(Sumber : nursyamcentre.com)

Tantangan Perguruan Tinggi Swasta di Era Disruptif

Informasi

Mengelola lembaga pendidikan tinggi swasta (PTS) dengan inti bisnis ilmu keagamaan (islamic studies) tentu bukan sesuatu yang mudah, karena akan menghadapi tantangan yang luar biasa, terutama di era disruptif seperti sekarang ini

  

Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Nur Syam, M.Si saat memberikan ceramah di Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban (19/09/2020). Hadir pula dalam forum tersebut Rektor IAINU Tuban, Drs. Ahmad Zaini, M.Pd., para wakil rektor, dekan, wakil dekan, kepala lembaga, dan juga beberapa staf administrasi di berbagai lembaga pendidikan.

  

Dalam forum tersebut Nur Syam, memaparkan tentang tata kelola PTKS di tengah nuansa disruptif sekarang dan akan datang. Menurutnya, mengelola perguruan tinggi swasta (PTS) bukanlah hal yang mudah. Berbeda dengan perguruan tinggi negeri (PTN) yang dipastikan mendapatkan anggaran rutin pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

  

“Inilah kondisi yang harus disadari oleh para pengelola perguruan tinggi swasta. Institusi ini, harus menghidupi dirinya sendiri agar tetap eksis di tengah persaingan yang sedemikian keras dewasa ini,” jelasnya.

  

Jaga Kualitas Pendidikan


Baca Juga : Selamat Datang Tahun 2025: Prof. Nasaruddin Umar dan Moderasi Beragama (Bagian Empat)

  

Nur Syam, juga menjelaskan bahwa tidak satu pun institusi sosial, termasuk institusi pendidikan yang tidak terkena dampak negatif atau positif era disrupsi. Karena itulah institusi tersebut harus menyiapkan diri secara optimal di dalam kerangka menghadapi era tersebut. Hal inilah yang akan menjadi tantangan Institusi sosial, termasuk juga tantangan bagi institusi perguruan tinggi.

  

Tantangan tersebut  harus tetap direspons dengan mengedepankan pendidikan berkualitas, sebagaimana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)  2019-2024. Hal ini seperti yang tercantum di dalam Sustainable Development Goals (SDGs), poin ke empat, yaitu pendidikan berkualitas,” terangnya.

  

Bagi Nur Syam, kata “pendidikan berkualitasharus menjadi pertaruhan bagi institusi pendidikan tinggi swasta di era disrupsi yang penuh dengan kejutan perubahan yang tidak bisa dihindariDengan adanya Covid-19, maka perguruan tinggi juga dituntut untuk mengubah program pembelajaran dari luar jaringan (luring) menjadi dalam jaringan (daring), dan perubahan ini tidak bisa dihindari.

  

"Tidak ada satu pun institusi yang bisa mengelak dari perubahan cepat dari mengabaikan teknologi informasi ke sadar teknologi informasi,” ujarnya kepada para peserta di forum tersebut.


Baca Juga : Resepsi Pernikahan Bukan Kewajiban, Kenali Pilihanmu

  

Nur Syam menambahkan, agar bisa meraih prestasi sebagai pendidikan berkualitas, tentu ada beberapa tantangan yang harus dicari solusinya. Seperti halnya, tantangan masa depan (generasi milenial) harus dapat direspons dengan benar. Respons tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan terhadap kebutuhan generasi milenial di masa depan.

  

“Misalnya, critical thinking and problem solving, creativity for innovation, communications and Collaborations. Hal-hal inilah yang dibutuhkan oleh generasi milenial tersebut. Sehingga dapat mengarahkan mereka ke kompetensi para mahasiswa ke depan ini,” paparnya.

  

Desain Program Pendidikan Berbasis Kebutuhan

  

Tugas selanjutnya yang harus dilakukan oleh para pimpinan dan dosen di perguruan tinggi adalah harus mampu mendesain program pendidikan dengan landasan dari hasil pemetakan masalah-masalah pendidikan yang dilakukan secara tuntas. Tugas inilah, yang menurut Nur Syam harus dipersiapkan secara matang.


Baca Juga : Gelar Profesor dan Tanggung Jawab Akademisnya

  

“Fakultas tarbiyah misalnya, dapat memetakan masalah-masalah pendidikan seperti masalah kepemimpinan, manajemen, keuangan, PBM, out put dan out come pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Masalah manajemen dakwah juga dipetakan tentang kepemimpinan masjid, manajemen, anggaran, program kemasjidan, dan lingkungan masjid,” jelas Nur Syam.

  

Nur Syam melanjutkan, bahwa hasil pemetaan masalah tersebut, harus ditindak lanjuti oleh perguruan tinggi dengan merumuskan problem solving yang dilakukan di dalam dan di luar ruang kuliah. Dia juga menambahkan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan juga harus berubah ke arah yang dapat memantik pola berpikir kritis mahasiswa.

  

Jadi sudah tidak lagi masanya seorang dosen berceramah, tetapi harus memberikan perkuliahan dalam coraknya berpikir kritis dan penyelesaian masalah. Masalah-masalah tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan PPL, lalu diteruskan dengan KKN dan akhirnya sebagai karya tulis akhir atau skripsi. Inilah yang disebut konvergensi pembelajaran, riset dan pengabdian masyarakat, dan juga konvergensi PPL, KKN dan skripsi. Di masa depan tidak diperlukan lagi kuliah kerja nyata (KKN) masif sebagaimana praktik KKN selama ini,” terangnya.

  

Empat Hal yang Harus Disiapkan Kampus

Baca Juga : Menjadikan Organisasi Sebagai Wadah Belajar

  

Dalam kesempatan tersebut, Nur Syam juga mengingatkan bahwa untuk menyongsong Era Revolusi Industri (ERI) 4.0, yang diterjemahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadim Makarim, dengan konsep “Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar”, maka diperlukan empat hal, yaitu: Pertama, perubahan kurikulum yang menyelaraskan dengan era baru (ERI 4.0). Kedua, kembangkan jejaring dengan dunia usaha. Ketiga, peningkatan kualitas mahasiswa. Dan terakhir adalah penguatan lembaga pendidikan.

  

“Keempat hal itu sangat penting, misalnya perubahan kurikulum itu harus dilakukan dengan mengacu pada kebutuhan generasi yang akan datang, yaitu generasi teknologi informasi. Demikian juga dengan jejaring ke dunia usaha, ini juga bagian dari visi IAINU (Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama). Lalu peningkatan kualitas mahasiswa dan penguatan lembaga pendidikan, maka diperlukan kompetensi tambahan, yang dibahasakan sebagai Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI), isinya adalah kemampuan minor tambahan yang menjadi keahlian praktis dari mahasiswa PTKS,” terang Nur Syam

  

Pada akhir ceramahnya, Nur Syam juga mengingatkan agar pihak PTKS harus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur teknologi informasi yang memadai, serta harus menjaga dan mengembangkan trust (rasa percaya) bagi masyarakat, terutama dalam hal pengelolaan keuangan atau anggaran. Karena itulah menurutnya setiap PTSKS harus melakukan audit keuangan minimal dua tahun sekali.

  

“Hal ini untuk memastikan bahwa pengelolaan keuangan institusi ini berkualitas. Terkait dengan audit keuangan itu, jangan sampai disclaimer dan harus Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Publish hasil audit keuangan di media massa agar masyarakat yakin tentang kejujuran dalam pengelolaan keuangan institusi. Buatlah masyarakat agar percaya kepada institusi ini. Bangunlah trust untuk membangun kepercayaan masyarakat,” pinta Nur Syam.

  

Ke depan, IAINU Tuban harus semakin maju dan berkualitas dan makin baik di mata stakeholder. Dan saya berkeyakinan anak-anak muda yang mengelola IAINU pasti bisa,” pungkasnya. (Nin/Ij)