(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Ragam Respon Pembantaian PKI Seputar Tahun 1965

Opini

Menjelang peringatan G30S/PKI dan Peringatan 1 Oktober 2020, beredar kembali laporan Majalah Tempo, 1-7 Oktober 2012, yang berisi laporan   tentang peristiwa pasca Gerakan 30 September 1965. Sesuai dengan laporan Tempo tersebut, maka inspirasi tulisan itu  berasal dari sebuah Film yang menayangkan tentang tragedi sejarah Gerakan 30 September 1965, yang ditulis oleh Sutradara Joshua Oppenheimer yang berjudul “The Act of Killing”.  Film  ini dibuat selama tujuh  tahun dan berakhir dengan kesimpulan bahwa pembunuhan terhadap PKI adalah dendam pribadi.  Cover Tempo berbunyi: “Pengakuan Algojo 1965”. Tempo kali itu membuat report yang relative  provokatif, misalnya dengan ungkapan “jagal-jagal di ladang pembantaian” dan sekaligus juga foto yang menggambarkan “nuansa” saat itu. 

  

Saya kira tulisan tersebut  meskipun di sana-sini terdapat upaya agar tidak membuat ketersinggungan terhadap individu atau ormas Islam tertentu (khususnya NU), tetapi saya kira tetap saja mengandung bias, sebab tidak mengaitkannya dengan penyebab secara mendalam tentang terjadinya peristiwa tersebut.  Tempo  hanya mewawancarai terhadap mereka yang “dituduh” atau “diidentifikasi” sebagai algojo dengan bahasa “jagal” di dalam pembunuhan terhadap kaum komunis yang melakukan kudeta terhadap pemerintah. Akibatnya, tentu saja dapat menghasilkan stigmatisasi bahwa para “jagal” pembunuhan PKI tersebut melakukan kesalahan fatal dalam peristiwa di seputar tahun 1965.

  

Saya hingga hari ini sebenarnya tetap berkeyakinan bahwa Tempo sebagai majalah yang memiliki reputasi sangat baik dan obyektif dengan slogannya “enak dibaca dan perlu”. Tempo merupakan majalah yang  mengedepankan obyektivitas sehingga  kandungan laporannya   tidak bermuatan apapun kecuali obyektivitas dan mengenakkan semua yang membacanya. Tetapi kali ini saya rasa pilihan tema dan berbagai diksi yang dikemukakan tentu mengandung bias “kepentingan”. Saya tentu tidak berkeinginan untuk menduga tentang bisnis kepentingan apa dibalik pemuatan informasi tentang “jagal” kemanusiaan sebagaimana diungkap oleh Tempo.

  

Cerita majalah Tempo di masa lalu tersebut tentu mengingatkan  terhadap upaya-upaya beberapa orang yang mengangkat kembali isu PKI pada  ranah internasional dengan membawa kasus tersebut dalam Pengadilan Rakyat Internasional atau International Peoples’s Tribunal  (IPT) 10-13 November 2015. Semua ini tentu dilakukan dengan segenap kesadaran untuk menjadikan PKI sebagai korban, dan agar terbuka mata dunia bahwa pemerintah Indonesia melakukan tindakan melanggar HAM berat, dan konsekuensinya tentu harus melakukan tindakan yang relevan dengan kesalahan pelanggaran tersebut. Sidang ini diprakarsai oleh  Nursyahbani Katjasungkana,  ketika yang bersangkutan mengangkat isu ini  di Mahkamah Internasional  Den Haag, dan sejumlah upaya lain, misalnya untuk menggambarkan bahwa PKI adalah korban dan bukan pelaku pemberontakan terencana terhadap kekuasaan politik di kala itu.

  

Tulisan Tempo mungkin tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk membuka kembali luka lama, yang telah terkubur zaman, namun  tentu masih menjadi ingatan komunal bagi para pelaku di dalam pemberontakan  dan tindakan balik yang dilakukan oleh lawan politiknya, baik para penguasa atau masyarakat. Tetapi dengan mengungkapkan secara dramatis tentang pembunuhan PKI pada waktu itu, tentu membuat stigmatisasi bahwa NU telah melakukan upaya menghabisi  terhadap PKI dan segenap simpatisannya di dalam peristiwa tragis 1965. 

  

Menurut saya, seharusnya juga dipahami tentang nuansa politik, ideologis, keagamaan dan sosial budaya yang berkembang saat itu. Tahun-tahun 1960-an sampai 1965 adalah masa yang krusial bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi harus mempertahankan kemerdekaan yang baru saja dicapai dengan keringat, darah dan nyawa, dan di sisi lain juga terjadi perebutan pengaruh yang nuansanya sudah sangat membahayakan negara dan bangsa. PKI yang pada waktu  itu didukung oleh kekuatan dahsyat, Moskow dan Peking, tentu bermaksud untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan besar bagi komunis internasional. Indonesia berada di tempat strategis antara timur dan barat, antara utara dan selatan, dengan penduduk yang mamadai. Hal ini  tentu menjadi menarik kalau Indonesia  menjadi negara komunis. Jadi, ada USSR,  China dan Indonesia. Jika Indonesia menjadi negara komunis, maka kekuatan komunis untuk menghadang laju kapitalisme dan blok barat lainnya tentu akan menjadi lebih perkasa. 

  

Berdasar atas kenyataan ini, maka PKI dengan segenap kekuatannya mempengaruhi Angkatan Bersenjata, pimpinan pemerintah dan masyarakat untuk menjadi simpatisan PKI dan kemudian yang terpenting adalah menjadi kekuatan bagi tujuan PKI untuk menguasai Indonesia. Nuansa ideologis dan kebangsaan seperti inilah yang dihadapi pada saat tersebut. Maka hanya ada dua pilihan, yaitu Indonesia menjadi negara komunis atau tetap menjadi negara berdasar atas Pancasila. Dan Angkatan Bersenjata, NU dan organisasi lain yang sevisi lalu melakukan perlawanan. Munculnya kalimat “NKRI harga mati” yang terus menggema hingga saat ini, saya kira memperoleh pembenaran historisnya di masa lalu, khususnya adalah pemberontakan PKI yang berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.

  

Nuansa keberagaman juga  carut marut luar biasa. Umat Islam Indonesia tentu belum sekuat sekarang. Umat Islam baru saja merasakan kemerdekaan di dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan setelah sekian lama merasakan penderitaan akibat tindakan pemerintah Belanda yang mengekang segala aspek kegiatan keberagamaan. Kemerdekaan itulah yang ingin terus dirasakan. Kualitas umat Islam juga belum sebaik masa sekarang. Tahun 1960-an merupakan tahun konsolidasi bagi penguatan dan peningkatan pemahaman dan pengamalan beragama Islam. Di saat seperti ini maka tantangan dan hambatan yang terkuat adalah PKI dengan slogannya “Tuhan Telah Mati” yang mengimplementasi di dalam keyakinan ideologis yang sangat kuat dalam bentuk komunisme yang secara umum bercorak ateis. Garis demarkasinya sangat jelas. Lawannya juga sangat jelas. Di saat dua kelompok ini berseteru, maka dipastikan bahwa yang ada di dalam pikiran adalah “dibunuh atau membunuh”. 

  

Apalagi juga sudah terbukti secara historis bahwa di dalam pemberontakan PKI, misalnya di Madiun 1948, maka yang menjadi sasaran adalah para kyai dan santri. Meskipun jumlahnya tidak diketahui secara pasti tetapi ingatan komunal tentang keganasan PKI dalam melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya sudah menjadi rahasia umum. Inilah yang secara sosiologis kemudian disebut sebagai “siklus kekerasan” bahwa setiap tindakan kekerasan akan melahirkan kekerasan baru, dan PKI pada pasca tahun 1965 telah menerima “siklus kekerasan” tersebut. Dipastikan bahwa tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Artinya, pembunuhan terhadap PKI bukanlah tanpa sebab, baik yang terkait dengan masalah ideologis, keyakinan agama, sosial budaya dan juga kebangsaan. Jadi  membunuh PKI tersebut bukan sekedar membela bangsa tetapi juga membela agama, yang di dalamnya terdapat konsepsi “jihad” yang bisa dimaknai sebagai “perang” atau memerangi orang atau kelompok yang akan menghabisi keyakinan agama. 

  

Nuansa sekitar tahun 1965 itulah yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam mengungkap secara transparan tentang bagaimana konflik sosial tahun 1965 itu terjadi. Oleh karena itu, sebaiknya juga dilakukan pendalaman tentang bagaimana tingkah laku PKI di masa lalu, terutama tindakannya terhadap para kyai, ulama dan santri serta masyarakat Indonesia secara umum, sehingga akan didapatkan pemberitaan yang lebih proporsional. Jika hanya menganggap bahwa PKI adalah “korban”, maka juga ada “korban” lainnya di pihak lawan politiknya. Pesantren merupakan institusi yang merasakan bagaimana keganasan PKI dalam memperjuangkan ideologi komunis dengan keyakinan ateismenya. 

  

Saya tentu tetap berkeyakinan bahwa tujuan mengungkap peristiwa pembunuhan PKI bukan hanya sekedar sensasi menjelang peringatan G30S/PKI dan peringatan 1 Oktober 1965. Tetapi ada visi yang membuat laporan algojo 1965 tersebut harus diungkap. Saya kira targetnya adalah agar PKI dinyatakan sebagai korban, dan ideologi komunisme tidak lagi dianggap sebagai ideologi terlarang. Hal ini terungkap, misalnya di dalam Opini  Majalah Tempo dengan judul “Dari Pengakuan Algojo 1965”, yang menyatakan: “Di luar itu tak selayaknya kita alergi terhadap komunisme. Sudah lama ideologi ini bangkrut. Uni Soviet porak poranda, Cina kini sama kapitalisnya dengan Amerika. Ide masyarakat tanpa kelas adalah utopia  yang usang dan sia-sia. Karena itu, tak perlu melarang penyebaran ajaran komunisme, Marxisme dan Leninisme. Ketetapan MPRS tentang itu sebaiknya dihapus saja. Tak boleh ada pembredelan buku yang menyangkut 1965 juga yang lainnya. Yang harus diperangi adalah stigmatisasi pada komunisme dan para korban. Menyebut komunis sebagai ateis adalah salah kaprah yang bertahun-tahun terlanjur dipercaya. Dengan kata lain, hadapi komunisme dengan rileks. Sebab ideologi ini sesungguhnya biasa-biasa saja”. 

  

Saya tidak akan menafsirkan terhadap ungkapan Majalah Tempo masa lalu tersebut, silahkan para pembaca menafsirkan sendiri tentang makna ungkapan ini bagi kita semua. Hal yang jelas adalah pengungkapan kebenaran harus dilakukan, tetapi dengan keseimbangan yang memadai, dan juga memperhatikan nuansa yang terjadi di saat konflik tersebut terjadi. 

  

Wallahu a’lam bi al shawab. 

  

*Penulis Merupakan Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya