(Sumber : BBC)

Pilpres Usai Sudah: Ikhtiar dan Takdir Negosiatif

Opini

Saya yakin bahwa semua usaha sudah dikerahkan untuk menjadi pemenang di dalam pilpres 2024. Semua paslon, timses, pendukung, dan simpastisan sudah mengerahkan semua usaha dan kerja nyatanya untuk memenangkan pertarungan di dalam dunia politik praktis, dan akhirnya memang harus didapatkan seorang paslon yang akan memenangkan perhelatan demokrasi yang terjadi di Indonesia.

   

Memang hasil finalnya tentu belum karena masih menunggu perhitungan dan rekapitulasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sedang bekerja secara berjenjang. Mulai dari KPU daerah sampai KPU pusat. Tetapi hasil Quick Count sudah memperoleh gambaran siapa yang akan menjadi pemenangnya. Hanya apakah dalam satu putaran atau dua putaran. Tetapi melihat hasil perhitungan Quick Count yang sudah berjalan rasanya akan cukup satu putaran saja. Jika semua lembaga survey memenangkan Prabowo-Gibran, di atas 55%, maka peluang untuk memenangkan pilpres dalam satu putaran bukan sesuatu yang mustahil. 

  

Saya tentu tidak akan mengomentari atas perhitungan Quick Count sebab ada banyak ahli yang tentu pandangannya jauh lebih akurat dibandingkan pendapat saya, mereka adalah para pakar di bidang ilmu politik yang sudah berkali-kali menyelenggarakan Quick Count dan juga para ahli yang berkompeten untuk memberikan komentar.

  

Saya hanya akan melihat dari perspektif sosio-religious yang masih memungkinkan peluang untuk membahasnya. Ada tiga hal yang ingin saya ulas terkait dengan pilpres 2024, yaitu: Pertama,  bahwa pesta demokrasi yang terjadi pada tahun 2024 memberikan indikasi bahwa masyarakat Indonesia memberikan partisipasinya secara memadai. Tentu ada yang tidak datang ke TPS dengan berbagai alasan, bisa karena pekerjaan, tidak terdaftar atau memang sengaja tidak hadir, namun dari TPS yang tersebar di seluruh Indonesia, bahwa masyarakat secara antusias untuk menggunakan hak suaranya. Masyarakat merasakan bahwa memilih presiden dan anggota legislative adalah kewajiban yang perlu untuk ditunaikan. Kesadaran untuk memilih pemimpin negara, siapapun nanti pada akhirnya, tentu bisa menggambarkan tentang bagaimana perilaku politik masyarakat. Tentu media social turut serta memberikan kontribusinya untuk keterlibatan masyarakat di dalam pemilu 2024. Hingar bingar kampanye melalui media social, baik yang black champaign maupun yang ethical champaign, tentu memiliki sejumlah pengaruh terhadap perilaku memilih. 

  

Kedua, rapor merah di dalam pelaksanaan Pemilu tentu masih ada. Di antara yang menonjol adalah mengenai money politics. Jika di masa lalu disebut sebagai “serangan fajar” artinya pemberian barang atau uang atau lainnya untuk memenangkan pertarungan dalam pilpres dan pileg dilakukan secara diam-diam, maka sekarang semakin transparan. Dilakukan secara terang-terangan tanpa basa-basi. Hal yang unik bahwa masyarakat menerima uang atau barang tetapi mereka sudah memiliki preferensi siapa yang akan dipilihnya. 

   

Indonesia merupakan negara yang masih berada di dalam transisi demokrasi. Amerika Serikat membutuhkan waktu ratusan tahun untuk berdemokrasi langsung. Meskipun demikian juga masih ada plus-minusnya. Pilihan presiden dalam demokrasi langsung baru berjalan mulai  tahun 2004, pilpres dan pileg dilakukan sesuai dengan regulasi, one man one vote. Melalui perubahan inilah, maka merebak berbagai perubahan dalam sikap masyarakat menghadapi pilpres dan pileg, terutama terkait dengan money politics yang terjadi di dalam pesta demokrasi. Mulai zaman SBY hingga Jokowi, money politics tidak semakin berkurang tetapi semakin transparan. Pelanggaran-pelanggaran di dalam penyelenggaraan pemilu juga dirasakan. Pelanggaran tersebut terkait dengan distribusi surat suara, daftar pemilih, penggalangan massa, dan kesulitan dalam menggunakan haknya, intimidasi  dan seterusnya. Pelanggaran secara teknis maupun non teknis tentu akan dapat merusak atas pemilu yang sesuai dengan misinya adalah langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) dan jujur dan adil (jurdil). 

  

Ketiga, pemenang pilpres tentu sudah semakin dekat. Berdasarkan pengalaman pilpres di masa lalu, perbandingan perhitungan Quick Count dengan hasil perhitungan riil dari KPU tidak terpaut jauh, bahkan bisa menggambarkan hasil Quick Count adalah miniature kemenangan paslon. Itulah sebabnya sore setelah Pilpres, maka kubu Prabowo-Gibran sudah mengepalkan tangan sebagai tanda pemenang pemilu. Artinya, bahwa kemenangan sudah di tangan, sesuai dengan hasil perhitungan cepat.

  

Sesungguhnya menjadi pemenang pemilu merupakan ketentuan Tuhan. Di dalam konsepsi Islam disebut sebagai takdir mu’allaq atau takdir yang kepastiannya dipengaruhi oleh factor manusia sebagai pelaku takdir. Jadi takdir mu’allaq bukanlah sesuatu yang kepastiannya sangat jelas, berbeda dengan takdir tentang  umur, kelahiran, dan kematian sebagai takdir mubram. Sebagai takdir yang “tergantung” maka manusialah yang menjadi washilah atau perantaranya. Artinya, kemenangan Prabowo-Gibran tentu merupakan kepastian Tuhan yang sudah tercatat di dalam kitab takdir di Louhil mahfudz, akan tetapi realitasnya terjadi melalui usaha-usaha nyata manusia.

  

Jadi takdir untuk menjadi presiden adalah takdir negosiatif, artinya kepastiannya sudah ada hanya memerlukan upaya sungguh-sungguh dari penerima atau pelaku takdir untuk merealisasikannya.  Tentang bagaimana memenangkan pertarungan tentu sudah ada strateginya masing-masing. Meskipun sudah ditakdirkan dan tercatat di dalam kitab takdir, namun jika tidak ada upaya yang serius dari manusia pelaku takdir, maka takdir itu akan menggantung. 

  

Upaya yang dilakukan oleh Probowo-Gibran tentu sangat optimal dengan mengerahkan semua potensi untuk mencapai kemenangan, dan inilah akhir yang  mengantarkannya untuk menjadi pemimpin negeri ini.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.