(Sumber : uin sunan ambel surabaya )

Menanti Karya Monumental Empat Guru Besar UINSA

Khazanah

UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) panen guru besar lagi. Setelah pengukuhan terhadap enam Guru Besar pada  31 Maret 2021, maka pada akhir tahun kemudian UINSA bisa mengukuhkan empat Guru Besar sekaligus pada 3/11/2021. Sungguh suatu peristiwa yang sangat membanggakan bahwa UINSA bisa menambah kekuatan SDM yang luar biasa dengan bertambahnya professor dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik Islamic studies maupun Non-Islamic Studies. 

  

Hari Rabo Lalu, 3 November 2021, Prof. Masdar Hilmy, MA, PhD. (Rektor UINSA) mengukuhkan empat professor sekaligus, yaitu: Prof. Dr. Kunawi Basyir, MAg., Prof. Dr. Mohammad Salik, MAg., Prof. Dr. Evi Fathimatur Rusydiyah, MAg., dan Prof. Dr. Abdul Muhid, MSi. Dua diantaranya adalah dekan dan dua lainnya adalah Wakil Dekan dan Kaprodi pada fakultasnya masing-masing. Prof. Kunawi adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Prof. Evi adalah Dekan Fak Saintek, sementara Prof. Salik (Kaprodi) dan Prof. Muhid (Wakil Dekan I Fakultas Psikologi dan Kesehatan).

  

Sayangnya, saya tidak bisa menghadiri acara penting ini, sebab sudah ada janji ke Pasuruan dalam urusan yang tidak kalah penting. Makanya, saya mengontak Cak Rofik untuk bisa memperoleh bahan-bahan orasi ilmiah yang sudah disiapkan. Akhirnya bahan-bahan orasi ilmiah pun saya dapatkan dalam bentuk soft copy, sehingga saya bisa menuliskan peristiwa penting ini dalam artikel sederhana sebagaimana biasanya. Saya memang memiliki kecenderungan untuk merekam peristiwa penting untuk dipublish di web, Nur Syam Centre (NSC).

  

Hal yang sangat menggembirakan bagi kita semua adalah kala professor membacakan orasi ilmiahnya dalam tema terkait dengan moderasi beragama. Saya menyatakan sebagai menggembirakan, sebab program moderasi beragama merupakan program besar Kemenag pada tahun-tahun belakangan. Semenjak diprogramkan pada 2018 lalu, Program Moderasi Beragama sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari Kemenag. Program ini terasa lebih genuine keindonesiaannya dibanding program deradikalisasi yang lebih cenderung sebagai proyek luar negeri. Bahkan, program ini sudah masuk dalam RPJMN 2018-2024. Artinya, program ini harus dilakukan terkait dengan semakin meningkatnya gerakan kaum konservatif dan ultra konservatif.

  

Prof. Dr. Kunawi Basyir, Guru Besar Antropologi Budaya, menulis tentang “Revitalisasi Budaya dan Tradisi dalam Menangkal Radikalisme Islam di Indonesia”. Di dalam pandangan Prof. Kunawi, bahwa pasca reformasi bangsa Indonesia dihadapkan pada masalah-masalah yang serius dan salah satunya adalah radikalisme.  Menurut Prof. Kunawi,  untuk membentengi agar masyarakat Indonesia yang plural tidak tergerus dengan radikalisme, maka yang diperlukan adalah mengubah dari theo-centrisme ke ethno-centrisme. Artinya, memahami agama untuk manusia, agama menjadi pedoman bagi manusia untuk kehidupan individu dan masyarakat. Jadi agama bukan semata-mata untuk Tuhan, tetapi justru untuk manusia. Hal yang tidak kalah menarik adalah pandangan bahwa Islam lokal dapat dijadikan sebagai identitas bangsa. Senada dengan konsep ini adalah “Kita sebagai Orang Indonesia beragama Islam”, sama dengan “Orang Indonesia beragama Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu”. Menjadikan Islam lokal sebagai identitas dan pilar kebangsaan,  artinya menempatkan Islam sebagai konteks etik dan bukan ideologis. Maka dikenal konsep Pribumisasi Islam, di mana harus direduksi bahwa bukan hanya Islam Arab saja yang benar, tetapi juga ada Islam dalam konteks area lain yang juga benar. Tentu saja Islam lokal bukanlah Islam baru, akan tetapi tetapi Islam juga sebagaimana Islam dari tempat asalnya, Timur Tengah. Islam Timur Tengah sebagai great tradition, dan Islam di area lain adalah little tradition,  namun tidak terlepas dari konteks Islam dalam tradisi besar. Melalui pemahaman seperti ini, maka akan terjadi proses penolakan terhadap gerakan radikalisme yang lebih jauh menyatakan hanya tafsir agamanya saja yang benar.

   

Prof. Salik juga memiliki perhatian terhadap gerakan moderasi beragama.  Orasi ilmiah Prof. Salik berjudul: “Menimbang Kembali Urgensitas Gerakan Moderasi Beragama di Indonesia”. Prof. Salik adalah Guru Besar dalam Pemikiran Islam. Moderasi beragama sebenarnya bukan isu akhir-akhir ini tetapi sudah merupakan gagasan yang bersejarah. Para akademisi dan intelektual di Indonesia begitu menyadari bahwa hanya dengan moderasi beragama yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat maka Indonesia akan semakin berjaya. Melalui moderasi beragama, tidak akan terjadi kekerasan atas nama agama atau menjadikan agama sebagai instrumen untuk melakukan tindakan radikal. Selama ini radikalisme disematkan kepada umat Islam, sebab Islam dijadikan sebagai instrumen melakukan kekerasan, misalnya terorisme, bom bunuh diri dan sebagainya.  Di dalam pandangan Prof. Salik, ada dua hal yang harus diperhatikan agar gerakan moderasi beragama akan menjadi pedoman bagi masyarakat Indonesia. Pertama, menempatkan agama dalam tempat yang benar, yaitu agama sebagai pedoman untuk merajut kehidupan yang damai dan sejahtera. Agama adalah untuk manusia dan bukan untuk penciptanya. Kedua, dalam mengamalkan ajaran agama maka harus ditempatkan dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia. Artinya, bahwa sebagai bangsa Indonesia harus beragama sesuai dengan kayakinannya. Jadi, masyarakat Indonesia bukan bangsa lain yang beragama Islam, tetapi kita adalah bangsa Indonesia yang beragama Islam. Melalui proporsi seperti ini, maka masyarakat Indonesia tidak akan menjadikan keyakinan bangsa lain untuk diterapkan di Indonesia. Bangsa Indonesia telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara dan juga NKRI sebagai bentuk negara, maka inilah pandangan kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesungguhnya sama sekali tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Oleh karena itu mengamalkan agama Islam yang moderat sesungguhnya sudah mengamalkan Pancasila.

  

Prof. Evi dan Prof. Muhid menyajikan inovasi terkait dengan pengembangan Pendidikan. Prof. Evi, menulis tentang “EDU Literasi, Membangun Komunitas Literasi Belajar Bagi Guru Penggerak Human Literacy Indonesia”. EDU adalah singkatan dari Education Development,  and Unification. Prof. Evi adalah Guru Besar Teknologi Pembelajaran pada UINSA. Di tengah revolusi industri 4.0 maka manusia sungguh perlu berada di dalam human literacy. Dunia pendidikan tentu juga harus berada di dalam era penerapan teknologi informasi. Di dalam dunia pendidikan, maka sesungguhnya yang diperlukan adalah teknologi pembelajaran, sebab dengan cara penguasaan yang baik mengenai terknologi pembelajaran, maka proses dan produk pendidikan akan lebih optimal. Diperlukan literacy sains, literacy digital dan bahkan juga literasi media. Pendidikan akan lebih berhasil secara optimal jika penerapan teknologi pembelajaran dilaksanaka secara memadai. Menurut Prof. Evi, para guru memiliki tantangan yang tidak sedikit, yakni tantangan penelitian, bahwa guru yang memiliki kemampuan meneliti maka akan bisa memperbaiki program pembelajarannya dan itu artinya produk pembelajaran akan menjadi lebih baik, misalnya guru yang bisa melakukan Class Room Action Research. Selain itu juga penelitian tentang pengembangan kapasitas baca para siswa dan kapasitas penguatan kelembagaan. Hal ini sudah dilakukan oleh UINSA dalam penguatan literasi bagi para guru. Hal yang sangat menarik dari Prof. Evi adalah pandangan bahwa semua siswa memiliki potensi berkembang, hanya saja yang perlu diperhatikan bahwa tidak semua potensi tersebut sama, sehingga diperlukan variasi pembelajaran berbasis pada potensi siswa dimaksud.

  

Prof. Muhid, mengembangkan inovasi yang disebut sebagai heutagogy. Prof. Muhid menyampaikan orasi ilmiahnya berjudul “Heutagogi: Memerdekan Mahasiswa Belajar di Era Revolusi Digital”. Menurut Prof. Muhid bahwa tantangan revolusi digital tidak bisa dihindari dan harus dihadapi dengan kearifan. Di antara cara menyikapinya adalah dengan memberikan kemerdekaan belajar kepada para mahasiswa. Konsep ini relevan dengan konteks Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar. Pada era revolusi digital, maka mahasiswa haruslah diajar dengan cara yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Ditawarkannya bahwa pembelajaran double loop  learning dalam pendekatan pembelajaran heutagogy sangat cocok dengan generasi Z di era revolusi digital. Pendekatan heutagogy mengenal beberapa aspek: yaitu memahami kontrak belajar, mendesain pembelajaran, dan mendesain penilaian. Selain itu juga harus memperhatikan: elemen explore, elemen create, elemen collaborative, elemen connect, elemen share dan elemen reflect. Kebijakan MBKM sangat tepat dengan pendekatan heutagogy. Oleh karena itu pembelajaran dewasa ini harus menempatkan mahasiswa untuk bertanggung jawab atas subyek mata kuliah yang dipejarinya serta bagaimana  dan kapan akan belajar. Mereka harus diserahi tanggungjawab atas apa yang menjadi keinginannya di dalam belajar. Jadi mahasiswa harus tahu bagaimana cara belajar dan apa yang dipelajarinya. Sementara itu posisi dosen harus tahu benar dengan siapa para dosen itu melakukan pembelajaran, sehingga antara dosen dan mahasiswa akan berada di dalam nuansa saling memahami.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.