(Sumber : Suara Merdeka)

Antara Takdir, Kecelakaan dan Pembinaan Santri

Opini

Sungguh yang menimpa Pondok Pesantren Gontor Ponorogo beberapa saat yang lalu merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia di dunia, sebab tentu ada aspek takdir yang pasti berlaku bagi semua umat manusia. Saya nyatakan sebagai keniscayaan sebab kematian merupakan takdir Tuhan yang tidak diketahui manusia kapan akan terjadi dan bagaimana proses kejadiannya. Kita bisa tahu takdir kala sudah terjadi dan kita membenarkannya. Saya yakin tidak ada manusia yang bisa menolak takdir kematian, tidak pun Rasulullah SAW. Semua makhluk hidup: manusia, flora dan fauna akan mengalami kematian itu.

  

Itu pulalah yang terjadi pada seorang santri, initial AM, yang meninggal gegara ditendang oleh sesama kawannya, karena kesalahan yang rasanya tidak masuk akal. Hanya gara-gara menghilangkan atau kehilangan kapak selesai digunakan untuk kegiatan, akan tetapi kemudian menerima hukuman tendangan kaki, yang mematikan. Kita tentu bisa menyesalkan atas tindakan hukuman yang keras ini, apalagi tendangan tersebut diarahkan ke dada korban. Yang lainnya melakukan hukuman tetapi hanya dengan cambukan memakai tongkat pramuka sehingga dipastikan tidak membahayakan jiwa korban. 

  

Tetapi inilah sebuah peristiwa yang saya yakin bahwa semua orang tidak akan memprediksi akibatnya yang fatal, yang dilakukan oleh seorang santri yang setiap hari mendapatkan siraman rohani, belajar agama dan mendalami etika atau akhlak. Kita tidak menduga bahwa santri yang berbekal akhlak al karimah melakukannya. Jadi tindakan ini merupakan kecelakaan plus takdir. Kecelakaan terkadang tidak mematikan karena takdirnya dan kecelakaan juga bisa mematikan karena takdirnya. 

  

Saya mencoba untuk menyelami kasus ini dari tiga perspektif sekaligus. Pertama, perspektif korban. Sudah sangat pantas jika keluarga korban melakukan upaya untuk memperoleh keadilan atas kasus ini. Bagaimanakah rasanya ditinggal mati oleh anak dalam keadaan meninggal bukan karena sakit. Tetapi meninggal dalam belajar dan menjadi korban dari tindakan kekerasan. Siapapun pasti akan marah dan sekaligus sedih atas peristiwa tersebut. Jika kemudian keluarga korban (Ibu Soimah) kemudian melakukan upaya hukum termasuk juga menggunakan media sosial untuk berbagi informasi tentu siapapun tidak bisa menyalahkan. Ini merupakan respon mekanis sebagai akibat perasaan yang marah, sedih dan menyesalkan. 

  

Kedua, perspektif pelaku kekerasan. Saya meyakini bahwa yang dilakukan ini adalah murni kecelakaan. Pasti tidak ada rekayasa untuk mematikan. Mereka adalah santri yang telah ditempa untuk tidak saling bermusuhan antara satu santri dengan santri lainnya. Jika mereka senior maka dipastikan harus memberikan perlindungan kepada yuniornya. Saya meyakini bahwa tidak ada ide atau gagasan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Menendang juga bukan sebuah kemarahan akan tetapi refleks yang muncul secara tiba-tiba dan tahu-tahu sudah terjadi kecelakaan. Dan tahu-tahu sudah terjerembab dan kejang-kejang. Inilah yang disebut sebagai takdir Tuhan. Ada refleks menendang, ada refleks tidak menghindar karena khawatir dianggap melawan atau karena cepatnya tindakan tersebut berlangsung. Semua serba mekanis yang di dalam konsepsi Emile Durkheim disebut sebagai perilaku mekanis. Tanpa disadari apa yang dilakukannya tersebut. Berbeda dengan perilaku organis yang mengalami proses kesadaran terlebih dahulu. 

  

Ketiga, perspektif pesantren. Tidak dapat dihindari bahwa perilaku kekerasan ini dapat mengganggu terhadap kewibawaan pesantren. Pesantren menjadi “tertuduh”. Pesantren menjadi lembaga yang tidak steril dari “kekerasan simbolik maupun actual”. Tetapi sebagaimana yang saya tulis beberapa saat yang lalu, bahwa akhirnya kasus ini akan menjadi kasus individual. Yaitu kasus yang menimpa santri karena perilakunya yang melakukan kekerasan. Pesantren memang terimbas dan harus berurusan dengan hukum, karena memang hal ini merupakan kasus pidana, akan tetapi ujung akhirnya  bahwa perilaku kekerasan harus menanggung apa yang dilakukannya. Tentu pelaku kekerasan harus menanggung hukuman atas perilaku yang dilakukannya yang tidak menggunakan kesadarannya di dalam melakukan eksekusi tindakan menendang sesama kawannya. Dia memang pantas dihukum. Perkara berapa tahun hukumannya tentu tergantung pada putusan hakim yang menetapkannya.

  

Pesantren adalah milik kita semua. Milik masyarakat Islam Indonesia. Pesantren telah teruji dalam waktu yang sangat panjang sebagai institusi yang melakukan pendidikan akhlakul karimah. Pesantren telah berhasil mengembangkan SDM andal untuk Indonesia. Oleh karena itu tidak pada tempatnya jika kemudian kita juga ikut mendegradasi peran pesantren dan melemahkan kewibawaan pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis akhlakul karimah.

  

Sungguh kita semua berharap bahwa kasus ini akan dapat menjadi pelajaran bagi kita semua terutama dunia pesantren agar semakin hati-hati dalam menjaga otoritasnya sebagai  avant garde bagi  pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai keagamaan. Jangan sampai nila setitik merusak susu sebelanga. Pimpinan pesantren, guru, dan semua stake holder pesantren harus saling bahu membahu dalam pengawasan para santri. 

  

Pendidikan anti kekerasan dalam corak simbolik maupun actual harus semakin diperkuat. Tidak hanya kekerasan sosial (memukul, menendang, melukai dan perkataan yang membuat ketidaknyamanan) akan tetapi juga kekerasan agama (agar melakukan pemahaman agama yang sesuai dengan Islam yang ramah dan bukan Islam yang marah), sehingga akan tercipta ke depan genersi Islam Indonesia yang modern. Harus menjadi visi Pendidikan: Keislaman, Keindonesiaa dan Kemoderenan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.