(Sumber : Kilat)

Serangan Psikologis untuk Muslim

Riset Agama

Artikel berjudul “Muslim as Terrorists: Hate Speech Against Muslims” merupakan karya Tamsila Naeem. Tulisan ini terbit di International Journal of Islamic Thought tahun 2022. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penggunaan ujaran kebencian terhadap umat Islam oleh masyarakat barat yang ingin “membangun” kekuasaannya atas umat Isam, menyatakan umat Islam sebagai teroris, ekstremis dan fundamentalis dalam media, literatur, bahkan debat politik. Masyarakat barat memiliki prasangka terhadap muslim yang tercermin dalam perilaku sosial-politik mereka. Penelitian tersebut menggunakan survei campuran dengan 25 pertanyaan tertutup beserta pandangan dari responden yang dipilih guna penggalian data. Terdapat tiga sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan.  Kedua, ujaran kebencian dan prasangka terhadap umat Islam. Ketiga, terorisme kini. 

  

Pendahuluan

  

Menurut Judith Pamela Butler dalam tulisannya berjudul “Excitable Speech” telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap ideologi politik, konsep budaya, filsafat queer bahkan teori era sekarang. Butler adalah seorang filsuf Amerika dan ahli logika gender yang terkenal. Ia menganggap bahwa perilaku manusia dibangun di bawah relasi nyata antara jiwa manusia dan kekuatan wacana. Alhasil, dapat diasumsikan bahwa seseorang dipengaruhi oleh bahasa. Tidak ada yang baik atau buruk, melainkan ketetapan identitas dengan bantuan bahasa. Seseorang mendapatkan energi untuk hidup sengan saling menghormati dan diakui prang lain. Semua sistem sosial, politik dan moral dapat ditentang karena dibangun dan dikendalikan di bawah pengaruh bahasa. 

  

Ujaran Kebencian dan Prasangka Terhadap Umat Islam

  

Ujaran kebencian terus dipraktikkan sepanjang sejarah umat manusia dan akan terus mempromosikan perbedaan di antara komunitas yang berbeda demi agama, etika, rasialisme, dogma, gender dan budaya. Adanya perkembangan pengetahuan di berbagai domain menjadikan ungkapan kebencian mampu dikelola dengan semakin baik dengan tujuan menundukkan komunitas lemah di seluruh dunia. mereka membangun dan menumbangkan identitas yang berbeda, bahasa adalah alat yang digunakan, sedangkan efeknya mampu mempengaruhi publik pada tingkat makro setelah menjadi praktik wacana. 

  

Butler menyatakan bahwa pengaruh ucapan orang lain, membentuk karakter seseorang. Karhu dalam kajiannya berjudul “From Violence to Resistance” menemukan bahwa peran norma yang dipraktikkan melalui kekerasan dalam konstruksi realitas manusia berbeda di bawah performative dalam konteks sosio-politik. Oswald dalam studinya “Understanding Anti-Arab Reactions Post 9/11: The Role of Threats, Social Categories, and Personal Ideologies” mendukung konsep bahwa ancaman terorisme pada akhirnya mengarah pada prasangka dan diskriminasi terhadap umat Islam.

  

Diplomasi anti-Islam menumbangkan citra pola dasar muslim dari pecinta perdamaian menjadi teroris. Mereka mengistilahkan muslim sebagai barbar, irasonal, primitive dan ekstremis. Melalui cara yang sama juga, mereka mengistilahkan Islam sebagai agama yang keras, mengancam dan agresif. Lebih dari 70% populasi di negara Eropa Barat mengkhawatirkan ekstremisme Islam di negara mereka.

  

Terorisme Kini

  

Pada dunia kontemporer, terorisme dikenal sebagai istilah yang muncul sebagai prasangka dan kebencian terhadap umat Islam. Memang tidak mudah untuk mendefinisikan terorisme, namun ada beberapa aspek yang dapat disorot atau umum dilakukan teroris yakni penggunaan kekerasan, penciptaan rasa takut, dan niat mempengaruhi orang. Deskripsi tersebut tentu bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam. Hal ini disebabkan bahwa Islam adalah agama yang toleran, damai, bersaudara, dan setara. Banyak orang dari agama lain yang curiga dan khawatir tentang muslim dan kecenderungan teroris. Mereka juga meyakini bahwa muslim yang bukan teroris pun akan mendukung, meskipun tidak terlibat secara langsung.

  

Prasangka barat terhadap muslim jelas terjadi, missal dengan adanya elemen kebencian terhadap muslim di media cetak maupun sosial. Hal ini menunjukkan retorika sosial-politik barat yang memberikan julukan kasar terhadap komunitas muslim sebagai ektremis, fundamentalis, dan teroris. Media juga memainkan peran penting dalam pembentukan hubungan langsung antara ekstremisme dan muslim. Alhasil, adanya proyeksi negatif terhadap umat Islam sebagai teroris telah merangsang sikap anti-muslim di kalangan masyarakat lain. Ujaran kebencian yang berasal dari “agen yang kuat” telah berkontribusi dalam menghancurkan identitas muslim. Dahulu, penampilan luar umat Islam adalah simbol kesopanan, kesalehan, dan akhlak mulia, namun di era kontemporer saat ini penampilan luar mereka seperti memakai pakaian longgar, berjanggut bagi pria, dan memakai niqab bagi perempuan. 

  

Kesimpulan 

  

Pada dasarnya penelitian tersebut berusaha menjadi pengingat kesadaran terkait isu-isu teroris yang menghasilkan konflik psikis, sosial, dan politik di antara masyarakat dengan bantuan kekuatan wacana. Jelas bahwa hasil penelitian tersebut menunjukkan ujaran kebencian membantu dalam membuat penilaian pendekatan sosial-politik kekuatan anti-Islam. Kekuatan anti-Islam berusaha menekan umat Islam secara psikologis. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah seluruh komunitas perlu menghilangkan perbedaan di antara mereka guna menumbuhkan budaya perdamaian.