Penerapan Ketentuan Korupsi pada Era Modern
Riset SosialArtikel berjudul “Compromising and Repositioning the Meaning of Corruptors as Thieves in Applying the Provisions of Shara’ into the Modern Era Context” merupakan karya Helmina, Hermanto Harun, Doli Witro, Muh Zaitun Ardi, dan Darti Busni. Tulisan ini terbit di Jurnal Al-‘Adalah tahun 2024. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis ketentuan hukuman bagi pencuri sebagaimana diatur dalam surah al-Maidah ayat 38 untuk kemudian diterapkan kepada pelaku korupsi. Artikel tersebut merupakan hasil penelitian kualitatif dengan pendekatan kebahasaan. Sumber data primernya adalah Al-Quran, sedangkan sumber data sekunder berupa artikel, buku, dan dokumen lain yang relevan. Data dikumpulkan melalui metode studi literatur yang kemudian diolah, dianalisis, dan dibuat kesimpulan. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, pencurian dalam al-Qur’an. Ketiga, korupsi dalam hukum pidana Indonesia dan Islam. keempat, analogi makna koruptor dan pencuri.
Pendahuluan
Hasil survei yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan skor 9,07 dari 10. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 7,69 poin. Hasil survei tersebut kemudian diperkuat oleh penelitian Transparency International (TI) pada tahun 2014 yang memaparkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Dunia (World Corruption Perception Index/TI) Indonesia berada pada peringkat 107 dari 175 negara. Artinya, Indonesia yang disebut sebagai salah satu bintang negara berkembang justru menjadi negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa korupsi dapat memengaruhi berbagai level kepemimpinan politik, termasuk lingkungan bisnis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tindak pidana korupsi telah menggerogoti keuangan negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat pada umumnya, telah dipotong sedemikian rupa dan digunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi, keluarga, atau golongan. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di tingkat pemerintahan pusat/elit tetapi juga merembet ke provinsi dan kabupaten bahkan hingga ke tingkat pemerintahan terendah, yakni tingkat RT. Singkat kata, korupsi telah menjadi fenomena kecurangan yang lazim dan kerap terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kerugian yang sangat besar yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi ini bagi negara dan masyarakat membuat pemerintah beserta sejumlah komponen masyarakat antikorupsi berupaya berbagai cara untuk menekan perkembangan kasus tindak pidana korupsi. Cara yang ditempuh antara lain dengan melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan atau pengaturan, pengembangan sumber daya manusia, dan digitalisasi pemerintahan. Di kalangan masyarakat sendiri, muncul suara-suara untuk memberikan hukuman yang berat kepada para pelaku, menyita seluruh asetnya, dan membuat mereka semiskin-miskinnya. Namun, upaya-upaya tersebut hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Hal inilah yang kemudian mendorong sebagian masyarakat untuk beralih ke hukum pidana Islam dan berupaya mencari alternatif penyelesaiannya.
Sayangnya, upaya penerapan hukum pidana Islam (jinâyah/(‘iqâbah) di Indonesia tidaklah mudah dan harus menempuh jalan yang sempit dan berliku. Hal ini bukan saja karena Indonesia bukan negara agama (Islam) tetapi juga karena negara ini menganut sistem hukum pidana konvensional (hukum positif) yang landasan filosofisnya sangat berbeda dengan hukum Islam. Selain itu, hukum Islam tidak mengatur tindak pidana korupsi. Sistem hukum ini hanya mengatur satu bentuk tindak pidana, yaitu mengambil harta orang lain, yang disebut al-sarq (pencurian).
Pencurian dalam Al-Qur’an
Umat Islam dilarang untuk memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak sah atau dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti: mencuri, merampok, menipu, menggelapkan harta orang lain, melakukan riba, dan sebagainya. Perbuatan tersebut secara tegas disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur\'an, salah satunya adalah QS al-Maidah ayat 38. Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa hukuman yang harus dijatuhkan kepada pelaku pencurian, baik laki-laki maupun perempuan, adalah potong tangan.
Baca Juga : Babak Baru Pilpres 2024: Berharap MK Putuskan yang Terbaik
Perlu ditegaskan bahwa hukuman potong tangan bagi pencuri tidak dapat diterapkan setiap kali terjadi pencurian. Sebab, dalam hukum acara Islam telah ditetapkan bahwa untuk menjatuhkan hukuman, harus terlebih dahulu dipenuhi beberapa unsur dan syarat tertentu, antara lain: (1) Pelaku cakap; (2) Adanya kesengajaan atau unsur kesengajaan; (3) Barang yang diambil seluruhnya adalah milik orang lain; (4) Disembunyikan di tempat penyimpanan; (5) Dilakukan secara sembunyi-sembunyi; (6) Dalam keadaan wajar (bukan dalam keadaan darurat).
Korupsi dalam Hukum Pidana Indonesia dan Islam
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus yang memiliki berbagai arti, yaitu tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, amoralitas, penyimpangan dari kesucian, dan perkataan atau pernyataan yang menghina atau memfitnah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Di Indonesia, penanganan tindak pidana korupsi diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi41 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur beberapa bentuk hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku berdasarkan bentuk perbuatan dan akibat yang timbul akibat perbuatan tersebut. Hukuman terendah yang terdapat dalam undang-undang tersebut adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama hukuman seumur hidup atau hukuman mati jika dilakukan dalam keadaan tertentu.
Berdasarkan hukum Islam, istilah korupsi sama sekali belum dikenal pada masa Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Saat itu, yang dikenal hanyalah istilah ghulul , yaitu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang yang berkaitan dengan harta yang dipercayakan kepadanya. Tindak pidana ghulul dilarang oleh syariat, baik dalam Al-Qur\'an maupun Hadits. Berdasarkan Al-Qur\'an, ghulul dipandang di satu sisi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah, dan di sisi lain, dikategorikan sebagai tindakan memakan harta secara melawan hukum.
Hukum Islam tidak mengatur secara khusus tentang jarimah ghulul, baik dari segi bentuk maupun sanksi hukumnya. Jadi, jarimah ghulul termasuk dalam jarimah ta’zir, yaitu jarimah yang tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, baik dari segi bentuk jarimah maupun uqûbatnya (sanksi hukumnya). Jarimah ta’zir adalah perbuatan dosa yang tidak dikenakan had (hukuman utama) dan tidak dikenakan kifarat (hukuman pengganti).
Analogi Makna Koruptor dan Pencuri
Para ulama klasik maupun kontemporer belum menemukan istilah yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, istilah korupsi di kalangan ulama dapat memiliki berbagai makna seperti: ghulul , risywah, mukhâharah, ghasab, sarîqah, intikhâb , dan ahlu sukh. Istilah korupsi yang dekat dengan kajian Islam adalah ikhtilâs, ghulul, risywah, dan al-fasad.
Pelaku tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana al-hirâbah, yaitu orang yang membuat kerusakan di muka bumi dan termasuk orang yang memerangi Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ancaman hukumannya dapat berupa disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau diasingkan jauh dari negerinya. Al -fasad ditimbulkannya sangat luas dan berat. Bentuk hukumannya secara umum disebut ta\'zir. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam dalil tentang korupsi, dapat dipahami bahwa bentuk hukuman dalam bentuk ta\'zir itu banyak macamnya. Tergantung pula pada kesalahan dan macam fasad yang dilakukan. Terkait dengan uqûbat (hukuman) ini, perlu pula ditelusuri bagaimana cara pelakunya melakukannya dan dalam hal apa saja perbuatannya ditetapkan. Baru pada saat itulah hukuman mereka dapat diputuskan.
Dilihat dari sudut pandang Hukum Pidana Islam, tindak pidana korupsi tidak dapat dikategorikan sebagai jarimah hudud, yang mengharuskan pelakunya dipotong tangannya. Namun, halangan tersebut tidak serta merta berarti tindak pidana korupsi tidak apa-apa dan pelakunya terbebas dari tuntutan hukum. Sebaliknya hakim dapat menjatuhkan hukuman berat berupa ta\'zir agar pelaku jera, asalkan hakim tersebut memiliki keberanian dan keimanan. Hukuman potong tangan juga dapat diartikan secara kiasan, yaitu melumpuhkan kekuasaannya. Artinya sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat berupa pidana penjara dan denda, dimasukkan dalam daftar orang tercela, diberhentikan, atau bahkan dijatuhi hukuman mati. Padahal hukuman mati dianggap inkonstitusional.
Bila dilihat dari segi unsur-unsur tindak pidana korupsi, maka dapat digolongkan sebagai perbuatan pencurian secara umum, yaitu mencuri. Akan tetapi, secara khusus korupsi memiliki pengertiannya sendiri, yang akibatnya merupakan suatu bentuk hukuman khusus bagi pencuri seperti halnya koruptor. Hal ini dilaksanakan agar para koruptor menyadari bahwa perbuatannya merupakan pengkhianatan terhadap negara dan telah mengancam integritas, kredibilitas, serta eksistensi negara. Termasuk dari segi dosa, korupsi merupakan dosa yang lebih besar daripada mencuri, karena korupsi bukan hanya merupakan kejahatan terhadap harta benda, tetapi juga mengandung unsur-unsur memperkokoh kepercayaan. Pencuri dan koruptor memiliki persamaan, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dengan cara sengaja mengambil alih harta milik orang lain secara diam-diam. Hanya saja berbeda pada tingkat bahaya, pengaruh, dan jangkauannya. Pencuri membahayakan orang atau pihak lain secara terbatas, sedangkan koruptor membahayakan orang atau pihak lain secara cukup luas, bahkan membahayakan negara.
Kesimpulan
Istilah koruptor dapat diibaratkan dengan pencuri sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 38 dalam hal mengambil harta yang bukan haknya dengan sengaja. Akan tetapi, meskipun terdapat kemiripan dalam hal perbuatan dengan pencuri jika dilihat dari segi hukum, namun korupsi tergolong kejahatan luar biasa karena dampaknya yang luas sehingga perlu dipidana sebagaimana mestinya. Pada konteks ini, pidana pencurian berupa pidana potong tangan dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana korupsi apabila hakim menilai bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi syarat dan unsur hukum yang berlaku. Tentunya hakim perlu melakukan pertimbangan yang komprehensif dan sangat cermat sebelum memutuskan bahwa pelaku tindak pidana tersebut layak untuk menerima pidana potong tangan.