Tujuh Belas Agustusan: Jangan Lupa Peran Ulama (Bagian Akhir)
OpiniKemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia bukanlah hadiah dari siapapun, akan tetapi diperjuangkan dengan keringat, air mata dan darah. Untuk memperoleh kemerdekaan ini, bukan hanya satu kelompok masyarakat tetapi seluruh komponen bangsa. Semua melakukan perlawanan terhadap kolonialisme, yang berkeinginan untuk come back melakukan penjajahan. Untunglah bahwa seluruh komponen bangsa bersatu padu melakukan perlawanan, sehingga kemerdekaan akhirnya bisa dikumandangkan di Pegangsaan Timur No. 56, rumah milik Faradj bin Said bin Awadh Martak atau dikenal Faradj Martak (saudagar Arab) melalui Pembacaan Teks Proklamasi oleh Soekarno, Hari Jum’at, 17 Agustus 1945, jam 10.00 WIB.
Bangsa Indonesia sudah merdeka 76 tahun. Dan hasil perjuangan tersebut juga sudah dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai upaya untuk melakukan pembangunan bangsa. Meskipun belum optimal tetapi bangsa Indonesia sudah memiliki kesejajaran dan kehormatan sebagai bangsa yang merdeka dan bisa menentukan nasib bangsanya sendiri. Di antara yang terlibat didalam perjuangan bangsa untuk memperoleh kemerdekaan adalah para ulama, kyai atau tokoh agama di seluruh Indonesia.
Akhir-akhir ini ada semacam keraguan tentang peran ulama, kyai atau tokoh agama di dalam perjuangan bangsa. Di media sosial muncul beberapa gugatan tentang bagaimana peran tersebut dimainkan. Makanya, juga kemudian muncul berbagai sanggahan bahwa para ulama, kiai atau tokoh agama terlibat aktif di dalam perjuagan kemerdekaan. Gugatan terhadap peran ulama, kiai atau tokoh agama di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, rasanya memang mengada-ada. Pemikiran seperti ini tidak berangkat dari realitas sejarah bangsa, yang secara realitas memang menempatkan ulama sebagai salah satu pilar di dalam perjuangan bangsa.
Jauh sebelum kemerdekaan, pada tahun 1825-1830 di dalam perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah, maka sesungguhnya yang menggerakkan adalah para ulama. Pangeran Diponegoro merupakan tokoh Islam yang dibantu oleh Kiai Modjo dan lainnya adalah para pemeluk Islam yang patuh dan memiliki kesadaran untuk mengusir para penjajah. Demikian pula dalam pemberontakan Petani Banten, 1888, maka yang berperan adalah para kiai bahkan para iai tarekat. Di dalam Perang Aceh, maka yang bergerak adalah para ulama yang bergerak bersama masyarakat untuk melawan penjajahan. Hanya sayangnya bahwa gerakan melawan Belanda ini dilakukan secara segmental, sehingga bisa dikalahkan oleh Belanda. Perang Diponegoro disebut sebagai Perang Jawa, yang berpengaruh menguras anggaran Pemerintah Belanda.
Di seputar kemerdekaan, maka bisa dibuktikan keterlibatan para ulama dan umat Islam yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh Islam. Di dalam PPKI, yang dilantik pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan anggota sebanyak 21 orang yang terdiri dari 12 orang etnis Jawa, 3 orang etnis Sumatera, 2 orang etnis Sulawesi, 1 orang etnis Maluku, 1 orang etnis Tionghoa, 1 orang etnis Kalimantan dan 1 orang etnis Nusa Tenggara. PPKI memang diisi oleh representasi kedaerahan dan bukan agama atau etnis. Pada waktu ditetapkan Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”, maka terdapat keberatan bagi anggota PPKI dari Timur yaitu: Sam Ratulangi, Tadjoedin Noor, Pangeran Noor, I Ketut Pudja, dan Latuharhary, sehingga rumusannya diganti dengan: “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Namun yang jelas bahwa ada di antara mereka yang bisa dinyatakan sebagai tokoh-tokoh umat Islam. Maka bisa dijumpai tokoh-tokoh yang bisa dinyatakan sebagai kiai. Misalnya Kiai Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadi Kusumo (Muhammadiyah). Bahkan untuk menentukan perubahan tersebut, Kiai A. Wahid Hasyim harus berkonsultasi kepada Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan disetujuinya, termasuk Muhammadiyah melalui Ki Bagus Hadi Kusumo juga menyepakatinya. Di kala dua organisasi Islam besar di Indonesia yang diwakili oleh A. Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadi Kusumo menyetujui perubahan tersebut, maka pantaslah jika kontribusi umat Islam Indonesia terhadap kemerdekaan itu besar sekali.
Pasca kemerdekaan, maka terdapat berbagai peristiwa yang hampir saja menyebabkan jatuhnya Republik Indonesia ke tangan Sekutu. Di tengah kenyataan tersebut, maka Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari mengumpulkan para kiai dan ulama untuk melakukan halaqah yang hasilnya adalah Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi jihad merupakan tonggak sejarah keterlibatan para kiai, santri dan ulama di Indonesia untuk melawan tentara Belanda Bersama Sekutunya. Resolusi Jihad ini yang kemudian diabadikan sebagai Hari Santri Nasional (HSN) yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo.
Peristiwa Resolusi Jihad menjadi tonggak perlawanan massal kaum santri melawan Belanda, dan puncaknya adalah Peristiwa Heroik dalam Perang Soerabaja, pada 10 Nopember 1945. Di dalam perang ini, maka Jenderal Sekutu, Mallaby, tewas karena tertusuk tombak para santri. Peristiwa di Hotel Oranje ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, 10 Nopember. Para Santri, Kiai, Ulama dan para pahlawan rakyat melawan Belanda dengan bambu runcing melawan senjata modern tentara Sekutu. Dengan teriakan Allahu Akbar dari RRI yang dipekikkan oleh Boeng Tomo, maka perlawanan terhadap Tentara Sekutu memuncak dan Soerabaja tidak bisa ditaklukkan oleh Tentara Sekutu.
Tidak hanya ini, organisasi Islam juga banyak berkontribusi terhadap kemerdekaan bangsa, misalnya Syekh Ahmad Soorkati (Tokoh Jong Islamiten Bond), H. Moch. Rasyidi (Menteri Agama), Umar Hubeis (MIAI), Ismail Hasan Idris (Hizbullah). Lalu yang sangat fenonenal adalah Kasman Singodimedjo, Moh. Natsir, dan sebagainya. Di antara tokoh NU yang akhirnya memperoleh gelar Pahlawan adalah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahid Hasyim, KH. Zainal Mustafa, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Zainul Arifin, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Masykur, KH. Syam’un, dan KH. Idham Chalid. Tokoh Muhammadiyah yang terlibat di dalam kemerdekaan adalah KH. Ahmad Dahlan, Kiai Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Ir. Juanda, Rahiman Widiodiningrat, dan Teuku Muhammad Hasan. Para kiai atau ulama ini adalah orang-orang yang secara langsung terlibat di dalam upaya kemerdekaan Indonesia.
Sesungguhnya sejarah kemerdekaan itu identic dengan dengan sejarah umat Islam Indonesia. Betapa banyaknya tokoh Islam yang terlibat di dalam proses kemerdekaan dalam kapasitas sebagai pejuang secara ideologis, fisik dan juga material. Semuanya menggambarkan bahwa peran kiai, ulama dan tokoh Islam tidak bisa dipisahkan dengan sejarah kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu tidak salah jika kemudian dinyatakan bahwa keberadaan Kementerian Agama adalah hadiah negara terhadap umat Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.