(Sumber : www.nursyamcentre.com )

Kompetisi Otoritas Agama

Horizon

Oleh Bambang Subandi

(Prodi Manajemen UINSA Surabaya)

  

KH. Hasyim Asya’ari dalam kitab Arba‘in-nya menuliskan:

  

‘Abdul Malik bin ‘Amr telah bercerita kepada kami, Katsir bin Zaid telah bercerita kepada kami, dari Dawud bin Abi Shalih. Ia berkata, “Pada suatu hari Marwan keluar istana. Tiba-tiba ia mendapati seorang lelaki yang menundukkan wajahnya ke kuburan. Marwan bertanya, ‘Apakah engkau tau apa yang engkau lakukan?’ Lelaki itu pun menoleh, ternyata ia adalah Abu Ayyub (seorang Sahabat Nabi). Ia menjawab, ‘Iya, aku pernah mendatangi Rasulullah SAW dan aku tidak pernah mendatangi al-Hajar. Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah menangisi agama bila ia dipimpin oleh ahlinya, tapi tangisilah bila ia dipimpin oleh yang bukan ahlinya.’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, vol. 38, h. 558)

  

Shalat Isya’ telah usai dilaksanakan. Para pemuka agama yang terkumpul di masjid ini belum membubarkan diri dari barisan shalat. Mereka masih menikmati sakralitas shalat yang dipimpin oleh Hadratus Syekh. Begitu Hadratus Syekh berdiri untuk menunaikan shalat sunah, hampir semua jamaah juga mengikuti Hadratus Syekh. Usai shalat sunah, Hadratus Syekh mempersilahkan para pemuka agama untuk membentuk lingkaran majelis atau halaqah. Tiba-tiba, Hadratus Syekh mendengar kegaduhan dari luar masjid. Kelompok pemuda Islam ingin untuk menghadap Hadratus Syekh. “Persilahkan pemimpin dari mereka untuk berbicara di hadapan kita,” pinta Hadratus Syekh.

  

“Assalamu’alaikum”, salam seorang anak muda dengan santun.

  

“Wa‘alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawab peserta majelis secara serempak.

  

Anak muda ini mencium tangan para pemuka agama satu per satu. Tangan terakhir yang dicium adalah tangan Hadratus Syekh. Bagai anak sendiri, Hadratus Syekh memberikan tempat duduk di sebelahnya. Dengan tepukan pundak, Hadratus Syekh berkata kepada pemuda tersebut, “Sampaikan aspirasi kelompokmu dengan singkat dan jelas. Perkenalkan dirimu dan kelompokmu dahulu.” Pemuda ini fasih dalam mengucapkan salam dan pembukaan ceramah. Dengan percaya diri, pemuda yang memperkenalkan dirinya sebagai Muhammad Idris ini mengemukakan persoalan utamanya.

  


Baca Juga : Refleksi Akhir Tahun: Mungkinkah Smart University Pada PTKIN (1)

“Kami berasal dari Mojokerto. Umat Islam Mojokerto taat kepada para ulama yang dipimpin oleh Kyai Iskandar. Tiga hari yang lalu, Kiai Iskandar wafat, padahal Kyai Iskandar berencana untuk hadir di forum ini. Tidak ada ulama yang berani untuk menggantikan posisi Kiai Iskandar. Adipati membaca kondisi ini sebagai peluang untuk tokoh agama yang dekat dengannya, yaitu Kiai Hakim. Para ulama Mojokerto gelisah dan menolak keputusan Adipati tersebut. Mereka menilai Kiai Hakim sebagai kyai langgar, bukan kyai pesantren. Kemampuan Kyai Hakim dalam membaca kitab kuning masih di bawah standar. Kiai Hakim sendiri menyadari kemampuannya, namun ia sulit untuk menolak keputusan Adipati”.

  

Hadratus Syekh meneteskan air mata setelah mendengar uraian dari pemuda yang cerdas dan santun ini. Hadratus Syekh mengangkat kepalanya. Beliau merasakan hal yang berat untuk mengatakan sesuatu. Beliau memandang masing-masing pemuka agama satu per satu hingga tangisan Hadratus Syekh tidak bisa terbendung. Semua pemuka agama juga menangis. Suasana hening sejenak. “Akhir zaman, akhir zaman, akhir zaman,” kata-kata meluncur dari bibir basah Hadratus Syekh. Setelah ucapan salam dan pembukaan ceramah, Hadratus Syekh menyampaikan nasehat sebagai jawaban atas aspirasi para pemuda Islam Mojokerto itu.

  

“Saudara-saudara, Islam itu adalah Kebenaran. Pemikiran apapun tentang kebenaran akan terkalahkan oleh Kebenaran Islam. Islam pun memiliki daya tarik bagi umat manusia. Tidak sedikit manusia memanfaatkan Islam untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kepentingan politik dan ekonomi sering memanfaatkan Islam untuk mengangkat reputasi. Politik berhubungan dengan kekuasaan dan ekonomi berkaitan dengan keuangan. Akhirnya, umat manusia melihat Islam dengan lukisan yang buruk: egois, kejam, kotor, bodoh dan miskin. Tidak sedikit umat Islam terfitnah oleh agamanya. Kelak, kepentingan apapun akan terbongkar oleh Kebenaran Islam. Kepentingan itu tidak jelas. Ia hanya disampaikan dengan ucapan melalui pidato yang menarik. Jika kepentingan ini terungkap, ia mengelak dengan pembuangan barang bukti. Sementara itu, Kebenaran Islam sangat jelas dan tegas. Ia disampaikan dengan teks yang disebarkan secara masif hingga sulit untuk dimanipulasi. Sejak awal, teks ayat dipertahankan. Berikutnya adalah teks hadis yang dikompilasi. Akhirnya, karya-karya ulama terdahulu dipublikasikan. Karena itu, tafsir ayat dan penjelasan hadis ditulis oleh para ulama. Kebenaran Islam harus dibaca lebih dahulu untuk menyoroti kepentingan, sehingga Kebenaran Islam memberikan penilaian atas kepentingan. Jika kepentingan dibaca lebih dahulu daripada Kebenaran Islam, maka kebenaran menjadi pembenaran. Ayat, hadits, atau komentar ulama yang relevan dengan kepentingan dijadikan pembenaran.”

  

Hadratus Syekh berhenti sejenak. Kiai Abdussalam dari Yogyakarta yang berusia sepuh mencoba untuk bersuara. “Monggo, Kiai Abdussalam”, Hadratus Syekh mempersilahkan. Dengan ucapan salam yang agak lirih, Kiai Abdussalam mengemukakan persoalan juga dengan suara lirih. Semua peserta majelis menyimak dengan serius.

  

“Kebenaran Islam selalu dilawan oleh kepentingan. Apakah kepentingan itu salah. Apakah diamnya para ulama di Mojokerto juga salah. Bukankah Kebenaran Islam itu memerlukan keberanian umat Islam. Jika Kebenaran Islam itu kuat, saya yakin, kepentingan apapun sulit untuk mengusik Kebenaran Islam,” suara Kiai Abdussalam yang semula lirih terdengar makin keras.

  

“Benar, berani, dan kuat,” Hadratus Syekh membuat kata kunci. “Saya setuju dengan pendapat Kiai Abdussalam. Kebenaran Islam harus diperkuat oleh keberanian umat Islam. Dari sini, persatuan umat Islam harus diperjuangkan, meskipun perbedaan tidak bisa dihindari. Dalam forum ini, kita akan membentuk organisasi yang berani dalam memperkuat Kebenaran Islam. Melalui organisasi ini, umat Islam percaya diri dan berani untuk melawan kepentingan yang bertentangan dengan Kebenaran Islam. Organisasi ini harus mengkaji Kebenaran Islam dengan mendalami teks-teks tafsir atau penjelasan ulama terdahulu. Setelah itu, hasil kajian para ulama ini disosialisasikan melalui forum-forum pengajian. Dengan organisasi, otoritas agama makin kuat. Pendapat majelis ulama lebih kuat daripada pendapat seorang ulama. Kebersamaan ulama dalam suatu organisasi akan menghindari persekongkolan seorang ulama dengan pejabat. Tidak semua kepentingan pejabat salah. Ia bisa dianggap benar jika ia telah teruji oleh Kebenaran Islam yang dikaji oleh para ulama dengan kebersamaan. Organisasi ulama yang meloloskan ujiannya harus memperjuangkan kepentingan tersebut. Dengan adanya organisasi ulama, otoritas keagamaan yang beraliran Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki hirarki. Otoritas ini tidak boleh diserahkan kepada pemerintah, agar kekuatan Kebenaran Islam terjaga. Organisasi ulama ini juga mempertimbangkan kemampuan dalam mengkaji Kebenaran Islam dalam merekrut anggotanya. Kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terdahulu harus dijadikan referensi dalam mengkaji Kebenaran Islam. Jadi, pengganti Kiai Iskandar akan diputuskan setelah organisasi ulama ini terbentuk pada malam ini. Sebagai bekal pesan kepada para ulama Mojokerto, saya akan menuliskan sebuah hadis untuk direnungi.”

  

 

Hadratus Syekh mengambil pena di sakunya. Secarik kertas diajukan kepadanya. Dengan tulisan khat Kufi, Hadratus Syekh menuliskan sebuah hadits, “Laa tabku ‘alad diin idzaa waliya ahluhu walaakin ibku ‘alaihi idzaa waliya ghairu ahlihi.” Di bagian bawah terdapat tanda tangan Hadratus Syekh. Setelah itu, kertas tersebut dilipat dan diberikan kepada pemuda di sampingnya. “Sampaikan salam kami untuk para ulama Mojokerto. Sampaikan juga penghormatan kami kepada Adipati dan Kiai Hakim,” pesan Hadratus Syekh. Pemuda ini meninggalkan forum setelah menciumi tangan para ulama satu persatu. Secara serempak, ia bersama kelompoknya mengucapkan salam.

  

Dalam forum ulama, Hadratus Syekh menyampaikan bahwa hadis yang ditulis merupakan riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani. Hadits didahului oleh kisah sahabat Rasulullah, Abu Ayyub al-Anshari yang menangis di pusara Rasulullah, karena otoritas keagamaan dikendalikan Khalifah Marwan yang tidak kompeten. Abu Ayyub pun menyampaikan sabda Rasulullah di hadapan Khalifah Marwan, “Jangan tangisi agama ketika ia dikuasai oleh ahlinya, namun tangisilah jika agama itu dikuasai oleh orang yang bukan ahlinya.”