Peran Perguruan Tinggi Islam di Indonesia dalam Mendobrak Kesenjangan Gender
Riset BudayaTulisan berjudul “Gender Glass Ceiling in Indonesia: Manifestation, Roots, and Theological Breakthrough” adalah karya Siti Ruhaini Dzuhayatin. Artikel ini terbit di Journal of Islamic Studies “Al-Jami’ah” tahun 2020. Penelitian ini mencoba mengetahui sejauh mana kontribusi cendekiawan Islam, terutama perempuan di perguruan tinggi Islam di Indonesia dalam membongkar bias patriarkal. Dzuhayatin mencoba meninjuau kembali hipotesa Max Weber yang menyatakan bahwa, perubahan sosial justru dipicu oleh perubahan teologis dan spiritual. Di dalam review ini akan membahas tulisan Dzuhayatin dalam sub bab. Pertama, "atap kaca" kesetaraan gender. Kedua, fakta manifestasi "atap kaca" gender di Indonesia. Ketiga, akar atap kaca. Keempat, Terobosan Teologis dalam Mendobrak “Atap Kaca”: Refleksi Perguruan Tinggi Islam.
Atap Kaca Kesetaraan Gender
Kesenjangan gender bukan menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Di dalam tingkat nasional maupun internasional, kesetaraan gender masih diperjuangkan. Oleh sebab itu, Dzuhayatin memaparkan fakta bagaimana kesenjangan gender masih terjadi, termasuk di Indonesia. Dzuhayatin menunjukkan bukti bahwa dunia Internasional telah berkomitmen untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberikan kuota 30% bagi wanita dalam ranah politik dan publik. Namun, Dzuhayatin menemukan fakta bahwa, sebenarnya wanita masih tertinggal jauh. Hal ini disebabkan adanya hambatan yang disebut dengan “atap kaca”. Alasan mengapa disebut dengan atap kaca sebab hambatan yang ada tidak tampak, layaknya kaca. Wanita dapat melihat posisi yang lebih tinggi, namun tidak dapat menembusnya. Lebih lanjut Dzuhayatin menunjukkan penyebab “atap kaca” adalah nilai budaya dan praktik sosial dimana patriarki dan teologi memegang kendali. Jika tidak ada “terobosan” teologis yang ramah terhadap perempuan, maka fenomena “atap kaca” akan sulit untuk dipecahkan.
Fakta Manifestasi “Atap Kaca” Gender di Indonesia
Dzuhayatin menjelaskan artikel dengan sangat runtut, bahkan ia menjelaskan intinya diawal. Penulisan artikel semacam ini sangat mempermudah pembaca untuk memahami lebih cepat. Sebab, pembaca tidak harus membaca tulisan seperti “perdebatan panjang” dan mengambil kesimpulannya sendiri. Di dalam menunjukkan fakta adanya “atap kaca” gender di Indonesia, Dzuhayatin menggambarkan manifestasinya dalam tiga bidang, yakni politik, peradilan dan pendidikan.
Pertama, pria “maha” hadir dalam publik dan politik. Pada tahun 2014, secara global Indonesia berada pada peringkat 110 dari 118 negara dalam Indeks Pemberdayaan Gender. Jika PBB menyatakan bahwa “kuota” untuk partisipasi wanita adalah 30%, maka di Indonesia itu belum tercapai. Dzuhayatin memberikan gambaran “suram” dalam birokrasi di Indonesia jika ditinjau dari sudut pandang gender. Pada tahun 2008, hanya ada 62 perempuan dari total 619 pejabat pada eselon satu di bawah Menteri. Artinya, hanya sekitar 10%. Di eselon dua, wanita hanya 622 dari 9.062 orang. Artinya, hanya 8%. Di aselon tiga, wanita hanya sebanyak 6.378 dari 44.692 orang. Artinya, hanya sebanyak 6,3%. Pada tahun 2017, posisi wanita pada eselon satu hanya sebanyak 9% dari 35.055 pejabat.
Kedua, wanita di kalangan paradilan hukum. Pada tahun 2018, dari 2.480 hakim pria, 711 diantaranya adalah wanita. Artinya, hakim wanita sebanyak 24%. Pada pengadilan banding agama, dari 369 hakim, 33 diantaranya adalah wanita. Artinya, hakim wanita sebanyak 10%.
Ketiga, kesenjangan gender dalam institusi pendidikan. Menurut Dzuhayatin, nasib wanita dalam bidang pendidikan sejalan dengan dua bidang sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan dari sekitar dua ratus perguruan tinggi negeri, jabatan rektor didominasi oleh pria. Namun, pada tahun 2014, Universitas Gadjah Mada dipimpin oleh rektor wanita. Di perguruan tinggi Islam, seperti Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Guru Besar wanita hanya sebanyak enam dari 41 orang, pada tahun 2020.
Baca Juga : Presiden Terpilih: Jalan Berliku Menuju RI 1
Akar “Atap Kaca”
Menurut Dzuhayatin, terdapat tiga sebab penopang kelanggengan “atap kaca” di Indonesia. Pertama, kontestasi nilai budaya pada konstruksi gender. Di Indonesia terutama di Jawa, dominasi pria tersirat dalam pepatah “Swargo nunut neraka katut”. Kalimat tersebut berarti, istri harus mengikuti suami bahkan dalam urusan akhirat, perihal surga atau neraka.
Kedua, kepentingan politik dari peran gender. Di dalam lingkup politik, kesetaraan gender diukur dengan akses, partisipasi sekaligus keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Akses yang setara diadvokasi melalui konstitusi, undang-undang dan kebijakan yang tidak membedakan pria dan wanita. Sedangkan, partisipasi yang setara merupakan realitas aktual terhadap keterlibatan pria dan wanita. Di Indonesia, stigma sosial “menghantui” perempuan yang memiliki kapasitas guna mengejar karir yang lebih baik daripada suami, sebab akan dianggap menimbulkan “kecacatan” dalam keluarga. Dhuhayatin secara tersirat menegaskan bahwa, konsep perihal ibu rumah tangga “ditekankan” oleh negara dan tokoh agama guna memastika posisi tunduk wanita.
Ketiga, fobia barat perihal gender. Di Indonesia, dugaan bahwa isu gender adalah isu “impor” dari barat yang digunakan para aktivis untuk mempromosikan lesbianisme. Menurut fakta yang didapatkan oleh Dzuhayatin, background Islam yang kuat dari aktivis perempuan muslim adalah kunci “penghilang” prasangka menjadi agen feminisme yang dianggap sebagai produk “impor” dari barat.
Terobosan Teologis dalam Mendobrak “Atap Kaca”: Refleksi Perguruan Tinggi Islam
Dzhuhayatin yang mengutip Lukens-Bull dalam bukunya yang berjudul “Islamic Higher Education in Indonesia: Continuity and Conflict” menyatakan bahwa, perguruan tinggi Islam memainkan peran dalam mempertahankan Islam moderat Bersama dengan dua ormas Islam besar, yakni NU dan Muhammadiyah. Islam moderat penting bagi Indonesia guna mengelola pluralitas agama dalam tatanan sosial multibudaya. Oleh sebab itu, Dzuhayatin mengusulkan dua hal yang bisa dilakukan perguruan tinggi Islam untuk mendobrak pengahalang “atap kaca” bagi kesenjangan gender. Pertama, pengembangan narasi kesetaraan gender melalui publikasi karya. Kedua, advokasi kesetaraan gender dalam pendidikan dan lembaga peradilan.
Kesimpulan
Tulisan Dzuhayatin sangat struktural. Ia menjelaskan data dan analisanya secara runtut dalam setiap sub bab. Selain itu, ia juga menyertakan pendapat dan solusinya pada hampir semua pembahasan penelitiannya. Namun, penulisan artikel ini akan lebih baik jika dijelaskan secara singkat perihal metodologi sekaligus teori yang digunakan untuk analisa. Jika dalam “selingkungan” jurnal tidak harus ada penjelasan sub bab tersendiri mengenai metodologi, maka bisa dicantumkan di abstrak dalam satu hingga tiga kalimat. Itu akan membantu pembaca untuk lebih mengetahui alur penelitian yang dilakukan. Terlepas dari sedikit kekurangan tersebut, penelitian ini sangat menarik karena mengungkap alasan baru, mengapa kesetaraan memang sulit untuk “diterapkan”. Ternyata, ada “atap kaca” yang tidak terlihat sehingga tidak dapat ditembsus.