Syekh Bela-Belu : Dai Multikultural Abad ke-16
HorizonNoor Hamid
Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam Multikultural UNISMA
Yogyakarta sering disebut kota pelajar karena banyaknya perguruan tinggi. Juga disebut kota gudeg, sebagai makanan khasnya. Sisi lain Yogyakarta adalah “kota multikultural”, sebutan yang mungkin belum populer. Hal itu hanya bisa dilihat dari puing-puing sejarah yang tersisa di kota ini. Yogyakarta tidak hanya punya keraton, tugu golong gilig, Merapi, panggung krapyak, dan Parangtritis. Yogyakarta tidak hanya punya masjid Pathok Negoro, Selokan Mataram, dan Kali Code yang legendaris. Yogyakarta juga banyak memiliki situs makam para wali, seperti Syeikh Jumadil Kubro, Syeikh Maulana Maghribi, termasuk Syekh Bela-Belu di Parangkusumo, Bantul.
Hikayat Syekh Bela-Belu menarik untuk dibahas secara tersendiri, mengingat ulama yang satu ini hidup antara abad ke-15 hingga ke-16. Nama lain Syekh Bela-Belu adalah Raden Jaka Bandhem, putra Brawijaya V, Raja Majapahit. Adik kandung Syekh Bela-Belu ini adalah Syekh Damiaking. Setelah selesai belajar di Makkah, Syekh Bela-Belu harus pulang ke tanah air untuk menyebarkan Islam di Yogyakarta. Di sinilah, Syekh Bela-Belu bertemu dengan Syeikh Maulana Maghribi, yang berasal dari Persia (Rizky Sasono, Sites out of Sight, 2002:119).
Para wisatawan religius yang datang ke Bantul, Yogyakarta, akan dengan mudah mendapati makam Syekh Bela-Belu di Parangkusumo berdekatan dengan makam Syeikh Maulana Maghribi di Parangtritis. Jarak antara keduanya sekitar 900 meter, atau 16 menit dengan berjalan kaki. Penting diketahui, di dalam kompleks pemakaman Syekh Bela-Belu terdapat makam Syeikh Dami Aking. Hikayat tentang Syekh Bela-Belu dan Syekh Dami Aking ini selalu berkaitan dan disebut bersamaan, dua bersaudara yang bersama-sama dalam menyebarkan dakwah Islam.
Sebelum agama Islam masuk, daerah Parangkusumo-Parangtritis sudah menjadi tempat sakral sejak 1000 Masehi, dengan adanya pemujaan terhadap penguasa Ratu Laut Selatan (Muhammad Sholikhin, Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa, 2009:200). Setelah Islam masuk, dan masyarakat Parangtritis sudah mengenal ajaran Syekh Bela-Belu, Syekh Dami Aking, dan Syeikh Maulana Maghribi, pemujaan terhadap pantai laut selatan terus berlanjut. Salah satu adat-tradisi lokal di wilayah Parangtritis ini disebut \"Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri\", sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dari alam, bumi, dan berkat lautan.
Dengan begitu, kehidupan sosial-religius masyarakat Muslim daerah Parangtritis sangat toleran, adaptif terhadap kearifan lokal, khususnya adat tradisi setempat. Tidak ada konflik antara pemujaan terhadap laut selatan yang sudah eksis sebelum Islam dan kepercayaan Islami yang datang berikutnya di era Syekh Bela-Belu.
Dakwah Multikultural Syekh Bela-Belu
Baca Juga : Model Islam Nusantara
Menurut Patrick Keilbart, masyarakat Muslim di daerah Parangkusumo-Parangtritis percaya bahwa Syekh Bela-Belu dan Syeikh Maulana Maghribi telah melakukan komunikasi dengan para penguasa laut selatan. Dua wali tersebut juga menjadi tonggak awal penyebaran Islam di tanah Jawa, khususnya di wilayah Mataram Islam (Keilbart, Martial Arts in Indonesian Cinema and Television, 2021:107). Sejarawan Belanda, Hermanus Johannes de Graaf, memberikan penafsiran yang lebih mendalam. Menurutnya, legenda tentang Syekh Bela-Belu dan Syekh Dami Aking memiliki kemiripan dengan legenda masyarakat Jawa Kuno tentang Bubuksa dan Gagang Aking. Bubuksa dan Gagang Aking ini adalah dua orang bersaudara yang sama-sama menjadi pertapa. Hanya saja, keduanya menempuh cara yang berbeda. Bubuksa dikenal suka makan sehingga badannya gemuk, Gagang Aking dikenal suka berpuasa sehingga kurus kering.
Dalam cerita rakyat, Syekh Bela-Belu juga digambarkan suka makan. Sedangkan Syekh Dami Aking (Jerami Kering) digambarkan suka berpuasa. Hanya saja, makanan Syekh Bela-Belu dicampur pasir, sehingga setiap kali makan harus membersihkan pasir dari berasnya, guna melatih kesabaran. Tidak saja kesamaan plot kisah, latar-belakang cerita Syekh Bela-Belu dan Syekh Dami Aking maupun Bubuksa dan Gagang Aking juga sama, yaitu tempat yang dekat dengan muara Sungai Opak. Di bagian udik sungai Opak ini terdapat Candi Prambanan, yang sudah ada sejak zaman Mataram Lama sekitar 1000 tahun. Menurut de Graaf, Parangkusumo-Parangtritis adalah tempat sakral untuk pemujaan yang lebih tua dari abad ke-16, ketika Ki Pemanahan atas persetujuan Raja Pajang pertama kali menguasai daerah Mataram (de Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, 1985: 280-281).
Melalui penggambaran historis di atas, dakwah Syekh Bela-Belu (bersama Syekh Dami Aking) selaras dengan alam pikir dan keyakinan masyarakat Jawa Kuno. Tanpa harus mengubah aspek eksoteris alam pikir masyarakat Jawa, selama mampu menanamkan aspek esoteris Islam. Karenanya, dalam pandangan masyarakat Jawa, Syekh Bela-Belu dan Syekh Dami Aking ibarat inkarnasi Bubuksa dan Gagangaking. Bahkan, masyarakat Jawa meyakini bahwa Syekh Bela-Belu tidak semata menyebarkan Islam, tetapi juga memiliki kemampuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib pantai selatan.
Pribumisasi Islam melalui Dakwah Multikultural
Syekh Bela-Belu tidak menyalahkan adat dan tradisi lokal seperti pemujaan terhadap kekuatan laut selatan. Oleh karena itu, adat tradisi lokal ini (baca: Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri) terus eksis bersamaan dengan penyebaran Islam yang massif. Syekh Bela-Belu juga tidak mengubah alam pikir Jawa Kuno, yang percaya pada dua tokoh besar mereka (Bubuksa dan Gagangaking). Karenanya, Syeikh Bela-Belu mencari mitra dakwah, yaitu Syeikh Damiaking, agar gerakan dakwah mereka berdua bisa selaras dengan alam pikir masyarakat Jawa Kuno.
Dengan belajar dari Syekh Bela-Belu, gerakan dakwah multikultural dapat dipahami sebagai gerakan Islamisasi yang memanfaatkan adat-tradisi dan nilai-nilai lokalitas sebagai media dan instrumen dakwah. Sementara Islam menjadi nilai-nilai ideal yang memperkuatnya. Islam menjadi ruh, dan adat-tradisi lokal sebagai tubuh ragawinya.
Syekh Bela-Belu, sebagai ulama abad ke-16, dapat disebut sebagai penerus tradisi dakwah multikultural para Walisongo. Seni, kebudayaan, adat, dan tradisi lokal dijadikan instrumen/media dakwah. Mereka mengajarkan nilai-nilai Islam dalam bahasa dan terminologi lokal. Dengan demikian, Islam dan kearifan lokal dapat bersinergi menciptakan warga Muslim yang khas Nusantara.