(Sumber : Nur Syam Centre)

Nasionalisme Sufistik dalam Tarekat

Riset Agama

Disertasi berjudul “Sufisme dan Nasionalisme: Studi tentang Ajaran Cinta Tanah Air dalam Tarekat Siddiqiyah di Ploso, Jombang” adalah milik Tasmuji. Karya ini mengantarkan Tasmuji untuk memperoleh gelar Doktor di UIN Sunan Ampel Surabaya. Subjek dalam penelitian ini adalah Tarekat Siddiqiyah di Ploso, Jombang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui geneologi nasionalisme, basis nasionalisme, serta konsep nasionalisme dalam perspektif tarekat Siddiqiyah di Ploso, Jombang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi agama. Data didapatkan oleh Tasmuji melalui sumber tertulis, observasi lapangan, dan wawancara yang mendalam. Terdapat dua sub bab yang akan diulas pada review ini. Pertama, sekilas tentang tarekat Siddiqiyah. Kedua, pandangan sejarah baru.

  

Sekilas Tarekat Siddiqiyah 

  

Siddiqiyah merupakan salah satu aliran tasawuf di Indonesia. Kehadiran tarekat ini erat kaitannya dengan peran kiai Muhammad Muchtar Mu’thi, yakni mursyid sekaligus pemimpin Tarekat Siddiqiyah di Ploso, Jombang. Tarekat Siddiqiyah memiliki delapan ajaran pokok kesanggupan sebagai anggota jema’ah tarekat. Delapan kesanggupan tersebut diantaranya yaitu, pertama, sanggup bakti kepada Allah SWT. Kedua, Rosul. Ketiga, orang tua. Keempat, sesama manusia. Kelima, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keenam, cinta tanah air (Indonesia). Ketujuh, mengamalkan tarekat Siddiqiyah. Kedelapan, sanggup menghargai waktu. Salah satu gagasan di atas mengenai cinta tanah air, menjadi hal yang menarik bagi Tasmuji untuk diteliti. Hal ini dikarenakan dalam dunia tasawuf, selama ini nasionalisme dianggap sebagai persoalan bersifat duniawi, sehingga dianggap dapat menjauhkan hati nurani manusia dari Tuhan. Tasmuji mengutip statement tegas dari mursyid sekaligus pimpinan tarekat Siddiqiyah, bahwa siapa pun yang tidak sanggup cinta kepada tanah air berarti bukan murid siddiqiyah. Menurut Kyai Mu’thi, nasionalisme merupakan merupakan satu dari dua dimensi yang ada dalam dunia sufistik.

  

Selain perbedaan gagasan, Tasmuji juga menemukan metode dakwah yang unik dari tarekat Siddiqiyah, yakni mengedepankan unsur sufistik-nasionalistik. Tarekat Shiddiqiyah memanfaatkan kegiatan kemasyarakatan sebagai media dakwah. Misalnya, unit usaha pesantren yang dapat memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat. Tarekat Siddiqiyah juga menanamkan nilai toleransi, karena intoleransi tumbuh sebagai akibat “lupa” pada konsep bahwa seluruh manusia bersaudara.

  

Pandangan Sejarah Baru

  

Tasmuji menemukan pandangan nasionalisme yang berbeda dalam tarekat ini. Peneliti ilmu dakwah ini menemukan tiga konsep pandangan baru, yakni kemerdekaan bangsa Indonesia, konsep Walisongo Republik Indonesia, dan ijtihad politik.

  

Pertama, kemerdekaan bangsa Indonesia adalah barakah. Menurut tarekat Siddiqiyah, 17 Agustus 1945 merupakan pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, bukan terbentuknya negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru lahir pada 18 Agustus 945. Hal ini atas dasar perbedaan konsep antara bangsa dan Negara. lahir. Bangsa merupakan satu kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, maupun sejarah hidup yang sama. Sedangkan, negara adalah satu organisasi dalam wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Artinya, 17 Agustus adalah hari dimana bangsa Indonesia lahir, dan 18 Agustus adalah kelahiran NKRI.

  

Kedua, konsep Walisongo Republik Indonesia. Jika sebutan “Wali Songo” biasanya diberikan kepada individu yang berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia sekitar abad 14 hingga 15 Masehi, maka konsep Walisongo yang dimaksud tarekat Siddiqiyah adalah sembilan penyusun UUD 1945. Sembilan nama tersebut adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A. Maramis, Kiai Abdul Kahar Muzakkir, Abi Kusno Tjokrosujoso, Kiai Wachid Hasyim, dan H. Agus Salim.

  

Ketiga, ijtihad politik. Tarekat Shiddiqiyah mengangkat “varian” baru dalam tasawuf yakni al-tasawwuf al-siyasi dengan meninjau kembali relasi mendasar tasawuf dalam Islam dan nasionalisme di Indonesia. Tarekat ini berusaha mendukung pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai Islami, meskipun tidak disertai dengan penggunaan Islam sebagai dasa Negara. Pada masa Orde Baru, tarekat ini berafiliasi pada Partai Golongan Karya (Golkar) yang dinilai memiliki peran besar dalam pemerintahan, maka pasca Reformasi mereka lebih bersikap netral. Artinya tidak menunjukkan bentuk dukungan pada elit politik tertentu.

  

Kesimpulan

  

Disertasi karya Tasmuji sangat menarik karena membahas nasionalisme dalam dunia sufistik. Ia menemukan beberapa gagasan baru dari tarekat Shiddiqiyah mengenai nasionalisme, peran bahkan metode dakwah tarekat ini. Namun, Tasmuji belum membahas secara tuntas mengenai perubahan sosio-kultural masyarakat yang dijadikan sebagai basis nasionalisme tarekat Siddiqiyah di Ploso, Jombang. Disertasi ini hanya menjelaskan apa definisi kehidupan sosial menurut Tarekat Shiddiqiyah serta aktivitas perekonomian dan kemasyarakatannya, namun tidak dengan perubahan yang terjadi. Disertasi ini akan lebih lengkap jika perubahan sosio-kultural di masyarakat juga “diusut” tuntas. Telepas dari pada itu, disertasi ini menambah khazanah pengetahuan bahwa ada aliran tasawuf yang menjadikan nasionalisme sebagai salah satu gagasan utama, meskipun tidak banyak.