(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Tren Perceraian Muslim di Tengah Pandemi

Riset Budaya

Tulisan berjudul “The Impact of Covid-19 Pandemic on Divorce Rates Among Indonesian Muslim Societis” adalah karya Isnawati Rais. Artikel ini terbit di Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies tahun 2021. Tujuan dari artikel ini adalah melihat dampak pandemi terhadap angka perceraian di Indonesia, sebab setelah beberapa bulan wabah melanda, media banyak melaporkan peningkatan kasus perceraian di Indonesia. Penelitian ini menggunakan kajian sosio-hukum dari laporan media dengan data statistik pada Pengadilan Agama. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, pandemi dan dampaknya terhadap masalah keluarga. Ketiga, aturan perceraian di Indonesia. Keempat, tren perceraian di tengah pandemi Covid-19. 

  

Pendahuluan

  

Tepat 8 Desember 2019, dunia dihebohkan dengan wabah yang melanda Wuhan, China, yakni Covid-19. Di Indonesia, kasus pertama terkonfirmasi pada 9 Maret 2020. Pada 14 Agustus 2021, telah terjadi 3,89 juta kasus Covid-19 di Indonesia dengan 120 ribu kematian. Virus ini sangat mudah menular melalui kontak secara langsung, sehingga diperlukan pembatasan mobilitas, jarak sosial bahkan isolasi guna melakukan pencegahan. Pemerintah Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini memberikan dampak yang signifikan terhadap sosial-ekonomi masyarakat, sehingga seiring berjalannya waktu, pemerintah melonggarkan aturannya dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Skala Mikro (PPKM).

  

UNICEF melakukan survei terkait dampak negatif yang diakibatkan oleh pandemi, salah satunya adalah permasalahan ekonomi dalam keluarga (rumah tangga). Hasil survei tersebut menunjukkan 74,3% keluarga mengalami penurunan pendapatan setelah pandemi. Di Indonesia, pada bulan Agustus 2020 muncul video antrean panjang dengan tujuan mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama Bandung. Isu ini tersebar dengan cepat melalui media. Para akademisi berusaha mempelajari fenomena ini dari berbagai sudut pandang, mengapa hal ini bisa terjadi?

  

Pandemi dan Dampaknya Terhadap Masalah Keluarga

  

Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan manusia, sebab tidak hanya pada aspek kesehatan, namun juga psikologis dan ekonomi. Keadaan tersebut memaksa pemerintah memberlakukan kebijakan untuk mencegah mobilitas masyarakat yang berdampak pada banyak aspek, terutama ekonomi. Selain itu, dampak psikologis seperti kemarahan, kebingungan dan stres juga semakin meningkat selama pandemi berlangsung.

  

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, pengangguran dan tunawisma semakin tinggi di beberapa negara, seperti China, Brazil, Italia, Amerika Serikat dan Inggris Raya. Di Indonesia, Komisi Nasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS) Perempuan mengungkapkan bahwa pandemi telah meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga. KOMNAS Perempuan telah menerima 2.389 kasus kekerasan pada tahun 2020. Hal ini meningkat 60% dibandingkan kasus kekerasan pada tahun 2019 yang berjumlah 1.413 kasus. 

  

Studi terkait dampak pandemi dengan perceraian telah dilakukan oleh beberapa akademisi. Misalnya, Manning and Payne di Amerika Serikat dan Fallen di Denmark yang menunjukkan pandemi tidak menyebabkan peningkatan angka perceraian, melainkan menurunkan minat masyarakat untuk menikah. Hal ini disebabkan adanya anggapan peningkatan risiko ketahanan keluarga. Di Indonesia, kajian tentang dampak pendemi terhadap perceraian dilakukan oleh Ramadhani dan Nurwati, serta Ulfa dan Bunaiya. Kedua studi tersebut fokus mempelajari faktor penyebab peningkatan angka perceraian, yakni ekonomi, pernikahan usia dini dan seringnya konflik. Artinya, ada hal yang perlu dikritisi bahwa hasil penelitian tersebut masih sebatas faktor umum penyebab perceraian, seperti yang disajikan dalam laporan Mahkamah Agung Indonesia setiap tahunnya. 


Baca Juga : Raih Doktor Tentang Produktivitas Perempuan Dalam Industri Kreatif

  

Aturan Perceraian di Indonesia

  

Di Indonesia, perkawinan dan perceraian diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974. Jika merujuk pada aturan tersebut, maka perkawinan dan perceraian harus didaftarkan dan dicatat oleh negara. Kantor Urusan Keagamaan (KUA) mendokumentasikan pernikahan dan Pengadilan Agama yang memutuskan perceraian. Aturan tersebut bertujuan untuk melindungi setiap pihak yang terlibat pasca perceraian, terutama perempuan dan anak-anak. Prosedur ini memungkinkan akta nikah dan cerai dapat diperoleh sekaligus digunakan untuk menuntut hak masing-masing. 

  

Tren Perceraian di Tengah Pandemi Covid-19 

  

Terdapat beberapa fakta terkait tren perceraian di tengah pandemi saat ini. Pertama, mempertanyakan hiruk-pikuk media. Isu peningkatan perceraian terjadi pada bulan Agustus 3030, ketika antrean panjang di Pengadilan Agama Soreang Tersebar di Media Sosial. Setelah itu, berita peningkatan perceraian terus digaungkan pada kabupaten lain, seperti Cirebon, Batang, Jambi dan Indramayu. Setelah video tersebut viral, situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika mengumumkan adanya ‘disinformasi’ dalam berita peningkatan kasus perceraian. Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, Aco Nur menyatakan bahwa kenaikan angka perceraian hanya 2% dari jumlah perkara yang diterima Pengadilan Agama. Fakta ini menyiratkan adanya ‘hiperbola’ yang dilakukan oleh media dalam memberitakan peningkatan angka perceraian di masa pandemi.

  

Kedua, data statistik tingkat perceraian. Kumpulan data kasus perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama tahun 2015-2020 tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Bahkan, perbandingan data antara tahun 2019 dan 2020 menunjukkan sedikit penurunan dalam tingkat perceraian. Di Bandung, Pengadilan Agama Soreang menerima 1,25% kasus perceraian yang lebih tinggi pada tahun 2020, daripada tahun 2019. Pada tahun 2009, terdapat 9.006 kasus sedangkan pada tahun 2020 sebanyak 9.119 kasus. Tren semacam ini juga terjadi pada Pengadilan Agama lain, seperti Pengadilan Agama Cirebon, Cilegon, Semarang, Klaten, Gresik, Parepare, Jambi dan Jakarta Selatan. 

  

Ketiga, faktor penyebab perceraian. Beberapa laporan media menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga perkara umum yang menyebabkan perceraian yakni, masalah ekonomi, konflik terus menerus dan satu pasangan meninggalkan yang lain. Sayangnya, ekonomi adalah faktor utama yang menjadi alasan perceraian terbanyak selama pandemi. Misalnya, di Batang, terdapat 1.119 pasangan yang bercerai selama pandemi akibat persoalan ekonomi. 

  

Kesimpulan

  

Pada dasarnya, penelitian ini belum menemukan relasi yang signifikan antara pandemi Covid-19 dengan tingkat perceraian yang semakin bertambah. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh Covid-19 terhadap peningkatan perceraian belum terbukti.  Artinya, pandemi Covid-19 saat ini tidak banyak berdampak pada dinamika perceraian, berpengaruh signifikan terhadap ketidakstabilan ekonomi rumah tangga dan penanganan kasus-kasus dalam rumah tangga. Dampak Pandemi Covid-19 memang nyata, baik dari segi psikologi, ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Namun, meskipun stabilitas keluarga berada pada situasi ‘rentan’ selama pandemi, perceraian bukanlah solusi yang banyak menjadi pilihan bagi masyarakat Indonesia.