(Sumber : CNN Indonesia)

MUI, Netizen dan Dakwah Kontroversial

Opini

Menjadi  public figure dewasa ini semakin sulit. Di antara yang menyebabkannya adalah media social yang begitu transparan dalam memberitakan apa saja yang bisa menjadi daya tarik public untuk mencermatinya. Di masa lalu, ungkapan  public figure  tidak setransparan sekarang. Tetapi di era keterbukaan informasi, maka tidak ada yang lepas dari pemberitaan atas ucapan dan tindakan pejabat publik yang diperkirakan akan menjadi viral.  Memang media social dengan kekuatan agenda setting, memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menggiring opini public sebagaimana setting yang diinginkannya. 

  

Sesungguhnya media sosial memiliki pengaruh yang sangat dahsyat. Di era media sosial sebagai penguasa, maka media social dapat mempengaruhi terhadap perilaku manusia termasuk juga berpengaruh terhadap keputusan pengadilan. Jika sebuah kasus mencuat dan viral di media social, maka dunia kejaksaan atau kehakiman juga bisa terpengaruh dengan alasan memenuhi harapan masyarakat. Salah satu contoh yang riil adalah keputusan hakim atas kasus pembunuhan Brigadir Joshua, yang mendapatkan hukuman ringan adalah karena kekuatan media social dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian, yang terpengaruh oleh media social bukan hanya masyarakat secara umum akan tetapi termasuk institusi  penegak keadilan.

  

Yang viral di masyarakat akhir-akhir ini adalah kasus penghentian ceramah yang dilakukan oleh Hanan Attaki di Pamekasan oleh Banser dan sejumlah organisasi yang seaspirasi. Penghentian ceramah ini juga memicu pro-kontra bahkan melibatkan lembaga keagamaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Komentar dari seorang Ketua Departemen Dakwah dan Ukhuwah MUI, KH. Cholil Nafis, menyatakan: “tidak seharusnya ormas tertentu melakukan tindakan pembubaran terhadap sebuah pengajian hanya karena tudingan yang tidak jelas” selanjutnya dinyatakan: “saya berharap tak ada yang menolak ustaz tertentu di pengajian”. Dinyatakan juga: “jika tak berkenan ya tidak usah datang. Jika ustadznya terindikasi  organisasi terlarang atau ucapannya melanggar hukum biarlah aparat yang memprosesnya dan menindaknya”. (lenterajateng, 21/2/2023). 

  

Sebagai akibat dari ungkapan ini, maka sontak terdapat ratusan komentar terkait dengan tindakan Banser NU yang memberhentikan dakwah Hanan Attaki.  Di antara komen tersebut, misalnya: “kalau ada fulusnya tidak dibubarkan”, lalu yang lain menimpali: “setuju, masalahnya tidak ada uang keamanan/jatah preman”. Tetapi juga ada yang beranggapan bahwa komentar Ketua MUI tersebut hanya basa basi. Dinyatakan: “itu Cuma basa-basi doang. Coba  perhatikan, instruktur menag tentang pemakaian Toa di masjid apa warga NU mengikuti”. Lalu ada komentar lain: “Cuma berharap…semua orang bisa”. 

  

Sementara itu, MUI Jawa Timur, melalui ungkapan Ma’ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI,  menyatakan: “penolakan tersebut karena Hanan Attaki dinilai tidak cocok dengan kultur pesantren di Jawa Timur”. Selanjutnya juga dinyatakan: “kalau boleh jadi di satu provinsi cocok, belum tentu di wilayah yang  di sini pesantrennya ribuan, belum tentu cocok”. (CNN, 27/07/2022). Salah satu pertimbangannya adalah merusak kebiasaan dan tradisi masyarakat yang sudah mengakar dan bisa menimbulkan disharmoni sosial.

  

Dewasa ini memang sedang terjadi pertarungan otoritas keagamaan, yang jika tidak bisa dimanej dengan baik, maka akan bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Otoritas keagamaan, misalnya di Jawa Timur jelaslah berada di bawah otoritas Islam ahlu Sunnah wal Jamaah. Di dalam konteks ini, bukan hanya menjadi otoritas NU, akan tetapi juga Muhammadiyah dan organisasi lain yang seirama dalam pemahaman keberagamaannya. Sebagaimana dipahamai bahwa organisasi seperti ini tentu tidak menghendaki perpecahan internal penganut agama. Organisasi ini sudah tergabung di dalam Gerakan Moderasi Beragama (GMB) dengan berbagai cara dan strateginya. Bisa berbeda caranya tetapi satu visi yaitu menegakkan negara melalui pemahaman dan pengamalan agama yang wasathiyah

  

Hanan Attaqi dipahami oleh masyarakat penolaknya karena termasuk dalam kategori dai yang berpaham khilafah. NU dengan seperangkat Banom di bawahnya, seperti Banser memang dididik untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk melawan terhadap gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung tema-tema dakwahnya dengan khilafah. Jejak digital Hanan Attaki tentang pandangannya mengenai khilafah tentu tidak bisa dinegasikan sedemikian rupa. Makanya, kala didengar Hanan Attaki akan melakukan dakwah pada daerah yang mayoritas NU, seperti di Pamekasan, maka Banser lalu berkoordinasi dengan pimpinan Cabang NU dan kemudian tindakan penghentian ceramah dilakukan. Jadi, meskipun pemerintah daerah, kepolisian daerah, tidak melakukan upaya untuk menghentikan dakwah dimaksud, maka Banser akan melakukannya sendiri. Prinsip utamanya adalah dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Menghindari kerusakan didahulukan dari pada melihat kemaslahatannya. Dakwah tentu memiliki manfaat, tetapi ketika dakwah tersebut dilakukan oleh orang yang berpaham khilafah, maka mendahulukan penghentian dakwah menjadi lebih penting. 

  

Tentu kita semua sepaham bahwa yang seharusnya melakukan tindakan tegas adalah aparat keamanan, sehingga tidak memunculkan pro-kontra. Terhadap dai-dai yang berdasarkan rekam jejaknya membawa virus khilafah, jihad bermakna perang ofensif dan berupaya mempengaruhi masyarakat untuk membenci pemerintah, maka aparat keamanan harus tegas. Pemerintah tidak boleh kalah dan lalai, sebab pertaruhannya terlalu besar bagi negara dan bangsa Indonesia di masa depan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.