Urgensi "Mushthalah al-Tafsir" dan Keutamaan Ilmu Tafsir
Daras TafsirDengan mengharap rida Allah SWT dan ilmu yang bermanfaat dan berkah, mari sejenak kita membaca surah al-Fatihah yang kita hadiahkan untuk penulis kitab Zubdah al-Itqan yang sedang kita kaji bersama. Untuk Abuya, al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, al-Fatihah.
Urgensi Mempelajari Mushthalah al-Tafsir
Abuya menjelasakan:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya wajib mengetahui Mushthalah al-Tafsir sebelum membaca tafsir, agar seseorang benar-benar dalam pandangan yang tajam lagi sempurna ketika membacanya. Maka ia mengetahui al-Makki – al-Madani, al-Nasikh – al-Mansukh, dan Asbab al-Nuzul. Pun demikian pula memahami makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Barang siapa yang mengarungi tafsir sebelum mengetahui Mushthalah-nya, niscaya ia dalam kebingungan, amat sedikit semangatnya (malas) dan tujuan-tujuan akan menjadi rancu baginya.
Dari penjelasan Abuya di atas, kita dapat memahami betapa pentingnya mempelajari Mushthalah al-Tafsir atau yang biasa disebut dengan ‘Ulum al-Qur’an. Atau bisa pula merujuk pada Ilmu Tafsir. Yang pasti, dengan mempelajari ilmu ini, seseorang bisa mengetahui dan memahami istilah-istilah yang sering digunakan di dalam tafsir-tafsir al-Qur’an. Sehingga, ketika Ibnu Katsir “mempermasalahkan” nasikh-mansukh-nya suatu ayat misalnya, ia tidak lagi mempertanyakan, “Apa itu nasikh-mansukh?” Pun demikian juga dengan asbab al-nuzul, makki-madani, ‘am-khash, muthlaq-muqayyad, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, ketika menafsirkan surah al-Baqarah [2]: 219, Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait status ayat tersebut. Apakah kandungan hukumnya telah di-naskh oleh surah al-Ma’idah [5]: 5, atau justru sebaliknya? Demikian juga dengan Ibnu Katsir, ketika memulai penafsirannya atas surah al-Fatihah. Beliau menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait status makkiyyah atau madaniyyah-nya. Nah, di sini lah letak pentingnya mempelajari ‘Ulum al-Qur’an, Ilmu Tafsir, atau Mushthalah al-Tafsir, agar para pembaca kitab-kitab tafsir itu tidak kebingungan manakala mendapati istilah-istilah tersebut.
Tentu masih banyak contoh istilah-istilah ‘Ulum al-Qur’an yang seringkali dipakai oleh para mufasir di dalam kitab tafsirnya. Namun, setidaknya seperti itu lah gambaran umumnya. Sebagai catatan akhir pada sub-judul ini, penulis ingin menggarisbawahi bahwa untuk memudahkan para pembaca kitab tafsir, Ahmad Sa‘d al-Khathib telah menghimpun istilah-istilah tersebut dalam satu karya khusus yang ia berjudul, Mafatih al-Tafsir. Silahkan merujuk ke sana untuk melihat lebih lanjut.
Baca Juga : Perubahan Dramatis Perilaku Islam di Indonesia
Ilmu Tafsir: Dari Definisi Hingga Keutamaannya
Setelah menjelaskan pentingnya mempelajari Mushthalah al-Tafsir di atas, kini Abuya menjelaskan:
Ilmu Tafsir itu (secara bahasa) terambil dari perkataan mereka (orang-orang Arab), “Fassartu al-Syai’”, yakni bila engkau menjelaskan sesuatu. Ilmu tersebut dinamai dengan (Ilmu) Tafsir karena ia menjelaskan al-Qur’an dan menerangkannya.
Adapun definisinya adalah sebuah ilmu yang mempelajari hal-hal seputar al-Qur’an al-Karim, dari sisi turunnya, seperti makkiyyah atau madaniyyah-nya; dan semisalnya, seperti sanadnya, penyampaiannya, lafadz-lafadznya, makna-maknanya yang berhubungan dengan hukum-hukum, dan lain sebagainya.
Topik pembahasannya adalah kalam Allah ‘Azza wa Jalla (al-Qur’an) dari sisi yang telah disebutkan sebelumnya.
Faedah mempelajarinya adalah mengantarkan pada pemahaman atas makna-makna al-Qur’an dan mengamalkannya setelah memahaminya.
Buahnya adalah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat (al-‘Urwah al-Wutsqa, yakni al-Qur’an) dan keberuntungan dengan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Baca Juga : Empati dalam Aksi: Daging Kurban untuk Kaum Fakir Miskin, Bukan Kaum Kaya
“Peletaknya” adalah Allah SWT dan Nabi-nya ‘Alaihi al-Shalah wa al-Salam. Oleh karenanya, ia adalah Ilmu Ilahi-Nabawi.
Sumbernya adalah dari al-Qur’an itu sendiri, dan al-Sunnah, serta gaya-gaya bahasa orang Arab.
Masalah-masalah yang dikaji adalah sesuatu yang diambilkan dari al-Qur’an, yakni hukum-hukum, akidah-akidah, permisalan-permisalan dan nasihat-nasihat.
Nisbahnya adalah bahwa ia termasuk salah satu dari ilmu-ilmu agama, bahkan Ilmu Tafsir itulah “punggawanya”, karena ia diambilkan atau bersumber dari al-Qur’an (langsung) dan menjadi patokan yang pasti setelah dilakukan verifikasi kebenaran atasnya.
Keutamaannya adalah bahwa ia termasuk ilmu yang paling mulia. Karena sesungguhnya kemuliaan ilmu itu didasarkan pada kemuliaan topik-topik pembahasannya, sedangkan topik pembahasan Ilmu Tafsir yang tidak lain adalah al-Qur’an itu paling agung nan mulia.
Sampai di sini, dari penjelasan Abuya di atas, ada 3 poin penting yang perlu penulis uraikan lebih lanjut. Pertama, tentang definisi Ilmu Tafsir secara bahasa. Jadi, secara bahasa, istilah “tafsir” itu terambil dari bahasa Arab, yakni fassara – yufassiru, yang berarti menyingkap dan menjelaskan. Kata “tafsir” ini hanya sekali digunakan oleh al-Qur’an, yakni pada surah al-Furqan [25]: 33 berikut ini:
Tidaklah mereka (orang-orang kafir) datang kepadamu (Nabi Muhammad SAW) membawa sesuatu (berupa pertanyaan, tuduhan maupun sanggahan) yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang haq (keterangan yang penuh kebenaran) dan yang paling baik penjelasannya (ahsana tafsira).
Kedua, perlu pula digarisbawahi bahwa definisi Ilmu Tafsir secara istilah yang dijelaskan oleh Abuya di atas, adalah salah satu dari beragam definisi yang diajukan oleh para ulama. Bahkan, bila dilihat dari penjelasannya, definisi Ilmu Tafsir menurut Abuya itu mirip seperti definisi ‘Ulum al-Qur’an. Manna‘ al-Qaththan misalnya, mendefinisikan ‘Ulum al-Qur’an sebagai, “Sebuah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an, dari sisi pengetahuan tentang asbab al-nuzul, pengumpulan al-Qur’an dan perurutannya, pengetahuan tentang al-makki dan al-madani, al-nasikh dan al-mansukh, al-muhkam dan al-mutasyabih, dan lain sebagainya, yang mempunyai keterkaitan dengan al-Qur’an.”
Baca Juga : Tantangan Perguruan Tinggi Swasta di Era Disruptif
Adapun contoh definisi Ilmu Tafsir menurut ulama yang lain adalah, “Sebuah ilmu yang di dalamnya dibahas tentang tata cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an; petunjuk-petunjuknya; hukum-hukumnya, baik secara individual maupun menurut susunan kalimat; makna-makna yang dikandung oleh susunan kalimat; dan beberapa pembahasan pelengkap atas hal-hal tersebut.” Definisi ini ditawarkan oleh Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745 H) dalam mukadimah tafsirnya yang monumental, al-Bahr al-Muhith.
Sedangkan menurut al-Zarkasyi (w. 794 H), Ilmu Tafsir adalah, “Sebuah ilmu yang dengannya, pemahaman tentang kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam bisa diketahui, juga penjelasan makna-maknanya, serta pengambilan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.” Namun, di tempat lain, beliau mendefinisikan Ilmu Tafsir sebagai, “Sebuah ilmu (yang membahas tentang) turunnya suatu ayat, surah dan kisah-kisahnya; isyarat-isyarat yang turun di dalamnya; kemudian urutan makkiyyah dan madaniyyah-nya; muhkam dan mutasyabih-nya; nasikh dan mansukh-nya; khash dan ‘am-nya; muthlaq dan muqayyad-nya; serta mujmal dan mufassar-nya.”
Kemudian, dari definisi-definisi tersebut, Muhammad ‘Afifuddin Dimyathi meng-khulashah-kan, bahwa Ilmu Tafsir adalah, “Sebuah ilmu yang dengannya, diharapkan mampu mengantarkan pada pengetahuan tentang maksud (firman) Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad) Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni al-Qur’an), sesuai dengan kemampuan manusia.”
Ketiga, patut diakui bahwa ada banyak sekali riwayat-riwayat, baik dari Sahabat maupun Tabi‘in, berkenaan tentang keutamaan mempelajari Ilmu Tafsir. ‘Ali bin Thalib misalnya, beliau memuji keilmuan sahabat Jabir bin ‘Abdillah karena ia mengetahui betul penafsiran surah al-Qashash ayat 85 berikut ini:
Sesungguhnya Yang mewajibkan atasmu (wahai Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan dan mengamalkan tuntunan) al-Qur’an (yakni Allah SWT), benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (ke Mekah atau ke akhirat kelak). Katakanlah (Nabi Muhammad SAW), “Tuhan Pemeliharaku lebih mengetahui orang yang datang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.”
Pada konteks ini pula, Mujahid, seorang ulama kenamaan di Era Tabi‘in, berkata, “Makhluk yang paling dicintai Allah SWT adalah mereka yang paling mengetahui tentang apa (yakni kitab) yang Dia Turunkan.” Bahkan, saking penting, utama dan mulianya ilmu ini, tidak sedikit dari mereka yang berusaha semaksimal mungkin untuk mempelajari dan mendalaminya. Seperti Masruq yang melakukan perjalanan ke Bashrah untuk mempelajari penafsiran suatu ayat. Tetapi, ketika telah sampai di sana, dikatakan kepada beliau, “Sungguh, orang yang menafsirkan ayat itu telah melakukan perjalanan ke Negeri Syam.” Mendengar berita tersebut, tanpa berpikir panjang, beliau pun bergegas ke sana! Ada juga ‘Ikrimah yang mencari penjelasan tentang nama seorang lelaki yang dimaksud oleh surah al-Nisa’ ayat 100 selama 14 tahun, hingga pada akhirnya beliau mengetahuinya!
Sebagai penutup, mari kita simak cerita Ibnu ‘Abbas, Sang Turjuman al-Qur’an, berikut ini:
Baca Juga : Menjadi Doktor: Ajib Meneliti Zakat Produktif
Aku berdiam selama 2 tahun, hendak bertanya kepada ‘Umar tentang dua perempuan yang berselisih di hadapan Rasulullah Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak ada satu pun yang menghalangiku untuk menanyakannya kecuali besarnya kewibawaan beliau. (Tatkala pertanyaan itu berhasil ku sampaikan), beliau pun menjawab, “Kedua perempuan itu adalah Hafshah dan ‘Aisyah.”
Demikian kajian kitab Zubdah al-Itqan pada kesempatan kali ini. Semoga apa yang telah kita pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan berkah, serta bisa kita lanjutkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Allaahumma Aamiin, wa Shalla Allahu ‘ala Sayyidina Muhammad al-Mushthafa.
Referensi
‘Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi, Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, Dar Ibn Hazm, 2003), 131.
Muhammad ‘Afifuddin Dimyathi, ‘Ilm al-Tafsir: Ushuluhu wa Manahijuhu (Sidoarjo: Lisan ‘Arabi, 2016), 1-3.
Manna‘ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Surabaya: al-Hidayah, 1973), 15-16.
Abi al-Fida’ Isma‘il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), Vol. 1, 18.
Abi Hayyan al-Andalusi al-Gharnathi, Tafsir al-Bahr al-Muhith (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2002), Vol. 1, 23.
Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Dar al-Turats, 1984), Vol. 1, 13, vol. 2, 148.
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima Tadhammanahu min al-Sunnah wa Ay al-Furqan (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2006), Vol. 1, 46-47.