(Sumber : Majelis Ulama Provinsi Kepulauan Riau )

Legalitas Fatwa dan Dampaknya

Riset Agama

Artikel berjudul “Language, Authority and Digital Media: The Impact on the Legitimacy of Fatwas” merupakan karya Ahmad Suaedy, Fariz Alzinar, Juri Ardiantoro, dan Said Aqil Siroj. Penelitian ini terbit di Jurnal Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah tahun 2023. Studi tersebut berupaya mengungkapkan posisi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara kelembagaan saat ini memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa. Era disrupsi dan revolusi digital membawa tantangan tersendiri bagi MUI. Studi tersebut merupakan penelitian kualitatif dengan menggabungkan analisis isi dalam sebuah teks dengan analisis jaringan aktor yang memproduksi teks. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, fatwa, otoritas keagamaan dan era digital. Ketiga, bahasa dan bukti debirokratisasi fatwa. Keempat, otoritas keagamaan di era depersonalisasi. 

  

Pendahuluan

  

Pada tradisi Islam, fatwa berada pada posisi penting. Pada periode awal Islam, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam menganggapnya sebagai sumber bimbingan utama dalam menjalankan praktik keagamaan dan sosial. Mereka akan meminta pendapat atau fatwa mengenai berbagai hal, termasuk kasus yang belum pernah ditetapkan undang-undangnya. Tradisi mencari fatwa ini kemudian diteruskan oleh para sahabat dan akhirnya oleh para ulama yang dianggap sebagai otoritas hukum Islam.

  

Terdapat dua model fatwa yakni personal dan institusional. Pada model personal, banyak negara Arab yang menggunakannya dengan menunjuk satu orang yang dianggap paling alim untuk menjadi “mufti.” Ia bertugas memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat. Di sisi lain, ada beberapa negara yang mengikuti model kelembagaan dalam pembuatan fatwa seperti Indonesia dan Malaysia. Artinya, fatwa tidak dihasilkan oleh individu, melainkan lembaga yang bertanggung jawab di bidang agama.

  

Pada konteks lembaga negara, lembaga fatwa dikenal dengan nama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga ini diberikan mandat untuk mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. Namun pada tingkat masyarakat tertentu, ada juga lembaga khusus yang bertugas menyelesaikan permasalahan masyarakat. Misalnya, Institut Bahtsul Masail dan Majlis Tarjih Muhammadiyah. Keduanya adalah lembaga yang sering kali memberikan solusi atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan masyarakat.

  

Fatwa, Otoritas Keagamaan dan Era Digital

  

Menurut Kaptein dalam tulisannya berjudul “The Coice of the ‘Ulama:’ Fatwas and Religious Authority in Indonesia” (2004) memandang fatwa sebagai media penyebaran otoritas agama dengan integrasi tinggi. Ia juga mengembangkan bahwa fatwa terbagi menjadi tiga jenis yakni tradisional, modern dan kolektif. Ciri fatwa tradisionalis adalah tidak menyebutkan nama dan identitas Mustafti (orang yang bertanya). Fatwa jenis ini menggunakan tulisan arab yang umum dan pegon Arab. Perbedaan fatwa modern dan tradisional terletak pada identitas penanyanya dan bahasa yang digunakan. Sedangkan, fatwa kolektif adalah fatwa yang berkembang dari fatwa pribadi seperti halnya fatwa tradisional dan modern. Tiga ormas yang mengeluarkan fatwa ini adalah MUI, NU dan Muhammadiyah. 

  

Otoritas keagamaan bersifat dinamis, tidak statis dibandingkan dengan otoritas keagamaan abad 19 yang dimonopoli para ulama. Revolusi digital ditandai dengan terbukanya saluran informasi dan munculnya fenomena baru, yakni mereka yang bukan ulama juga memiliki otoritas keagamaan. Selain itu, revolusi digital juga mengubah kehidupan masyarakat, termasuk pola komunikasi keagamaan. Awalnya adalah komunikasi tradisional menjadi komunikasi berbasis internet yang mempengaruhi perubahan tersebut. 


Baca Juga : Din Syamsudin Dan Islam Wasathiyah

  

Era digital dalam konteks pencarian sumber referensi keagamaan sering kali disebut aktivitas clictivisme. Hal ini menggambarkan aktivisme Islam dalam dalam jaringan yang ditandai dengan pergeseran sarana dakwah, perubahan aktor dan perubahan strategi dakwah. Clicktivisme Islam dengan berbagai unsur yang terkandung di dalamnya dalam konteks pola keagamaan di Indonesia tercermin dalam propaganda yang dilakukan pada momen Gerakan 212 dan 411 tahun 2017. Artinya, dunia digital yang salah satunya mengandalkan media sosial memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk wacana keagamaan.

  

Fatwa bukan semata-mata produk hukum yang bersifat doktrinal, namun lebih dari itu, fatwa adalah produk keagamaan yang memiliki temporalitas dan beberapa aspek lain dari sudut pandang kajian antropologi. Fatwa memiliki kekuatan yang signifikan, meskipun tidak mengikat. Sifat dominan fatwa adalah mengelaborasi pendapat atau pandangan masa lalu yang mendasarkannya pada pandangan masa kini atau bukan masa depan. Ia adalah produk hukum untuk orang tertentu dalam hal tertentu, dan pada waktu tertentu. 

  

Pada tahun 1975-1988, MUI peran penting sebagai kuasi-pemerintah. Pada periode ini, MUI berperan sebagai jembatan antar berbagai organisasi Islam dan sering dianggap sebagai jembatan antar berbagai organisasi Islam dan sering dianggap sebagai corong pemerintah dalam mendorong kebijakan tertentu. Pemerintah mengandalkan MUI untuk memberikan legitimasi agama atas keputusannya dan sering kali memainkan peran penting dalam membenarkan kebijakan pemerintah bagi komunitas muslim. Oleh sebab itu, MUI dipandang sebagai lembaga kuat yang membantu membentuk opini publik terhadap isu-isu penting. 

  

Bahasa dan Bukti Debirokratisasi Fatwa 

  

Salah satu dampak dari revolusi digital adalah adanya fenomena debirokratisasi fatwa dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini ditandai dengan tersebarnya situs “fatwa online” yang berisi tanya jawab antara mufti dan mustafti. Praktik semacam ini berpeluang melemahkan birokratisasi fatwa yang ada. 

  

Pada pedoman penetapan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, terdapat klausul penetapan fatwa yang bersifat birokrasi. Misalnya, ada aturan bahwa MUI pusat berwenang memutus permasalahan nasional atau daerah yang berpotensi “menular” ke daerah lain. Sebaliknya, MUI daerah tidak diperbolehkan mengambil keputusan terhadap permasalahan yang berskala nasional. Hal ini dapat dipahami karena sifat organisasi yang umumnya birokratis. 

  

Pada tahun 2018, beberapa fatwa MUI daerah mulai merespon permasalahan berskala nasional. Misalnya, MUI Sumatera Barat (Sumbar) dalam Keputusan Rapat Koordinasi Kerukunan dan Persaudaraan MUI menghasilkan penolakan terhadap Islam Nusantara. Hal ini merupakan debirokratisasi fatwa karena bukan isu dalam skala lokal. Islam Nusantara adalah gagasan yang diusung oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan skala nasional dan mencoba membawa gagasan ini dalam konteks global. 

  


Baca Juga : Sarjana, Peluang Kerja dan Masa Depan

Keputusan tersebut memanaskan ruang perdebatan dan menimbulkan reaksi timpang di internal MUI pusat, namun ada kecenderungan bahwa permasalahan nasional tidak hanya diputuskan pada tingkat nasional. MUI daerah dianggap perlu melakukan ‘penetrasi’ dan’ improvisasi’ sehingga persoalan nasional juga harus menjadi pembahasan lokal/daerah. Meskipun ada upaya untuk melokalisasi keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa Islam Nusantara tidak diperlukan di ranah Minang, namun bukan berarti Islam Nusantara menjadi isu lokal. 

  

Posisi MUI Pusat terhadap isu wacana Islam Nusantara terbelah. Sementara, Sekjen MUI periode 2015-2020, Anwar Abbas mendukung penolakan Islam Nusantara, selain KH. Ma’ruf Amin (Ketua Umum MUI), Zainut Tauhid Sa’adi (Wakil Ketua MUI), dan Asroun Niam Sholeh (Sekretaris Komisi Fatwa MUI) menilai penolakan istilah tersebut adalah kesalahpahaman. Pengingkaran terhadap Islam Nusantara tidak mencerminkan fungsi MUI sebagai tenda besar Umat Islam guna melindungi aspirasi muslim. MUI berfungsi sebagai platform penting guna berkumpul dan mendiskusikan isu penting. Jika terdapat perbedaan mengenai wacana Islam Nusantara jelas bahwa MUI memiliki peran membentuk wacana seputar Islam di Indonesia. Posisinya dalam isu penting dapat berdampak signifikan terhadap opini publik.

  

Otoritas Keagamaan di Era Depersonalisasi

  

Depersonalisasi dalam konteks otoritas keagamaan menjadi fenomena yang kompleks. Hal ini dapat mencerminkan demokratisasi pengetahuan dan otoritas agama, sebab semakin banyak individu yang dapat mengakses teks agama dan membentuk interpretasinya terhadap agama. Alhasil, kemunculan pemimpin agama baru yang tidak memiliki kualifikasi mungkin terjadi. Di sisi lain, marak ‘ustaz selebriti’ atau ulama karismatik yang memperoleh popularitas melalui media sosial yang dapat menyebabkan depersonalisasi otoritas agama pada tingkat tertentu. 

  

Era media sosial yang melahirkan ‘ulama Islam baru’ merupakan peninggalan masa Halakah dan Taklim yang pada era sebelumnya didominasi masyarakat perkotaan dan kelas menengah. Bedanya, dulu seseorang harus pergi Halakah, pengajian dan taklim, maka di era media sosial ini mereka didatangi konten Halakah, pengajian, dan taklim melalui serangkaian notifikasi yang dapat diatur melalui ponsel. Praktik dakwah di media sosial seperti Ustaz Abdul Somad, Evie Effendi, Syafiq Riza Basalamah, Felix Siauw, dan Adi Hidayat melakukan pola pengajian dengan model tanya-jawab. Mereka menjawab pertanyaan dari jamaah yang dijawab dengan fatwa singkat dan mengacu pada kutipan al-Qur’an dan hadis. 

  

Kondisi ini semakin memunculkan gejala depersonalisasi di mana khalayak melihat ‘apa’ dibandingkan ‘bagaimana.’ Mereka condong mendapatkan jawaban yang diinginkan bukan bagaimana jawaban itu diproses atau dirumuskan. Akhirnya, fatwa hitam-putih pada tingkat jawaban boleh dan tidak boleh menjadi hal yang diunggulkan daripada jawaban panjang, sistematis, analitis meskipun logis dan argumentatif. 

  

Kesimpulan

  

 Secara garis besar studi ini menjelaskan bahwa revolusi digital telah terbukti memberikan dampak signifikan terhadap otoritas dan pola komunikasi, sehingga menciptakan fatwa institusional. Dampaknya tidak dapat dihindari karena semakin memudahkan siapa saja mengakses informasi. MUI banyak menghadapi tantangan seperti debirokratisasi yang ditandai dengan semakin banyaknya isu berskala nasional yang menjadi topik dan pokok fatwa MUI daerah. Tren tersebut menjadi bukti bahwa tradisi birokrasi yang dianut MUI Pusat kini terancam. Selain itu, depersonalisasi yakni mempertanyakan otoritas agama yang sudah mapan dan beralih ke ustaz baru yang memberikan dakwah bergaya hiburan dan mengeluarkan fatwa melalui sesi tanya jawab juga menjadi tantangan tersendiri.