(Sumber : www.nursyamcentre.com )

Menjaga Eksistensi Madrasah

Opini

Selama sepekan terakhir dunia media social diramaikan dengan munculnya Rencana Revisi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu topik yang diramaikan adalah mengenai ketiadaan kata Madrasah di dalam Rencana Revisi yang diprakarsai oleh pemerintah, yaitu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Bahkan DPR  mengundang Mendikbudristek, Nadiem A. Makarim, untuk mempertanggung jawabkan atas ketiadaan nomenklatur  Madrasah di dalam Rencana Undang-undang dimaksud.

  

Jika kita membaca media sosial, maka bisa diketahui bagaimana ramainya perbincangan tentang “keinginan” menghilangkan nomenklatur  madrasah di dalam Rencana Undang-Undang Sisdiknas, dan di antara yang banyak muncul adalah mengenai ketidaksetujuan, keberatan dan penyesalan atas hilangnya nomenklatur  madrasah yang selama ini menjadi ikon dalam Pendidikan Islam, yang di dalamnya menjadi kewenangan Kementerian Agama untuk mengelolanya. Madrasah merupakan sistem pendidikan Islam yang sudah teruji di dalam realitas empiris sebagai institusi pendidikan, yang merupakan pemaduan antara sistem pendidikan dalam sistem pesantren dengan pendidikan dalam sistem sekolah. Sebelum madrasah menjadi ranah negara, dalam bentuk penegerian madrasah,  maka yang terlebih dahulu menerapkan system pendidikan ini adalah pesantren. Makanya Karel Steenbrink menyatakan mengenai perubahan institusional di dalam pesantren berjalan linear, dari pesantren ke madrasah dan ke sekolah.

  

Madrasah merupakan sistem pendidikan yang bercorak khas, sebab memasukkan system pesantren dengan pendidikan agama yang khas, misalnya pengajaran tentang ajaran agama yang relative memadai, dan di satu sisi juga mengadaptasi system pendidikan sekolah dengan materi dan program pembelajaran yang memadai sebagaimana system pendidikan sekolah. Konten kurikulum pendidikan agama seperti akidah, syariah, akhlak dan sejarah Islam menjadi bagian tidak terpisahkan dalam system pembelajaran yang diadaptasi dari dunia pesantren, yang kemudian diajarkan ke dalam pendidikan madrasah meskipun tidak utuh sebagaimana di dalam pesantren. Di sisi lain, juga konten pendidikan umum diadaptasi secara utuh. Makanya, di dalam Undang-Undang Sisdiknas disebut sebagai “pendidikan umum berciri khas keagamaan”. 

  

Indonesia ini memang sebuah negeri yang unik di dalam pengelolaan pendidikan. Ada beberapa kementerian yang mengelola pendidikan. Dua di antaranya adalah Kemendikbudristek yang mengelola pendidikan umum, dan Kemenag yang mengelola pendidikan umum berciri khas keagamaan. Makanya Indonesia itu negara dengan satu system pendidikan tetapi banyak atap. Sistem pendidikan nasionalnya adalah berdasar atas Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, tetapi atapnya banyak, misalnya ada yang di bawah Kemenag dan Kemendikbudristek. Inilah keunikan system Pendidikan di Indonesia, yang tidak didapati di negara lain.

  

Memang sudah lama terdengar isu bahwa pendidikan madrasah akan dialihkan di Kemendikbudristek. Ada keinginan sebagian dari pengambil kebijakan untuk mengalihkan pengelolaan pendidikan madrasah dari Kemenag ke Kemendikbud. Ada keinginan yang kuat bahwa hanya ada satu system pendidikan dan satu atap pendidikan. Isu ini telah lama dengan pendekatan rasional bahwa Kemenag seharusnya hanya mengurusi soal agama saja, dan tidak mengelola pendidikan. Namun demikian, upaya ini tentu saja kandas pada saat diterbitkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang justru memperkuat terhadap posisi madrasah yang secara jenjang bersetara dengan pendidikan umum. Maka pilihan diksinya adalah “pendidikan umum berciri khas keagamaan”. Madrasah masuk dalam kategori tersebut.

  

Di dalam banyak kesempatan saya sampaikan bahwa Undang-Undang Sisdiknas itu sangat welcome terhadap pendidikan madrasah. Di dalam batang tubuhnya dinyatakan kesetaraan yang tegas, yaitu SD/MI, SMP/MTs dan SMA/Kejuruan/MA. Makanya baik dalam jenjang dan jenis pendidikan tidak ada lagi dikhotomi antara madrasah dan sekolah. Keduanya secara total berkesetaraan. Dan kemudian secara implementatif juga terdapat kesetaraan, misalnya dalam Ujian Nasional dan Standar Pendidikan yang harus dipenuhi. Di dalam penilaian akreditasi juga tidak ada perbedaan dalam system evaluasi kualitas Pendidikan.  

  

Madrasah sebagai subsistem Pendidikan Nasional sesungguhnya sudah berkontribusi sangat besar dalam mengembangkan sumber daya manusia Indonesia. Betapa banyak tokoh nasional yang lahir dari system pendidikan ini. Madrasah sangat kontributif dalam ikut serta mencerdaskan bangsa sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi 90 persen madrasah diselenggarakan oleh institusi social keagamaan yang merasa terpanggil untuk terlibat di dalam pembangunan bangsa. Makanya, keinginan untuk menghapus madrasah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah langkah yang mengingkari sejarah dan peran social-edukatif yang telah dilakukannya di masa lalu maupun di masa sekarang. 

  

Rasanya kurang arif jika bangsa ini melakukan tindakan yang memaksakan keinginan dengan dasar undang-undang. Marilah kita pahami bahwa kontribusi madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan realitas yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Oleh karena itu diperlukan kearifan agar upaya untuk mendelete terhadap eksistensi madrasah di dalam tubuh Undang-Undang harus dipikir ulang. Kebijakan pemerintah yang baik adalah kebijakan yang tidak mencederai atas kehendak rakyat, siapapun mereka.

  

Wallahu a’lam bi alshawab.