Pemilu Untuk Demokrasi Berkeadaban
OpiniSering tidak kita sadari bahwa kita berada di dalam politik idealistik dan bukan politik realistik. Artinya bahwa kita berada di dalam pemikiran bahwa politik itu area yang sesungguhnya sacral dalam dunia demokrasi. Sacral di sini dimaksudkan sebagai area di mana etika dan keyakinan akan kebaikan itu berada di tengah-tengah kehidupan politik yang diidealkan. Artinya politik yang menghadirkan keyakinan bahwa ada pedoman suci yang mengharuskan kita semua mematuhinya.
Saya menggunakan diksi “kita” untuk memberikan penekanan bahwa politik itu untuk semua dan dari semua. Dari dan untuk kita. Demokrasi berkeadaban adalah idaman semua masyarakat di mana saja berada. Di Eropa, di Amerika, di Australia bahkan juga di Afrika. Semua masyarakat berharap bahwa negara di mana yang bersangkutan hidup dapat menyelenggarakan demokrasi berbasis pada etika. Dan buah dari demokrasi tersebut adalah keadilan dan kemakmuran masyarakat.
Arab Saudi sebagai negara monarkhi yang tidak menyelenggarakan pemilu, karena regulasinya memang seperti itu, kala rakyatnya ditanya apakah masyarakat Arab Saudi akan memilih demokrasi dengan banyak tantangan dan hambatan untuk sejahtera atau memilih tetap berada di dalam system monarkhi dengan kejelasan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, maka mayoritas rakyatnya memilih system yang sudah berlaku karena terbukti sudah menyejahterakannya. Arab Saudi dan beberapa negara di Timur Tengah mungkin sebuah pengecualian yang memilih system non-demokrasi yang dirasakan oleh rakyatnya sudah memenuhi standart kehidupan yang berkecukupan.
Tetapi kebanyakan negara-negara di belahan dunia lain memang menginginkan system pemerintahan berbasis pada demokrasi. Negara-negara dunia ketiga, yang kebanyakan di Asia dan Afrika juga menggunakan instrument demokrasi untuk kepentingan kelanjutan pemerintahannya. Ada yang menggunakan monarkhi parlementer dan ada yang menggunakan system demokrasi presidential atau demokrasi parlementer. Semua memiliki satu tujuan menjadikan demokrasi sebagai tujuan antara untuk mendapatkan peningkatan kesejahteraan warga negaranya.
Salah satu negara yang sudah sebanyak enam kali menyelenggarakan pemilu sebagai instrument penyelenggaraan negara adalah Indonesia. Indonesia memang berusaha untuk menerapkan system semi liberal atau bahkan sudah liberal dengan mencontoh pemilu di negara-negara Barat, misalnya Amerika. Memang beda konteksnya, akan tetapi regulasi yang diciptakan oleh para perancang revisi Undang-Undang Dasar 1945 dan diderivasi dalam Undang-Undang Pemilu mengamanatkan pemilu diselenggrakan dengan system one man one vote atau demokrasi langsung, artinya rakyat memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa presiden dan wakil presiden dan wakilnya di legislative.
Namun demikian, problem dari waktu ke waktu ternyata nyaris tidak berubah. Artinya belum terdapat kemajuan yang signifikan dalam penyelenggaraan pemilu sebagai instrument demokrasi. Money politics, penyelewengan dalam penyelenggaraan pemilu dan penggunaan kekuasaan untuk pemilu dan sebagainya. Pada pemilu 2019 misalnya diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi atau MK dan dimenangkan oleh pemenang pilpres Jokowi-Ma’ruf. Kubu yang kalah, Prabowo-Sandi, menggugat di MK dan akhirnya diputuskan bahwa yang menang adalah Jokowi-Ma’ruf. Sebuah keputusan yang akhirnya diterima dan bahkan melalui kepiawaiannya, Jokowi menjadikan rival politiknya dapat memasuki kabinetnya. Prabowo dan Sandi menjadi Menteri dalam Kabinet Indonesia maju.
Tidak ada yang abadi di dalam dunia politik. Yang abadi adalah kepentingan. Makanya kita tidak heran kala Jokowi bertemu Surya Paloh, dan juga peluang bertemu dengan Muhaimin bahkan juga bertemu dengan Muhammad Mardiono, yang selama ini ketiga partai politik yang dipimpinnya itu selalu berada di dalam cabinet. Tak tahan berada di luar. Strategi Bulak Sumur inilah yang dipakai oleh Jokowi untuk bernegosiasi dengan “lawan-lawan” politiknya dan selama 10 tahun terakhir relative berhasil.
Ikhwal demokrasi berkeadaban rasanya memang masih jauh dari harapan. Jarak antara pemilu sebagai instrument demokrasi dengan demokrasi berkeadaban masih jauh. Artinya bahwa praktik politik yang terlihat di pelupuk mata masih menunjukkan “kemenangan” jauh lebih penting dibandingkan dengan hakikat idealitas politik yang diharapkan. Apakah ada pemilu yang benar-benar clear dan berbasis pada etika dan idealitas politik “rasanya” juga tidak. Salah satu jargon di dalam demokrasi adalah pemenang dihitung dari suara terbanyak. Maka siapapun yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi jawara. Perkara menjadi jawara dengan strategi dan cara mana yang dianggapnya tepat tentu masing-masing partai politik dan individu di dalamnya yang mengetahuinya, dan masyarakat yang merasakannya.
Dalam konteks pemilu 2024, sebagaimana yang kita lihat dan dengar di media social, diduga banyak terjadi masalah atau ada rapor merah yang terjadi karena lemahnya factor etika politik. Peraturan masih bisa ditafsirkan oleh siapa yang memiliki otoritas. Padahal etika politik itu universal dan menjadi milik bersama di kalangan masyarakat. Ada akademisi, ada agamawan, ada aktivis organisasi dan ada sekelompok orang yang memiliki literasi politik dan hukum yang memadai, sehingga benar-benar merasakan bagaimana tindakan politik tersebut terekspresi secara meyakinkan, misalnya terdapat pelanggaran atas regulasi dan etika politik.
Kita sudah memiliki undang-undang yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tetapi kalau kemudian terjadi penafsiran yang melenceng dari makna, urgensi dan etika karena begitu kuatnya tarikan kepentingan politik, maka akan menjadikan masyarakat apatis terhadap kebijakan negara atau pemerintah. Jika hal ini yang terjadi, maka makna demokrasi menjadi tidak lagi signifikan untuk kepentingan membangun kebersamaan dan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Oleh karena itu hendaknya kita membangun kembali kepercayaan masyarakat dengan mengekspresikan kejujuran dan keadilan, transparansi dan tanggung jawab dalam pemilu misalnya, sehingga masyarakat kembali mempercayai regulasi yang dijalankan oleh state apparatus, karena regulasi ditafsirkan secara berkeadilan, berkejujuran, transparan dan tanggung jawab.
Semua harus mengembangkan kesadaran bahwa pemilu sebagai instrument untuk demokrasi akan bermakna jika semua pelaksana dan penyelenggara pemilu mendasarkan diri pada regulasi yang memiliki relevansi dengan etika. Demokrasi bisa menjadi alat dan sekaligus tujuan untuk mewujudkan masyarakat dan pemerintah yang berkeadaban.
Wallahu a’lam bi al shawab.