang bersangkutan yakin dengan pikiran dan hatinya, maka sahlah keyakinan tentang kebenaran tersebut bagi dirinya.

  

Di sinilah makna kedewasaan beragama. Kita saling mentoleransi atas dunia keyakinan terhadap ritual yang bisa bercorak more and less. Bisa begini atau bisa begitu, yang terpenting tidak menyalahi prinsip umum dalam dunia ritual keberagamaan. Ada prinsip yang juga mendasar tentang dimensi keilahian yang tidak boleh melenceng dari doktrin keimanan. Jika ini bisa dilakukan, maka dipastikan apapun perbedaan dalam ritual tidak akan mengoyak atas harmoni di dalam beragama.

  

Terakhir, pasrahkan saja kepada Allah SWT atas penilaian ibadah yang kita lakukan sambil terus berharap bahwa ibadah kita diterimanya. Trilogi beramal ibadah, berdoa dan tawakkal kiranya menjadi pedoman kita di tengah pasar raya tafsir atas ajaran agama. Sekali lagi inilah keunikan Islam di Indonesia yang bisa sangat berbeda dengan sumber Islam aslinya, khususnya di Arab Saudi.

  

Wallahu a’la bi al shawab.